Sudah jadi rahasia umum, nelayan identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Maklum saja, 90% nelayan Indonesia adalah nelayan kecil. Mereka melaut menggunakan alat seadanya dan armada kecil. Bahkan, pekerjaan sebagai nelayan tidak memiliki tingkat keahlian tertentu. “Belum pernah ada nelayan ahli, madya, atau nelayan utama,” ujar Syarief Widjaja, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Padahal, nelayan merupakan tulang punggung utama kemajuan sektor kelautan dan perikanan. Pembangunan kelautan dan perikanan perlu didukung sumber daya yang andal, cekatan, dan profesional. Untuk itu, menurut Syarief, perlu adanya transformasi nelayan dari tradisonal menuju modern.
Perlu adanya transformasi
nelayan dari tradisonal menuju modern foto : Tri Mardi Rasa
Diakui Syarief pada acara Bedah Buku Transformasi
Nelayan di Jakarta (24/2), tenaga kerja nelayan belum tertata dengan baik. Oleh
karena itu, dibutuhkan sentuhan pelatihan dan pembuatan standar kompetensi
nelayan.
Closed Loop
Proses transformasi menuju nelayan modern memang tidak mudah tetapi bisa dilakukan. Yakni, melalui pendidikan dan pelatihan. Program utama pendidikan yang dikembangkan KKP berupa closed loop dan teaching factory. “Disebut closed loop karena pendidikan ini dari nelayan ke nelayan,” terang Syarief.
Segmen pendidikan ini khusus menyasar pada anak nelayan, yaitu 40% anak pelaku utama, 40% masyarakat umum, dan 20% mitra. Pendidikan yang disediakan berupa Sekolah Menegah Usaha Perikanan (SUPM) dan Sekolah Tinggi Perikanan (STP) yang bebas biaya dan disediakan asrama sebagai tempat tinggal para pelajar.
Sementara itu, konsep teaching factory adalah bekerja sekaligus belajar. Siswa langsung bekerja di pabrik perikanan tangkap untuk mendapatkan teori pembelajaran.
Selain itu, disediakan juga sekolah lapang yang disesuaikan jadwal anak nelayan melaut. Sekolah lapang bertujuan menjaring anak putus sekolah agar mendapatkan ijazah setara SMP sehingga bisa melanjutkan ke SUPM. Sekolah lapang baru tersedia di 10 lokasi yang terisolasi, diantaranya Parigi Moutong (Sulteng) dan Takalar (Sulsel).
Pelatihan
Bentuk pelatihan yang diberikan kepada masyarakat nelayan adalah terampil, mandiri, dan sejahtera. Menurut Syarief, tipikal masyarakat nelayan adalah mengandalkan kemampuan yang didapatkan sejak lahir. Pelatihan keterampilan tambahan ditujukan untuk mendukung kehidupan mereka. Misalnya, cara berbudidaya ikan sebagai mata pencaharian alternatif untuk mengatasi kendala musim paceklik.
Setelah keterampilan terasah, masyarakat dibimbing agar bisa lebih mandiri dalam akses teknologi dan informasi. Keterampilan dan kemandirian yang terbentuk mendorong nelayan menuju kesejahteraan.
Selajutnya, pelatihan wealth management pun mulai dilakukan untuk membantu nelayan mengelola uang yang dimiliki dalam bentuk investasi usaha. “Sebelumnya kita hanya terampil saja, ilmunya tidak hanya cukup terampil saja. Pelatihannya persis seperti pendampingan usaha, bagaimana mengelola usaha, bagaimana investasi,” jelas Syarief.
Dalam mendukung program pelatihan nelayan, KKP sudah menyiapkan 8000 tenaga penyuluh. “Tahun 2013 akan kita tingkatkan menjadi 12 ribu dan pada 2015 nanti menjadi 15 ribu penyuluh,” tandas Syarief.
Windi Listianingsih