Gara-gara sarana produksi pascapanen padi masih sederhana, tak jarang saat bersantap orang tergigit batu. Di sini, kita cuma meringis. Di Jepang, bisa diadukan ke polisi.
Begitulah, di Jepang, urusan tergigit batu dalam nasi bisa berkepanjangan. Memang, sikap orang terhadap suatu hal bisa berbeda-beda di berbagai negara. Kalau di negeri kita, cukuplah mengelus dada. Soalnya, siapa yang bisa disalahkan?
Persoalan ini sempat diungkapkan oleh W.N. Soebardjo, Marketing Manager Grain Processing PT Rutan, salah satu produsen alat-alat pertanian yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur. Pasalnya, belum banyak petani negeri ini yang menggunakan alat yang disebut De-Stoner alias mesin pemisah batu.
“Padahal, alat ini untuk menjamin keamanan dan kenyamanan konsumen,” papar Bardjo –demikian sapaan akrabnya, saat berbicara dalam seminar padi nasional akhir tahun lalu di Jakarta.
Tuntutan Konsumen
Apalagi, di sisi lain, tuntutan akan kualitas beras dari hari ke hari makin meningkat. Bukan hanya soal rasa, tapi juga mulai melebar ke arah mutu beras berdasar visualisasinya. Jadi, jika berdasar visualnya beras tampak berkilap, putihnya seragam, tidak banyak yang patah-patah, beras itu sudah dipersepsikan sebagai beras bermutu bagus. Beras seperti ini, dalam pengklasifikasian di lapangan, diistilahkan sebagai beras premium.
Terkait kualitas beras, Bardjo menyarankan penggunaan shining machine/milling polisher. Diproses dengan alat ini, beras bakal terlihat lebih berkilap dan bening. Konsumen, lanjutnya, menyukai beras yang berkilap dan bening. Bahkan, di sisi lain, beras yang permukaannya bening dan bersih bisa mendukung umur simpan lebih panjang.
“Jadi, bila permukaan berasnya bersih, ternyata beras itu tidak mudah mengalami fermentasi di antara partikelnya pada waktu disimpan. Ini mengingat negara kita ‘kan negeri tropis, khususnya untuk menetralisasi yang namanya ambient temperature (suhu lingkungan) kita itu yang belum seragam,” ungkapnya.
Guna menuai produksi beras bermutu, disarankan pula penggunaan rotary sifter ataupun length grader. Mesin ini untuk mengeliminasi penampakan butir patah dan menir, juga dapat membuat daya simpan lebih lama.
Selain itu, jangan abaikan penggunaan pemisah warna (color sorter). Mesin ini berfungsi untuk memisahkan beras bening dengan beras berwarna (rusak). “Alat ini lagi ngetren sekarang. Color sorter khususnya dipakai rice miller menengah ke atas. Mereka berpacu gunakan alat ini. Selain tuntutannya terkait kompetisi bisnis, juga konon sudah memenuhi standar permintaan ekspor,” tandasnya.
Susut Panen
Lebih jauh, Bardjo menyoroti pula besarnya susut saat gabah diproses menjadi beras. Mengutip survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2007, angka susut hasil padi mencapai 10,82 persen. Sedangkan, berdasar data Kementerian Pertanian (Kementan) hingga saat ini angka susut hasil sudah mencapai 13 persen.
Untuk mengatasi kehilangan panen, perusahaan pemroses padi sejatinya dapat menggunakan alat yang dinamai paddy reaper atau combine harvester (mesin panen) serta power thresher (mesin penyosoh).
Paddy reaper, lanjut Bardjo, mampu mengamankan produksi panen 6-7 kuintal per hektar (ha). “Sebab, secara mekanis dia memotong dan mengantarkan padi ke arah samping dan relatif hati-hati mengantarkan padi ke arah pengolahan selanjutnya,” tuturnya.
Proses selanjutnya yang dimaksud adalah gepyokan atau perontokan. Pada proses gepyokan diduga masih ada susut atau kehilangan. Biasanya, petani menambahkan terpal di sana-sini untuk mengurangi susut. Tapi, faktanya itu bukan merupakan solusi konkret.
Solusinya, menurut Bardjo, adalah menggunakan thresher. Dengan adanya thresher ini proses perontokan terlokalisasi pada satu tempat. “Selain itu, untuk mengurangi kehilangan, perlu dibudayakan langkah-langkah pengeringan gabah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya,” ujarnya.
Menoleh ke belakang, menurut Bardjo, tepatnya sekitar 2000-2004, saat Menteri Pertanian masih dijabat Bungaran Saragih, ada suatu sistem yang membantu pengeringan gabah dengan baik. Yaitu, dengan mendirikan lumbung desa modern. Dengan cara ini, bisa ditampung hasil panen petani sesegera mungkin dan diharapkan dapat secepatnya dilakukan pengeringan. Cara ini juga akan membuat umur simpan gabah lebih panjang.
Rendemen Giling
Permasalahan lain dalam proses pascapanen yang kerap mengganggu produktivitas dan sampai kini belum teratasi adalah rendahnya rendemen giling. “Inilah masalah yang paling klise, sampai hari ini kita juga belum bisa atau memungkinkan meningkatkan rendemen giling nasional,” tukas Bardjo.
Faktanya, memang sampai sekarang masih relevan rujukan dasar bahwa gabah kering giling (GKG) yang layak harus berkadar air 14%. Tapi, ungkit Bardjo, bagaimana keadaannya di lapangan? “Ada yang 17%, ada yang terlalu ekstrem 11%, sehingga konsistensi pada suatu rujukan yang salah satu parameternya itu bisa menjamin dan memperbaiki rendemen giling juga terabaikan,” sindirnya..
Itu sebabnya, dia menganjurkan penggunaan mesin bernama auto husker untuk meningkatkan rendemen giling nasional. Dengan alat ini, diharapkan dapat memproses gabah menjadi GKG dengan kadar air yang dipersyaratkan, yaitu 14%. “Auto husker ini mesin yang sistem mekanisnya bersifat elastis, fleksibel. Begitu menggunakan gabah gepeng, dia mengikuti. Tapi, begitu menggunakan gabah gemuk, dia juga mengikuti,” ungkapnya.
Pemakaian auto husker dalam rangkaian alat pemrosesan gabah perlu dikonfigurasikan dengan Unit Mesin Pemutih jenis abrasif. “Bila tetap menggunakan alat yang lama, kemungkinan gabah hancur akan lebih besar. Selain itu, rendemen giling juga dapat ditingkatkan dengan memproses gabah lewat cara multifase,” sarannya.
Bagi pria yang aktif di PT Rutan sejak 1 Mei 1975 itu, peningkatan produktivitas tanpa diimbangi upaya modernisasi sarana pemroses beras pasti hasilnya tidak akan memuaskan.
Syaiful Hakim, Ratna Budi Wulandari, Windi Listianingsih