Harga, suplai, dan kualitas beras bisa dijaga dengan pengering. Ujungnya, impor beras berkurang, petani pun senang.
Titik terberat pembangunan sektor pertanian adalah meningkatkan kesejahteraan petani. Untuk itu, petani dan usaha taninya harus memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Soalnya, petani beserta keluarganya merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia. Namun, hingga saat ini pelaksanaannya masih kurang maksimal.
“Padahal, ada banyak cara untuk untuk menyejahterakan petani,” kata Dr. Ir. Farid A. Bahar, M.Sc., Ketua Dewan Pakar Dewan Jagung Nasional. Salah satunya dengan menciptakan pasar terhadap produk yang dihasilkan petani, seperti beras ketan. “Ada banyak kalangan yang menyebutkan bahwa (beras) ketan termasuk salah satu barang yang tidak laku di pasaran. Namun, mengapa pemerintah melakukan impor barang tersebut?” tanya Farid.
Andil Teknologi
Menurut data Kementerian Pertanian (Kementan), impor beras ketan pada 2010 sempat mengalami peningkatan 40 ribu ton dari semula yang ditargetkan hanya 80 ribu ton menjadi 120 ribu ton. Farid menjelaskan, dalam hal ini terlihat pemerintah belum mampu menciptakan pasar untuk produk hasil pertanian. “Sebab, jika pasarnya sudah ada, berapa pun hasil petani pasti akan terserap dan tak perlu impor,” jelas Farid.
Selain menciptakan pasar, dapat pula dengan melakukan inovasi terhadap produk hilir pertanian seperti rengginang. Umumnya, rengginang yang ada di Indonesia hanya mengandalkan rasa gurih. Namun, jika menengok ke Taiwan, sudah ada rengginang dengan berbagai macam rasa seperti cokelat, teh hijau, stroberi dan keju. “Rengginang yang ada di sana di-packaging (dibungkus) dengan menarik sehingga membuat daya tarik bagi pengunjung. Jadi, intinya bagaimana bisa mengolah hasil pascapanen sedemikian rupa sehingga punya nilai tambah,” urai Dr. Raswin Widjaja MBA, President Director PT Tri Mitra Sukses Bersama.
Selain packaging, lanjut Raswin, teknologi pun turut andil dalam mengolah hasil pascapanen agar mempunyai nilai tambah bagi petani. Salah satunya, mesin pengering gabah (dryer). Selama ini, petani sering mengeluh jika menjual gabah masih dalam keadaan basah atau setengah basah. Harganya akan turun. Berbeda dengan menjual gabah kering, harganya akan tinggi. Namun, lagi-lagi petani terbentur kondisi alam. Artinya, jika kondisi mendung (tidak ada matahari), petani tak bisa menjemur gabah hasil panennya secara maksimal.
“Untuk itu, saya menciptakan mesin dryer yang fungsinya mencari solusi bagi petani agar tetap bisa melakukan pengeringan meskipun kondisi mendung. Hasil panen bisa dikeringkan dengan cepat. Bahkan, meskipun siang hari tidak ada panas atau hujan sekalipun dia masih bisa melakukan pengeringan dengan dryer,” ujar Raswin seraya terseyum.
Bila menggunakan dryer, lanjutnya, pasokan beras dipastikan akan kontinu dengan kualitas beras premium yang stabil sehingga harga jual beras terjaga. Kepastian suplai beras di pasar pada akhirnya akan menekan impor beras yang hingga kini masih jadi momok.
Mengeringkan Tanpa Matahari
H. Hanafi, salah seorang pengusaha penggilingan beras di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel), telah merasakan manfaat penggunaan dryer. Dengan dryer, dia bisa mengeringkan gabah tanpa mengandalkan sinar matahari. Dryer-nya bisa mengeringkan 50-60 ton gabah per hari (5 ton per jam) yang dilengkapi silo (penyimpanan beras) berkapasitas 90 ton. Dryer beroperasi siang dan malam tak kenal waktu dan cuaca.
Gabah yang diterima dari petani tidak perlu dikeringkan dulu. Gabah langsung dimasukan ke hopper untuk diseleksi dari rumput, batang, dan daun padi yang terbawa. Selesai seleksi, gabah dikeringkan di dryer dan disimpan dalam silo. Setelah itu, beras diayak lagi untuk membuang rumput kecil yang masih terbawa. Beras yang sudah bersih masuk ke destoner untuk memisahkan batu kecil yang ikut terbawa. Lalu, gabah masuk ke mesin pecah kulit (PK) untuk memecahkan sekam.
Gabah tanpa sekam diseleksi kembali dalam separator guna memisahkan beras dan gabah. Gabah akan dikembalikan ke mesin PK untuk dipecahkan sekamnya, sedangkan beras dilanjutkan dengan proses pemolesan. Beras dipoles dengan batu sebanyak tiga kali untuk hasilkan warna putih cerah berkilap. Agar makin berkilap, bersih, dan putih, beras dicuci dengan kabut di mistpolisher. Terakhir, beras masuk ke color sorter untuk menyeleksi warna beras, batu, kutu, dan kotoran lain yang masih terbawa sehingga menghasilkan beras kualitas premium. Selanjutnya, beras siap dikemas.
Semua Bernilai
Untuk membangun pabrik penggilingan beras seluas dua hektar ini, H. Hanafi menyediakan modal sekitar Rp10 miliar - Rp15 miliar. Kini dia sudah memiliki tiga pabrik penggilingan beras modern. Dengan pabrik itu, dia menyuplai 3.000 ribu ton beras per bulan untuk Sulawesi, dan 1.000 ton per bulan untuk Surabaya.
Selain itu, ternyata seluruh hasil pabrik penggilingan pun bernilai. Bukan hanya beras, tapi dedak, katul, rumput, dan sekam laris dijual. Dedak dan katul dijual untuk pakan ternak. Rumputnya untuk pembuatan pupuk, sedangkan sekam selain dijual juga digunakan sebagai bahan bakar dryer. ”Pendapatan dari sekam saja Rp60 juta per bulan,” kata H. Hanafi.
Tak ingin ketinggalan, Zainuddin Hasan, Bupati Bulukumba, Sulsel pun ikut serta. Sebanyak Rp30 miliar digelontorkannya untuk membangun pabrik penggilingan beras modern terbesar se-Indonesia di tanah seluas dua hektar. Pabrik yang terletak di Bulukumba itu diperkirakan sanggup menyerap 100 ton gabah per hari dan dilengkapi tiga silo masing-masing berkapasitas 1.000 ton, 1.000 ton, dan 400 ton. Harapannya, pabrik ini akan menyerap 10 persen gabah di wilayah Bulukumba. Dengan mekanisasi, kualitas beras menjadi bagus, “Pendapatan petani pun meningkat karena harga jual tinggi, menambah dan membuka lapangan kerja baru secara tidak langsung,” tutup Zainuddin.
Yuwono Ibnu Nugroho, Windi Listianingsih