Pertama kalinya sentra bawang merah diserbu produk impor, saat panen raya pula. Di mana celahnya?
Isu impor masih belum lepas dari pasar bawang merah Indonesia. Data yang dihimpun Dewan Bawang Merah Nasional (Debnas) menunjukkan, kebutuhan bawang merah nasional sekitar 1,09 juta ton per tahun. Sementara, produksi bawang merah nasional rata-rata 1,08 juta ton per tahun seharusnya tidak ada alasan untuk impor. Faktanya, sepanjang 2011 impor bawang merah mencapai 158,4 ribu ton. Lebih dari dua kali lipat impor 2010 yang hanya sekitar 73 ribu ton.
Sejak pertemuan berbagai pemangku kepentingan bawang merah di Kamar Dagang Indonesia (Kadin) pertengahan Desember silam, masalah impor ini belum juga selesai dibahas. Keresahan petani bawang merah bahkan diungkapkan dalam unjuk rasa menolak impor bawang merah di jalur pantai utara Jawa (24/1).
Aturan impor bawang merah sebenarnya cukup jelas. Kementerian Pertanian (Kementan) hanya memberikan rekomendasi impor bawang merah untuk benih, bukan dalam bentuk bawang merah konsumsi. “Jadi kalau ada bawang merah konsumsi yang masuk, itu masih area Kementerian Perdagangan. Ada sesuatu yang kita tidak tahu. Tahun 2009-2010 Brebes, Cirebon, sentra-sentra bawang merah itu aman sekali. Tapi kok tahun ini ada (impor)?” terang Sri Wijayanti
Dampak impor memang membuat petani gelisah. Harga bawang merah di tingkat petani yang pada kondisi normal berkisar antara Rp7.000-Rp9.000/kg, menukik tajam menjadi Rp3.500/kg pada Oktober 2011. Bahkan pada Desember 2011 harga menyentuh titik terendah sekitar Rp2.000/kg. Saat ini (3/2), harga bawang merah di tingkat petani belum mengalami kenaikan yang berarti, sekitar Rp3.000-Rp4.000/kg. Artinya, telah berbulan-bulan petani mengalami kerugian besar.
Belum Diatur
Terkait masuknya bawang merah impor, Bambang Hesti Susilo, Kepala Bidang Karantina Tumbuhan Non Benih, Badan Karantina Pertanian menyatakan, bawang merah (konsumsi) memang belum termasuk ke dalam komoditas yang diatur. “Ini yang kami usulkan, bawang merah menjadi komoditas yang perdagangannya diatur. Artinya nanti akan seperti beras, kalau tidak diizinkan Menteri Perdagangan, tidak boleh masuk. Kalau memang tidak ada izin, di pelabuhan pemasukan tidak akan boleh masuk,” urainya.
Musdalifah Machmud, Asisten Deputi Urusan Perkebunan dan Hortikultura, Kementerian Koordinator Perekonomian membenarkan. “Memang dalam ketentuan perdagangan bawang merah belum diatur pelarangan atau pembatasan impornya. Ketentuan yang ada hanya untuk benih. Jadi, Kementerian Perdagangan tidak akan mengeluarkan izin ataupun melarang,” tegasnya.
Selain pengaturan izin impor, Yul H. Bahar, Direktur Budidaya Sayuran dan Tanaman Obat, Ditjen Hortikultura, Kementan, menyebutkan kemungkinan lain masuknya bawang impor. “Bisa masuk karena itu bukan bawang merah, melainkan bawang bombay. Secara aturan dia tidak salah karena yang dimasukkan adalah bawang bombay. Tapi di pasar diekspos sebagai bawang merah,” ungkapnya.
Pihak Badan Karantina pun tidak tinggal diam bila memang ada bawang merah impor yang masuk. “Kami pernah menangkap (bawang merah) masuk dari Dumai mau ke Brebes. Ini yang coba kita perketat. Kita harus atur tata niaganya,” tambah Bambang.
Perketat Pintu Masuk
Rekomendasi impor sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang No.13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. “Sebelum ada UU ini, itu bebas (impor) sehingga kami menetapkan pasal 88 yang menyatakan bahwa izin impor hortikultura diberikan Kementerian Perdagangan setelah mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Dan ini harus ada aturan hukum berikutnya, yaitu peraturan Menteri Pertanian dan peraturan Menteri Perdagangan,” jelas Yul.
Yul menambahkan, rekomendasi impor yang akan diterapkan tidak hanya mengatur volume impor. Sebelum mengeluarkan rekomendasi, pemerintah harus memastikan kebutuhan dalam negeri. Bagaimana kondisi produksi, waktu yang tepat, hingga di mana wilayah yang membutuhkan impor. Dengan demikian, impor yang masuk pun tidak mengganggu produk lokal.
Pintu masuk impor produk segar diperketat dalam Permentan No. 90/OT.140/12/2011. Semula, pintu masuk impor untuk sayuran umbi lapis yang ada di 14 tempat diperketat menjadi hanya empat tempat, yaitu di Bandara Soekarno-Hatta (Jakarta), pelabuhan Belawan (Medan), Tanjung Perak (Surabaya), dan pelabuhan Soekarno-Hatta (Makassar).
Peraturan yang akan diberlakukan mulai 19 Maret 2012 ini memang memberikan titik terang bagi petani, namun tidak bagi importir. Menurut Bambang, “Kalau kita perketat begini, eksportir dari negara asal itu tidak protes. Yang protes justru pengusaha, importir. Kenapa yang tadinya boleh masuk, sekarang tidak. Ini yang harus jadi komitmen dan kerjasama semua pihak.”
Aturan Daerah
Tidak hanya secara nasional, pemerintah daerah pun diperkenankan menetapkan peraturan daerah (perda) menolak barang impor. Seperti yang ditunjukkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang menolak Tanjung Perak menjadi salah satu pelabuhan masuk produk impor. Gubernur Jawa Timur Soekarwo telah melayangkan surat penolakan tersebut kepada Menteri Perdagangan karena menganggap produk impor yang masuk dapat membunuh petani lokal.
Tindakan yang sama dianjurkan kepada Pemerintah Daerah Brebes. “Kalau bisa masing-masing Pemda yang merasa petaninya dominan, itu bisa bikin perda sendiri untuk melarang. Itu boleh, selama tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya. Ini yang kami anjurkan ke Brebes karena dia punya sentra bawang,” saran Yul.
Satu peraturan lainnya yang tidak kalah penting ditambahkan Tri H. Saputro, Direktur Eksekutif Dewan Bawang Merah Nasional. “Harus ada Harga Pokok Penjualan (HPP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET). Misalnya HPP Rp7.000-Rp9.000 dan HET Rp12 ribu-Rp14 ribu (per kg). Jadi kalau di bawah harga itu petani tidak akan jual,” tegas Tri.
“Seandainya Permentan nanti berlaku, kira sudah punya barrier teknis untuk itu. Petani akan cukup terlindungi. Tinggal pengawasannya, apakah pelaksanaannya akan sesuai dengan aturan,” tegas Yul. Angin harapan pun berhembus bagi petani.
Renda Diennazola