Rabu, 11 Januari 2012

Dukung Bioteknologi Perairan Sekarang!

FAO dan Bank Dunia memperkirakan dunia akan mengalami krisis pangan pada 2025. Setiap negara harus berbenah menyiapkan cadangan pangan untuk rakyatnya.

Suharyo Husen, Sekretaris Pelaksana Jakarta Food Security Summit (JFSS), mengutip laporan FAO (Food & Agriculture Organization, Organisasi Pangan Dunia), pada 2007 silam sekitar 923 juta penduduk dunia mengalami kekurangan pangan. Meningkat lebih dari 80 juta sejak periode 1990-1992.

 Terlebih lagi, sambungnya, belakangan ini harga pangan di pasar dunia mengalami kenaikan pesat. “Kenaikan harga tersebut diyakini bukan semata-mata fenomena temporer. Peningkatan penggunaan pangan untuk energi menyebabkan kenaikan harga pangan diperkirakan akan terus berlanjut,” ujar Suharyo. Tuntutan ini mendorong Negara-negara produsen meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan domestic dan memasok kebutuhan dunia.   

Dukungan Perikanan

Sektor perikanan memegang peranan penting dalam pendukung ketahanan pangan. Sumber protein hewani terbesar yang dikonsumsi masyarakat berasal dari ikan. Tidak hanya itu, sektor perikanan juga memberikan sumbangsih besar pada industri farmasi dan obat-obatan.

Mengacu pada perkembangan produksi perikanan dan kebutuhan nasional, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia, menyatakan, seharusnya Indonesia tidak hanya mampu swasembada ikan dan produk perikanan. Tetapi juga sebagai eksportir utama ikan dan produk perikanan dunia secara berkelanjutan.

Namun, Menteri Perikanan dan Kelautan periode Kabinet Gotong Royong ini mensyaratkan pemerintah, perusahaan swasta, hingga masyarakat perikanan harus bekerja cerdas dan bersinergis.

Bioteknologi Perairan

Jika bicara sektor kelautan dan perikanan, menurut Rokhmin, yang menjadi the giant sleeping of economy (raksasa ekonomi yang sedang tidur) adalah industri bioteknologi perairan dan pengembangan sumber daya nonkonvensional di wilayah pesisir dan lautan. Sayangnya bidang ini belum tergarap optimal oleh pemerintah. Saat ini pemerintah masih bertumpu pada pemenuhan produksi melalui perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, ia menyarankan, pemerintah sebaiknya bergerak di industri bioteknologi perairan. ”Kalau kita bergerak pada finfish (ikan bersirip), ya mungkin untuk ketahanan pangan yes tapi untuk economic growth (pertumbuhan ekonomi) itu menjadi limited (terbatas),” jelasnya.

Di samping itu, bioteknologi perairan bisa menghasilkan berbagai turunan produk untuk pangan, nutrisi, farmasi, kosmetik, rekayasa genetik, biofeul, dan bioremediasi lingkungan. Sementara sumber daya nonkonvensional misalnya, pengembangan industri air laut dalam dan energi kelautan.

Berbasis Alga

Menurut Rokhmin, salah satu industri bioteknologi yang dapat dikembangkan adalah mikroalga atau rumput laut. Industri bioteknologi berbasis rumput laut ini memungkinkan untuk dikembangkan di Indonesia mengingat Indonesia memiliki beragam jenis rumput laut. ”Sedikitnya, 86 spesies rumput laut merupakan spesies endemik Indonesia, dan 18 spesies diantaranya memiliki potensi untuk industri farmasi, kosmetik, dan nutrasitika,” papar Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB ini.

Mengacu penelitian CEVA (Lembaga Penelitian Algae Perancis) dan Fakultas Perikanan dan kelautan Universitas Samratulangi, Manado, Rokhmin menerangkan, pada 2008 nilai total penjualan kosmetika (produk akhir) dunia US$170 miliar dan nutrasitika US$65 miliar dengan laju pertumbuhan 15 persen per tahun. Sedangkan, pasar senyawa bioaktif (produk antara) senilai US$10 miliar.

Selain itu, di mancanegara, seperti China, sudah memanfaatkan alga untuk menyerap emisi karbon. “Jadi dia (alga) menyerap CO2  (sehingga) mendapat Carbon trading (perdagangan Karbon) ratusan juta dolar Amerika per tahun. Kemudian, alga yang dipelihara itu bisa untuk farmasi dan feed (pakan),” ungkap dia.

Revitalisasi tambak

Sementara itu, Rokhmin juga menyoroti perlunya revitalisasi lahan tambak potensial. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ada 1,2 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk tambak tetapi baru 36 persen yang termanfaatkan.

Jika tambak idle ini dimanfaatkan minimal 25 persennya saja (300 ribu ha) untuk budidaya udang vaname, akan diperoleh 6 juta ton udang vaname per tahun. Produksi ini, jika diekspor dengan harga US$5 per kg akan menghasilkan US$30 milyar per tahun (Rp270 trilyun per tahun). Nilai ini, ungkap Rokhmin, setara dengan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011.

Sementara, penggunaan 200 ribu ha lahan idle untuk tambak rumput laut akan menghasilkan 4 juta ton rumput laut per tahun. ”Bayangkan, devisa yang akan diperoleh Indonesia dari ekspor rumput laut ini sebesar US$4 milyar per tahun (Rp36 trilyun per tahun),” tandas Rokhmin.

Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain