Senin, 9 Januari 2012

LIPUTAN KHUSUS : Mengungkap Kebenaran Bibit SE

Ada sebagian pihak mengatakan bibit SE penyebab penurunan produksi karena belum teruji. Benarkah?

 Belakangan ini isu penurunan produksi buah kakao merebak. Isu itu hadir berbarengan tindakan petani yang membongkar tanaman kakaonya dan menggantikannya dengan bibit hasil somatic embryogenesis (SE). Diberitakan pula, bibit SE yang dibagikan kepada petani tidak tahan terhadap cendawan Phytophthora palmivora (penyebab busuk buah) dan Oncobasidium theobromae, biangnya penyakit Vascular Streak Dieback (VSD).

“Penggunaan bibit SE merupakan kekeliruan karena belum pernah dilakukan uji coba, tetapi tetap dipaksakan melalui proyek,” kata Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia. Bibit SE juga, kata dia, banyak kelemahannya dan tidak disukai sebagian petani. “Sebenarnya, yang dibutuhkan petani saat ini adalah tenaga pendamping dan penyuluh desa, bukan menganjurkan menggunakan bibit SE,” sarannya.

Fakta di lapangan, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Salah satunya dinyatakan Andi Mone, petani kakao asal Kelurahan Ulunggolaka, Kec. Latambaga, Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara. Dia sudah dua tahun menanam bibit SE. “Sungguh berbeda setelah menggunakan bibit SE dibanding sebelumnya menggunakan bibit lokal. Dengan bibit SE, pertumbuhannya begitu cepat,” ungkap ibu satu anak itu.

Menurut Andi, dulu sebelum menggunakan bibit SE tanaman baru berbuah setelah empat tahun sejak tanam. Namun, bibit SE baru setahun sudah berbuah banyak. “Dengan bibit SE ini satu pohon bisa mencapai 80–100 buah, itupun baru belajar berbuah,” ucapnya seraya tersenyum.

Meskipun begitu, imbuh Andi, buah pertama yang tumbuh di cabang tetap harus dibuang dan disisakan di batang utama. Tujuannya, agar pohon tidak rebah ataupun mati akibat banyaknya buah pada cabang yang masih muda. “Seumpama satu pohon ada 100 buah, 80 buah yang menggelantung di cabang dibuang dulu, sisakan 20 buah untuk dipanen,” imbau Ketua Kelompok Tani Kembang Berdoa ini.

Ir. Bambang, MM, Kabid Produksi, Dinas Perkebunan Hortikultura, Prov. Sulawesi Tenggara, membenarkan tindakan itu. Alasannya, jika buah pada cabang tidak dirompes, bukan tidak mungkin tanaman yang masih muda akan rebah. Lagi pula biji kakao pada panen pertama  dari bibit SE juga kecil-kecil.

“Semua itu karena banyaknya buah, namun perakarannya belum kuat dan masih pendek. Jadi, sari makanan yang dihasilkan dari akar terbagi-bagi pada banyaknya buah,” terang Bambang.

 Klon Unggulan

Banyaknya buah pada tanaman muda sesungguhnya membuktikan penggunaan bibit SE bukanlah kekeliruan. Apalagi bibit SE juga sudah diujicoba oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. Bibit SE  sebenarnya hanyalah proses perbanyakan dari lima klon unggulan, yaitu Sulawesi 1, Sulawesi 2, ICCRI 03, ICCRI 04, dan SKA 6. “Jadi, bibit SE itu adalah benih unggulan yang diperbanyak,” tutur Ir. H Azwar Ab., M.Si, Direktur Tanaman Rempah dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Kementan.

Bahkan, jelas Azwar, yang mendapatkan bibit SE pun tidak sembarang petani. Bibit SE hanya dibagikan kepada petani pemilik tanaman kakao yang sudah tidak produktif atau berumur di atas 20 tahun sehingga tahun berikutnya bisa berproduksi. Jadi, peremajaan dengan cara membongkar tanaman tua dan menggantinya dengan bibit SE bukanlah penyebab penurunan produksi kakao pada 2011.

Yuwono Ibnu Nugroho

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain