Saat ini bukan hanya daging impor yang menyerang pasar tradisional, kentang impor pun ikut menyerbu.
Benarkah pemerintah tidak lagi mampu melindungi petani? Padahal, sebagian besar penduduk negeri ini adalah petani. Ini bisa dilihat dari datangnya impor kentang granola (kentang sayur) asal China dan Bangladesh yang membanjiri Indonesia sekitar dua bulan lalu. Harga kentang itu hanya sekitar Rp2.000–Rp2.500 per kg sehingga membuat petani kentang pun meradang.
“Memang benar, datangnya kentang impor membuat harga kentang di sini turun. Biasanya, harga kentang bisa mencapai Rp5.000 per kg. Namun hari ini (16/12) menjadi Rp4.900 per kg. Semua ini karena masih ada sisa kentang impor asal China di pasar-pasar tradisional,” kata Cecep Nujaman, petani kentang asal Kampung Cipangisikan, Desa Wanasari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, kepada AGRINA (15/12).
Padahal, jika dibandingkan secara fisik antara kentang impor dan kentang dalam negeri, masih jauh lebih baik kentang lokal. Perbedaan itu terletak pada kulit kentang. “Biasanya kulit kentang impor tidak secerah kentang dalam negeri, kemudian kentang impor lebih lembek (lunak) dibandingkan kentang dalam negeri. Lebih dari itu, kentang impor biasanya sudah ada yang tumbuh tunas,” jelas Karyono yang juga petani kentang asal Pangalengan itu.
Namun, lanjut Cecep, masyarakat (konsumen) kita kurang memperhatikan hal ini. Yang penting bagi mereka adalah bisa membeli kentang dengan harga terjangkau. Jadi, sebenarnya harga kentang akan tetap stabil jika tidak ada kentang impor. Terlebih saat kondisi pasar sedang tidak ada kentang, maka harga kentang akan menjadi Rp7.000 per kg . “Sebenarnya yang kita inginkan harga kentang berada di kisaran Rp5.500 per kg. Tujuannya agar petani tak merasa rugi dengan biaya produksi yang mencapai Rp54 juta per ha, juga konsumen tidak terbebani,” harap Cecep.
Impor Bibit
Menurut Ahmad Dimyati, mantan Dirjen Hortikultura, Kementan, selama ini Indonesia memang banyak mengimpor kentang tetapi kebanyakan french fries (kentang beku). “Tapi sekarang bukan hanya french fries yang diimpor, bahkan sudah masuk vegetable potato, kentang sayur. Ini tentu suatu peringatan yang sangat pahit yang harus kita hadapi,” komentarnya dalam forum discussion group Kentang di Kadin, Jakarta (14/11).
B. Budi Dharmadi, Manager Corporate Procurement & Eng. Division PT Indofood Sukses Makmur Tbk., dalam forum yang sama mengatakan, pihaknya hanya mengimpor 30 ton kentang produksi. Selebihnya bibit untuk ditanam petani, kemudian hasil panen mereka ditampung Indofood. “Sementara ini Indofood setiap tahun masih mengimpor sekitar 4.000 ton bibit untuk penanaman di petani, tapi biasanya hanya terpenuhi 60 persen. Jadi hal ini yang membuat kenapa kita masih mengimpor kentang french fries. Memang kita jaga dari bibit sendiri karena cuma Indofood yang saat ini mengolah kentang atlantik itu menjadi keripik,” paparnya panjang lebar.
Impor itu terpaksa dilakukan, imbuh Budi, lantaran produksi benih (atlantik) di lokal memang tidak ada. Perusahaan lokal yang dulu pernah bekerjasama bangkrut. Pihaknya bertekad akan mendukung pemulia kentang chips. “Dalam tiga tahun ke depan kita akan hapuskan impor, jadi dari dulu sebenarnya kita tidak ingin impor karena penanganannya sulit sekali. Kita harus mengirim tim karantina setiap kita beli di negara asal berkenaan penyakit. Dan itu setelah saya pesen 4.000 ton belum tentu bisa mendapat bisa sebanyak itu,” terangnya.
Akan Diatur
Dimyati menambahkan, impor kentang itu sama seperti bawang merah, pada waktu tidak ada barang di sini tidak menjadi masalah, tetapi ketika impor dilakukan ketika sedang panen sehingga harga jatuh akan menjadi masalah berat buat para petani. Impor kentang konsumsi berlebih seperti terjadi pertengahan Oktober lalu mestinya tak perlu terjadi. Pasalnya, komoditas yang satu ini dapat dihasilkan di dalam negeri.
Silang pendapat soal impor, pihak Kementerian Perdagangan berkelit bahwa kentang termasuk komoditas yang impornya tidak diatur, berbeda dengan beras. Sementara Mentan Suswono mengakui, impor kentang sulit dihentikan karena sudah menjadi kesepakatan dalam liberalisasi pasar di dunia. Kendati demikian pihaknya akan membahasnya dengan Kementerian Perdagangan yang membawahi urusan impor. “Produksi dalam negeri saat ini 1,1 juta ton, sedangkan impornya hanya 45.000 ton. Tapi, memang tahun ini akan ada kenaikan yang signifikan karena tidak terkontrol lagi,” ungkapnya.
Jadi, lanjut Suswono, dalam hal ini seharusnya ada yang mengendalikan lalu lintas kentang agar tidak menghancurkan kentang dalam negeri. Soalnya, selama ini impor kentang termasuk yang tidak diatur, berbeda dengan beras. Lagi pula, seharusnya kentang impor itu hanya untuk pemenuhan kebutuhan industri, bukan untuk konsumsi masyarakat.
Staf Kementerian Perdagangan pada forum diskusi di Kadin menginformasikan, pihaknya sedang menyusun peraturan menteri perdagangan mengenai perdagangan produk hortikultura. “Tapi saat ini kita masih menunggu dari Kementerian Pertanian mengenai produk-produk apa saja yang akan kita atur ekspor dan impornya,” paparnya.
Hal tersebut dibenarkan oleh Tony J. Kristanto, Ketua Bidang Advokasi, Dewan Hortikultura Nasional “Saat ini saya ikut dalam tim penyusun permentan (peraturan menteri pertanian) mengenai persyaratan dan importasi produk hortikultura dan pada saat ini juga kami sedang menggarap mengenai permentan mengenai pemasukan dan pengeluaran benih hortikultura,” tuturnya. Sampai naskah ini diturunkan, menurut Tony, permentan tersebut belum terbit, masih dalam proses penyelesaian.
Melihat segudang permasalahan pada kentang, sebaiknyalah pemerintah memang tidak terjebak pada harga kentang impor yang lebih murah dibandingkan produk lokal. “Sekarang tidak dapat ditahan, produk pertanian apapun dapat masuk ke Indonesia, karena sudah menandatangani ACFTA dan 2015 terintegrasi dengan pasar ASEAN,” tukas Benny A. Kusbini, Ketua Umum Dewan Hortikultura Nasional.
Benny memaparkan, ada tiga jenis kentang. Pertama, kentang sayur atau konsumsi (granola), kedua kentang chip atau atlantik, ketiga kentang beku yang saat ini masih diimpor 100 persen. Saat ini, biaya produksi kentang itu sendiri terdiri dari biaya benih yang mencapai 40 persen, biaya pestisida 40 persen, sedangkan biaya tenaga kerja 20 persen. “Agar tidak ada lagi impor kentang, caranya dengan meningkatkan produktivitas serta memperbaiki infrastruktur di sentra-sentra produksi sayuran,” pungkas Benny.
Yuwono Ibnu Nugroho