Senin, 21 Nopember 2011

Udang Alami Kendala Produksi

Udang, si primadona ekspor Indonesia masih mengalami kendala produksi. Padahal, permintaan selalu menyapa. Amerika, misalnya membutuhkan 400 ribu ton udang per tahun. China bahkan lebih banyak lagi, mencapai 1 juta ton per tahun. Sementara, Produksi (udang) Indonesia masih di bawah 400 ribu ton.

Endhay Kusnendar, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), melihat besarnya peluang bisnis ini. Ia menganjurkan pembudidaya agar menjadikan udang sebagai komoditas utama dalam budidaya polikultur rumput laut. "Udang itu pasti insyaallah laku. Kalau rumput laut 'kan kadang-kadang kita ngejar pembeli. Kalau udang, pembeli ngejar kita," kata Endhay di acara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Masyarakat Kelautan dan Perikanan (iptekmas) rumput laut di Kabupaten Brebes, Jateng Minggu (20/11).

Selain harga udang yang lebih tinggi dibanding harga rumput laut, pasar rumput laut masih dikendalikan oleh pabrik pengolahan sehingga harga rumput laut sering tertekan. Bahkan, Enday mengharapkan bisa meratakan Wilayah Pantura dengan udang. “Pantura ini harus di-udangisasi, revitalisasi tambak dengan udang yang padat tebarnya rendah, tidak pakai pakan,” tegasnya. 

Udang yang dibudidaya tentu saja udang windu, komoditas asli Indonesia. “Kembalikanlah dengan udang windu yang nilai ekonomisnya lebih tinggi,” tegasnya. Polikultur udang windu dan rumput laut secara tradisional cukup mudah dilakukan masyarakat, padat tebar rendah, dan tidak memerlukan pemberiaan pakan buatan (pelet). 

Endhay menggambarkan, jika 1 ha tambak polikultur (rumput laut dan udang) bisa menghasilkan 50 kg udang windu seharga Rp50 ribu per kg, pembudidaya akan memperoleh Rp2,5 juta saat panen. Sedangkan, biaya produksi udang windu secara tradisional sebesar Rp10 ribu. “Artinya, dia (pembudidaya) bisa punya margin sampai Rp40 ribu per kg,” jelasnya.    

Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain