Meski pemerintah sudah membuat program agar perkebunan yang sudah tua segera direvitalisasi, tapi hingga kini program berjalan masih sangat lamban. Salah satu kendala yang membuat program tersebut berjalan lamban karena kecilnya kredit yang dikucurkan oleh perbankan untuk melakukan revitalisasi.
Hal tersebut telihat pada data Kementerian Pertanian (Kementan) yang menyebutkan sejak awal 2010 hingga OKtober 2011 program revitalisasi baru terealisasi Rp1,73 triliun atau 6,2% dari kredit yang disediakan oleh 16 bank Rp27,93 triliun hingga 2014. “Padahal kegagalan pada revitalisasi perkebunan dapat mengancam penurunan produksi perkebunan,” jelas Teguh Patriawan, Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perkebunan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dalam acara Diskusi Kadin Indonesia tentang Revitalisasi Perkebunan (15/11).
Selain itu, masalah yang sering dihadapi oleh perbankan yaitu sertifikat lahan perkebunan yang dimiliki oleh rakyat masih banyak yang tumpang tindih. Karena Sebagian petani sudah terlanjur menjaminkan sertifikat tersebut ke bank untuk mendapatkan kredit. Padahal pembiayaan revitalisasi tersebut mensyaratkan adanya sertifikat.
Lebih dari itu, kata Teguh, lahan yang akan direvitalisasi pun masih jauh dari target. Sebab pemerintah menargetkan untuk revitalisasi perkebunan seluas 343 ribu ha, terdiri dari karet 119 ribu hektar, kakao 13 ribu hektar, dan kelapa sawit 223 ribu hektar. Akan tetapi, realisasinya hingga Oktober 2011 baru sekitar 27 ribu hektar.
Sedangkan Kokok Alun Akbar, Manager Divisi Agribisnis PT Bank Rakyat Indonesia Tbk menerangkan, kesiapannya dalam menyalurkan kredit untuk revitalisasi perkebunan. “Penyaluran kredit revitalasi masalahnya bukan di perbankan. Masalahnya di birokrasi menyangkut kehutanan, karena masalahnya berada di lahan. Kita tetap berkomitmen dukung program ini. Tidak perlu ragu komitmen perbankan untuk dukung revitalisasi,” tegas Kokok.
Sebab, lanjut Kokok, mekanisme penyaluran kredit untuk revitalisasi perkebunan tersebut sebelumnya dilakukan dengan cara refinancing, namun sekarang hal tersebut dilakukan dengan project financing. “Dulunya refinancing, sekarang project financing. tentunya harus pilih-pilih juga. Ini bukti bahwa kita meiliki komitmen dengan program ini. Akan tetapi tidak bisa berhasil seperti yang kita harapkan sepanjang masalah di lahan tidak ada terobosan,” pungkasnya.
Yuwono Ibnu Nugroho