“Sebab Permentan 61/2011 itu sendiri menjadi legitimiasi bagi produsen benih mutlinasional untuk memasarkan produk rekayasa genetika ke tanah air. Besarnya populasi penduduk Indonesia yang melebihi 200 juta menjadi alasan logis,” kata Agus.
Selain itu, lanjut Agus, proses legislasi peraturan di Indonesia mengandung masalah. Regulasi itu hanya melibatkan lintas kementerian teknis kemudian dijadikan draf akademis. Kemudian, dirumuskan menjadi peraturan baru kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.
Maka, yang dikhawatirkan jika besarnya keterlibatan perusahaan multinasional dalam mata rantai pertanian akan membuat para petani menjadi petani perusahaan. Tidak hanya persoalaan pupuk, benih dan sarana produksi pertanian lainnya juga mengakibatkan para petani terikat dengan kepentingan perusahaan. Dampaknya ke sosial ekonomi dan lingkungan hidup besar. “Nantinya, jangan sampai urusan makanan orang Indonesia harus diatur oleh asing,” keluh Agus.
Bahkan sejak awal akan perumusan permentan tersebut pihak Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) selaku asosiasi pembenihan Indonesia tidak dilibatkan. “Akan tetapi pihaknya diberi kesempatan memberikan suara ketika uji publik berlangsung. Diakui, pasal 9 mengenai Uji Adaptasi dan pasal 16 dinilai kontroversial,” kata Elda Adiningrat Ketua Umum Asbenindo.
Sebab, tambah Elda, dalam dua pasal tersebut memberi keleluasaan tanaman atau varietas produk rekayasa genetika yang telah dilepas, tidak memerlukan pengujian kembali. “Kita protes, karena ini berbahaya. Akhirnya substansi ini hilang dari draf akademis,” tegas Elda.
Yuwono Ibnu Nugroho