Jumat, 28 Oktober 2011

Tanaman Transgenik Bagian Dari Pemuliaan Tanaman

Komersialisasi tentang produk rekayasa genetik masih mengalami pro dan kontra begitu juga dengan di masyarakat dunia. Alasannya karena kekhawatiran akan menggangu keseimbangan alam, membahayakan kesehatan manusia dan berpengaruh pada perekonomian global.

Menurut Pakar Bioteknologi dari Universitas Atmajaya, Prof. Antonius Suwanto, Sejatinya, tanaman transgenik merupakan bagian dari pemuliaan tanaman. “Kehadiran bioteknologi dalam bidang pertanian ini mengundang pro dan kontra di masyarakat karena kekhawatiran tersebut,” kata Antonius Suwanto, dalam acara Journalist Class on Biotechnology Sesi 2 yang bertema  Etika dalam Bioteknologi di Universitas Atmajaya Jakarta, Jakarta, Kamis (27/10).

Meskipun demikian, ada sejumlah peneliti swasta dan pemerintah yang mencoba menghasilkan produk rekayasa genetik ini, misalnya pada padi, jagung, kapas, kentang, dan tomat dengan skala yang  terbatas. Institusi yang bergiat  di bidang ini antara lain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Balai Penelitian Sayuran (Balitsa), Monsanto, Bayer, Sungenta.

 









Salah satu laha
n jagung yang memiliki produktivitas yang tinggi                                           Foto : Mardi Rasa
Peneliti Bioinformatika di R & D Biotechnology PT Charoen Pokphand Indonesia Adi Yulandi mengatakan, Bioteknologi sudah berkembang sebelum manusia mendifinisikan arti dari bioteknologi itu sendiri. Namun dalam perkembangnya bioteknologi ini seringkali menciptakan hal yang kontroveri seperti cloning, rekayasa genetika, dan tanaman transgenik. “Anggapan atau respon masyarakat pada kontroversi ini karena berbagai opini dan cara pandang individu dengan berbagai latar belakang, etika, dan keyakinan agama dalam masyarakat tersebut. Seringkali hal itu bukan dari fakta atau informasi yang akurat,” jelasnya Adi Yulandi.

Dalam bioteknologi, tambah Adi, etika lebih dikenal dengan bioetika yang mempelajari cara pandang moral, keputuasan dan respon masyarakat dalam fenomena biologi yang berkembang. Dalam ajaran agama pun manusia wajib menggunakan kemampuan akal dan budinya untuk mencapai derajat yang lebih mulia.

Sehingga perkembangan bioteknologi dalam hal meningkatkan harkat dan martabat manusia akan sangat didukung. “Dengan adanya bioetika dan kearifan ajaran agama perkembangan bioteknologi akan membawa ke dalam era yang lebih baik,” pungkasnya.

Sementara itu, menurut Dr. Muhammad Herman dari Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Badan Litbang Pertanian, kalau bukan karena banyaknya alasan positif seperti dapat menghemat waktu, meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi yang jauh lebih tinggi. Tidak mungkin produk rekayasa genetik meluas pemakaiannya di dunia.

Pada 2010, komersialisasi tanaman Produk Bioteknologi (PB) sudah memasuki tahun ke 16 dan terus mengalami peningkatan luas lahan untuk PB. Tingkat adopsi PB dunia melaju pesat. Sejak pertama kali ditanam pada 1996 secara komersial oleh 6 negara, luasannya baru 1,7 juta ha. Pada 2010 luasannya menjadi 148 juta ha ditanam di 29 negara.

“Namun produk biotek ini tidak pernah lepas dari isu seperti lingkungan hidup, kesehatan dan perang dagang,” katanya. Untuk itu, sikap Indonesia sendiri terhadap PB menerima dengan pendekatan kehati-hatian (precautionery approach).

Tri Mardi Rasa

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain