Komersialisasi tentang produk rekayasa genetik masih mengalami pro dan kontra begitu juga dengan di masyarakat dunia. Alasannya karena kekhawatiran akan menggangu keseimbangan alam, membahayakan kesehatan manusia dan berpengaruh pada perekonomian global.
Menurut Pakar Bioteknologi dari Universitas Atmajaya, Prof. Antonius Suwanto, Sejatinya, tanaman transgenik merupakan bagian dari pemuliaan tanaman. “Kehadiran bioteknologi dalam bidang pertanian ini mengundang pro dan kontra di masyarakat karena kekhawatiran tersebut,” kata Antonius Suwanto, dalam acara Journalist Class on Biotechnology Sesi 2 yang bertema Etika dalam Bioteknologi di Universitas Atmajaya Jakarta, Jakarta, Kamis (27/10).
Meskipun demikian, ada sejumlah peneliti swasta dan pemerintah yang mencoba menghasilkan produk rekayasa genetik ini, misalnya pada padi, jagung, kapas, kentang, dan tomat dengan skala yang terbatas. Institusi yang bergiat di bidang ini antara lain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Balai Penelitian Sayuran (Balitsa), Monsanto, Bayer, Sungenta.
Peneliti Bioinformatika di R & D Biotechnology PT
Charoen Pokphand Indonesia Adi Yulandi mengatakan, Bioteknologi sudah berkembang
sebelum manusia mendifinisikan arti dari bioteknologi itu sendiri. Namun dalam
perkembangnya bioteknologi ini seringkali menciptakan hal yang kontroveri
seperti cloning, rekayasa genetika, dan tanaman transgenik. “Anggapan atau
respon masyarakat pada kontroversi ini karena berbagai opini dan cara pandang
individu dengan berbagai latar belakang, etika, dan keyakinan agama dalam
masyarakat tersebut. Seringkali hal itu bukan dari fakta atau informasi yang
akurat,” jelasnya Adi Yulandi.
Salah satu lahan jagung yang memiliki produktivitas yang tinggi Foto : Mardi Rasa
Dalam bioteknologi, tambah Adi, etika lebih dikenal dengan bioetika yang mempelajari cara pandang moral, keputuasan dan respon masyarakat dalam fenomena biologi yang berkembang. Dalam ajaran agama pun manusia wajib menggunakan kemampuan akal dan budinya untuk mencapai derajat yang lebih mulia.
Sehingga perkembangan bioteknologi dalam hal meningkatkan harkat dan martabat manusia akan sangat didukung. “Dengan adanya bioetika dan kearifan ajaran agama perkembangan bioteknologi akan membawa ke dalam era yang lebih baik,” pungkasnya.
Sementara itu, menurut Dr. Muhammad Herman dari Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Badan Litbang Pertanian, kalau bukan karena banyaknya alasan positif seperti dapat menghemat waktu, meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi yang jauh lebih tinggi. Tidak mungkin produk rekayasa genetik meluas pemakaiannya di dunia.
Pada 2010, komersialisasi tanaman Produk Bioteknologi (PB) sudah memasuki tahun ke 16 dan terus mengalami peningkatan luas lahan untuk PB. Tingkat adopsi PB dunia melaju pesat. Sejak pertama kali ditanam pada 1996 secara komersial oleh 6 negara, luasannya baru 1,7 juta ha. Pada 2010 luasannya menjadi 148 juta ha ditanam di 29 negara.
“Namun produk biotek ini tidak pernah lepas dari isu seperti lingkungan hidup, kesehatan dan perang dagang,” katanya. Untuk itu, sikap Indonesia sendiri terhadap PB menerima dengan pendekatan kehati-hatian (precautionery approach).
Tri Mardi Rasa