Sementara itu, kemampuan produksi dari beberapa produsen kopi luwak pun sangat terbatas. Kopi Luwak mengalami keterbatasan produksi karena proses fermentasi kopi itu yang harus dilakukan di dalam perut binatang Luwak. Proses produksinya hanya bisa dilakukandengan cara budidaya binatang Luwak.
Akibatnya, Kopi luwak yang memiliki ciri khas tersendiri, baik secara proses dan citarasanya, produksinya terbatas dan naiknya permintaan ekspor kopi luwak sengaja dibatasi oleh produsen.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi penerapan pasca panen kopi luwak Kelompok Tani Kopi Rahayu dan launching Kopi Malabar arabika regular dan arabika luwak di Desa Margahayu Pangalengan Jawa Barat, Kamis (6/10).
Sementara itu, Kelompok Tani Kopi Rahayu Supriatna Dinuri mengatakan, banyak pembeli atau eksportir kopi yang akan membeli kopi di tempatnya bertanya mengenai keaslian kopi yang dijualnya tersebut. “Memang belum ada sertifikasinya tapi kami biasanya mengajak pembeli tersebut untuk melihat langsung prosesnya,” kata Supriatna di sela-sela acara diskusi.
Kopi luwak memang memiliki ciri khas tersendiri, baik secara proses dan citarasanya. Tapi, kopi luwak bukan menjadi produk unggulan bagi kelompok Tani Kopi Rahayu tapi yang utama adalah kopi Arabika. Sebab kopi luwak ini hanya 10% dari total produksi kelompok tani yang mencapai 80 ton per tahun. “Kami belum mampu memproduksi besar-besaran karena keterbatasan dari luwak yang kami miliki,” tambahnya.
Kerjasama Dengan Ahli Kopi
“Kopi luwak ini sangat unik dan memiliki rasa yang fantastis dibandingkan kopi lainnya, dan jenis kopi ini di dunia baru ada di Indonesia sebagai Negara pengahasil kopi luwak satu-satunya,” jelas Ahli Kopi dari PUM Netherlands Senior Expert (NSE), Sipke de Schiffart di sela-sela acara kunjungan ke penagkaran Kopi Luwak di Pangalengan.
Tentunya, tambah Sipke cara-cara yang dilakukan oleh petani di desa Margahayu tersebut sudah sesuai dengan animal walfare (kesejahteraan hewan), sebab luwak di pelihara di tempat yang disesuaikan dengan habitat aslinya, dan dipelihara seperti binatang peliharaan yang berproduksi seperti ayam yang menghasilkan telur.Kebersihan kandang, makanan juga menjadi perhatian yang tidak boleh ditinggalkan dan sesuai dengan kebiasaan luwak tersebut.
Untuk itu, Sipke tetap memberikan arahan agar kopi luwak ini bisa dikembangkan dan tetap berpatokan pada animal walfare. Memahami jika terjadi pertentangan masalah animal walfare ini, pihaknya dan PUM akan memfasilitasi kelompok tani ini untuk mendapatkan sertifikasi agar tetap bisa memproduksi kopi luwak untuk dipasarkan ke Eropah.
Kerjasama ini, tambah Sipke, dilakukan tidak hanya sebatas peningkatan kualitas saja tapi juga produksinya dan pascapanen hingga packaging sehingga kelompok tani ini bisa memiliki nilai tambah dari produksi kopi tersebut. Selain itu, kopi dari kaki gunung Malabar ini lebih dikenal di dunia.
Sementara itu, menurut Supriatna, PUM NSE telah banyak memberikan masukan kepada kelompok tani bagaimana menghasilkan kualitas kopi yang terbaik dan bisa masuk ke pasar internasional. Hasilnya, sangat signifikan terhadap produksi kopi di sini, sebelumnya kelompok tani hanya bisa menghasilkan sekitar 58 ton arabika dalam setahun, kini sudah bisa 80 ton setahun dan mutunya semakin meningkat. “Kalau dulu gradenya mungkin hanya 2 dan 3 sekarang sudah grade 1, dulu dijual dalam bentuk biji kini kami memiliki pengolahannya,”katanya.
Supriatna berharap kerjasama dengan PUM Netherlands Senior Expert (NSE) bisa berkembang lebih luas dan memberikan dampak positif bagi petani.
Tri Mardi Rasa