Senin, 26 September 2011

LIPUTAN KHUSUS : Saatnya Memburu Target 35/26

Genderang kebulatan tekad itu sudah dicanangkan. Bukan sembarang ikrar, tapi tekad mewujudkan Visi 35/26 guna mengatrol produktivitas sawit.

Adalah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang awalnya getol mengusung tekad ini. Lantas, bersama-sama pemerintah, yang terdiri dari Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, dan Menko Perekonomian, digemakanlah tekad mewujudkan visi tersebut berbarengan pencanangan  Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada Perayaan 100 Tahun Sawit Indonesia yang dilangsungkan di Medan, Sumut, 28-30 Maret 2011 silam.

Tapi, mengapa harus Visi 35/26, yang berarti produksi tandan buah segar (TBS) sebanyak 35 ton per hektar per tahun dan kadar rendemen 26%? Tentu, ini lantaran produksi TBS per hektar yang terbilang rendah meskipun sudah menduduki peringkat pertama penghasil crude palm oil (CPO) dunia semenjak 2006, mengatasi Malaysia yang sebelumnya duduk di posisi itu. Saat ini, produksi CPO Indonesia sebesar 21,8 juta ton, sedangkan Malaysia 17,6 juta ton.

Namun, soal produktivitas, Malaysia tetap masih unggul. Lihat saja, dengan luas lahan sawit yang hanya sekitar 4 juta hektar --bandingkan dengan Indonesia yang seluas 7,8 juta hektar-- mereka mampu memproduksi CPO hingga 17 juta ton. Belum lagi jika membandingkan dengan lebih majunya negeri jiran itu di bidang industri hilir sawit.

Rendahnya produktivitas sawit Indonesia pun tergambar dari produksi TBS per hektar per tahun yang berkisar pada angka 15 ton, dengan rendemen paling tinggi 23% untuk perkebunan rakyat. Produksi CPO pun hanya 1,5 hingga 2 ton per hektar untuk perkebunan rakyat, sementara perkebunan negara dan swasta 4 ton per hektar.  “Ini sangat rendah,” tandas Asmar Arsjad, Sekjen Apkasindo.

Itu sebabnya, dengan target 40 juta ton CPO pada 2020 seperti dicanangkan pemerintah, digaungkan pula upaya mewujudkan Visi 35/26. Tapi, segampang itukah?

Kendala Produksi dan Rendemen

Menurut Asmar, untuk mewujudkan Visi 35/26 itu, harus dibenahi sejumlah kendala di bidang produksi dan rendemen, terutama di perkebunan rakyat. Di bidang produksi, ada persoalan bibit palsu, lahan marginal (kelas dua dan kelas tiga), pupuk yang kurang atau tidak ada sama sekali, hama dan penyakit, iklim, dan tanaman sawit yang sudah tua, yang rata-rata berumur 25-28 tahun.

Di bidang rendemen, yang harus diperhatikan adalah persoalan kultur teknis, sortasi TBS di pabrik, berondolan sawit, matang panen, kriteria panen, kehilangan minyak (losses), tangkai panjang, dan kontaminasi. “Untuk mencapai target, semua kendala produksi dan rendemen itu harus dituntaskan,” tandas Asmar.

Sedangkan Final Prajnanta, Head of Marketing Bayer CropScience Indonesia, meminta keseriusan pemerintah untuk bisa mencapai target 35/26 itu. Misalnya, tak segan mengajak swasta urun rembuk. “Pelatihan sangat diperlukan, tapi tak kalah penting memastikan kebun sawit rakyat mendapat bimbingan langsung dari swasta, khususnya pemain besar seperti Wilmar, Minamas (Sime Darby), Bakrie Plantation, Lonsum, termasuk perusahan sawit Malaysia di Indonesia,” paparnya.

Pemerintah, tambah final, juga perlu menyediakan benih sawit berkualitas. Produksi benih sawit berkualitas saat ini belum memenuhi semua lahan sawit di Indonesia. Tak hanya itu, pemerintah juga harus bisa mengawasi agar benih berkualitas bantuan ini tak jatuh ke pihak tidak berwenang.

Standar Pemupukan

“Mesti pula ditetapkan standar pemupukan berdasarkan area pengembangan di tiap provinsi. Jenis pupuk apa saja yang diperlukan? Jika hanya mengandalkan NPK tak akan optimal. Pupuk yang mengandung unsur kalsium, magnesium, zinc hingga boron sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi sawit,” urainya.

Jika pupuk zinc sukar didapat, lanjut Final, pekebun bisa menggunakan fungisida Antracol pada pembibitan sawit. Selain melindungi bibit dari penyakit bercak daun, kandungan zinc pada Antracol akan meningkatkan kualitas bibit. “Ini  terlihat dari warna bibit sawit yang lebih hijau dan sehat karena penyemprotan Antracol. Penambahan pupuk organik juga sangat bagus untuk keseimbangan fisika kimiawi tanah,” jelas final.

Penggunaan pestisida yang tepat pun penting. Penggunaan herbisida ini harus sesuai rekomendasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). “Penggunaan Basta 150 WSC sangat disarankan untuk tanaman TBM (tanaman belum menghasilkan) dan TM (tanaman menghasilkan) karena Basta bisa dipakai untuk tanaman muda dan tidak menimbulkan partenokarpi untuk tanaman dewasa,” papar Final.

Sedangkan untuk masalah hama, antisipasi serangan ulat api bisa ditekan sedini mungkin dengan aplikasi insektisida Decis 25 EC. “Selain itu, pelatihan pananganan panen dan pascapanen pun sangat penting untuk kebun sawit rakyat supaya risiko kehilangan hasil bisa ditekan,” sarannya. 

Investasi Benih

Sementara itu, bagi Kasirin, Product Manager Herbicides PT Syngenta Indonesia, untuk mengatrol produksi, ada beberapa hal yang harus dibenahi di perkebunan rakyat. Yang pertama harus diubah adalah varietas benihnya, dari yang asal ke benih unggul. Dan pemerintah harus bersedia berinvestasi. Lantas, ada periode kritikal yang harus dikastrasi. “Minimal 24 bulan, nggak boleh ada bunga yang jadi buah. Itu kan pengetahuan yang sederhana,” paparnya.

Soalnya, sawit adalah tanaman yang vegetatif dan generatifnya bersamaan. Jadi, bunga harus dikastrasi 24 bulan baru diberi kesempatan berbuah. “Itu sebabnya, orang bilang tiga tahun TM1. Tanaman ini begitu keluar daun ya pengin keluar bunga juga,” jelas Kasirin.

Kemudian, soal pemupukan, seperti berapa dosisnya dan kapan dilakukan. Seolah ini sepele, tambah Kasirin, tapi perlu diajarkan. “Ya, soal pemeliharaan tanaman muda,” ungkap Kasirin seraya menambahkan tak kalah pentingnya pengetahuan mengenai pengendalian gulma.

Menurut pria asal Tegal ini, gulma bisa diatasi dengan cara manual atau dengan herbisida. Untuk herbisida, bisa digunakan Gramoxone atau Touchdown. “Touchdown hanya untuk weed management (manajemen gulma) guna menghindari supresi, agar tidak terjadi resistensi,” urainya.

Pendekatan Kimiawi dan Biologi

Dan karena sekarang areal sawit luas, beberapa hama trennya naik. Misalnya, Oryctes (kumang badak). Ini masalah klasik, papar Kasirin, tapi karena monokultur, trennya pun naik. “Jadi, perlu diantisipasi dengan pengetahuan. Kalau hanya dengan kimiawi, kan susah juga,” katanya.

Lulusan Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan IPB ini lantas menguraikan, tanaman tahunan stabilitas ekosistemnya lebih stabil, sehingga penggunaan musuh alami lebih memungkinkan berhasil. Kombinasi pendekatan kimiawi dan biologi untuk pengendalian hama dan gulma yang lebih terpadu lebih memungkinkan.

“’Kan nggak mungkin inangnya tiba-tiba hilang. Seperti pengendalian tikus dengan burung hantu, atau ulat api dengan hanya pestisida. Kita selalu tidak menyarankan yang tunggal jenisnya, kecuali tikus kalau intensif ya dengan Klerat,” ujar Kasirin.

Selain sangat diperlukannya tenaga penyuluh sawit yang andal, Kasirin  juga mengingatkan agar para pekebun sawit rakyat dibekali pengetahuan ekonomi dasar, mengingat usaha perkebunan sawit menjanjikan duit yang besar.  

Syaiful Hakim, Peni Sari Palupi, Untung Jaya

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain