Dengan kompensasi US$1 miliar, Indonesia harus mengerem pemanfaatan gambut dua tahun ke depan. Lalu apa yang bisa diperbuat?
Indonesia dikarunia lahan gambut tropis terluas di dunia sebanyak 21 juta ha. Padahal luasan gambut Asia Tenggara saja hanya 25 juta ha yang meliputi 69 persen dari total hamparan gambut di muka bumi. Dari 21 juta ha itu, sekitar 6 juta ha layak untuk pertanian. Demikian paparan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, Wakil Rektor IPB dalam diskusi soal pemanfaatan lahan gambut Mei lalu di Jakarta.
“Dari 6 juta ha ini sekarang tinggal 3 juta – 4 juta. Dan ini yang akan kita obok-obok sampai akhir kiamat. Artinya, gambut adalah bagian dari sumber daya yang sebenarnya terpaksa harus kita manfaatkan,” timpal Dr. Irsal Las, ahli tanah dar Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian pada acara yang sama.
Padahal kebutuhan lahan kita cukup tinggi, 400 ribu – 600 ribu ha per tahun untuk mendukung produksi pangan yang harus meningkat untuk memproduksi pangan bagi hampir 250 juta mulut. Lebih jauh Irsal Las menyodorkan data betapa lahan pertanian per kapita kita amat sempit, hanya 337 m2 per orang. Padahal Vietnam saja seluas 960 m2. Janganlah bandingkan kita dengan Brasil yang lahan per kapitanya mencapai 3.430 m2.
Sudah begitu sempit lahan tersebut, salah satu peluang untuk memanfaatkan lahan bagi pertanian sementara tertutup pula selama dua tahun ke depan akibat penerbitan Inpres No.10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut 20 Mei 2011.
Merugikan Sawit
Pemanfaatan lahan gambut memang memberikan dilema antara nilai positif dan risikonya. Menurut Prof. Supiandi Sabiham, pakar tanah dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB, selama periode 1970 – 1980, program transmigrasi lahan gambut kurang memberikan nilai ekonomi pada daerah apabila pendekatannya hanya pada tanaman pangan. Mulai awal 1980-an lahan gambut tersebut dijadikan pengembangan wilayah berbasis perkebunan dengan pilihan komoditas kelapa sawit. Ternyata terbukti sangat menjanjikan.
Mendukung data Supiandi, Irsal Las menunjukkan bukti tanaman sawit dapat menghasilkan 24 ton tandan buah segar (TBS) per ha pada kedalaman gambut lebih dari 7 m. Tak heran bila kalangan pengusaha sawit termasuk yang paling “marah” dengan penerbitan Inpres ini. Pasalnya, banyak di antara mereka yang terpaksa menahan diri untuk pengembangan kebun. Padahal harga minyak sawit mentah (CPO) tahun ini diprediksi tetap tinggi antara US$1.000 – US$1.100 per ton. Dan diperkirakan pula, komoditas ini makin menjanjikan tahun-tahun mendatang.
Betapa pun peluang meraup untung lenyap atau setidaknya tertunda dua tahun, Dr. Haryono, Kepala Badan Litbang Pertanian mengatakan, “Inilah waktu dua tahun ke depan buat survei mendalam untuk menghitung economic value sehingga dalam dua tahun ini ada yang bisa kita lakukan. Paling tidak dua tahun ini tidak diperpanjang lagi.”
Untuk itu Hermanto Siregar mengusulkan, ke depan diperlukan kesepakatan lebih rinci tentang cakupan “pemanfaatan” lahan gambut, pemberian insentif dalam konservasi gambut, dan integrasi R&D kementerian terkait, perguruan tinggi, dan dunia usaha terkait pengelolaan lahan gambut. Yuk kerja sama-sama cari solusi!
Peni SP