Senin, 26 September 2011

LIPUTAN KHUSUS : Menggugat Pungutan Bea Keluar

Penerapan bea keluar (BK) pada ekspor produk kelapa sawit menyulut reaksi yang tak kunjung padam.

Aliran devisa dari ekspor produk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya yang sangat deras menjadi sumber pundi-pundi pendapatan negara. Kalau dulu pemerintah mengambilnya melalui instrumen pajak ekspor (PE), kemudian berganti nama menjadi bea keluar (BK). Sampai akhir Agustus 2011, penerimaan BK sebanyak Rp21 triliun, sedangkan target sampai akhir tahun ini mencapai Rp25,4 triliun.

BK Baru

Sayangnya, meski menjadi produsen nomor satu di dunia dengan volume diperkirakan mencapai 22,7 juta ton pada 2011, komoditas ini banyak mengalami tantangan tak hanya dari luar negeri tetapi juga dalam negeri. Ambil contoh pungutan BK tadi. Di satu sisi menjadi andalan penerimaan negara tapi di sisi lain dinilai memberatkan bagi pengusaha dan petani.

“Pemerintah mengeluarkan bea keluar CPO terbaru yang ditujukan mendorong industri hilir kelapa sawit di dalam negeri. Aturan ini merupakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 mengenai perubahan atas peraturan menteri keuangan nomor 67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang terkena bea keluar dan tarif bea keluar,” ujar Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian, Agustus lalu di Kementerian Pertanian.

Peraturan bea keluar CPO terbaru ini, lanjut dia, untuk mendorong pertumbuhan industri hilir kelapa sawit. Selain itu, ditujukan pula menjaga stabilisasi harga minyak goreng di dalam negeri. Dalam peraturan ini, semakin hilir produk kelapa sawit, maka bea keluar (BK) yang dibebankan akan semakin rendah.

Lebih jauh Bayu memaparkan, harga referensi batas bawah CPO dinaikkan menjadi US$750 per ton yang baru terkena pajak 0 persen. Sementara, harga batas atas lebih dari US$1.250 per ton menjadi dipungut sebesar 22,5 persen. BK terbaru ini kemungkinan akan berlaku pada Oktober nanti. Produk hilir seperti refined bleached deodorized (RBD) Palm Oil  terkena pungutan ekspor maksimum 10 persen dan  minyak goreng dalam kemasan maksimum 6 persen.  Dari total produksi CPO nasional, kapasitas produksi industri  minyak goreng sebesar 6 juta-7 juta ton, oleokimia serta biofuel baru mencapai 1,5 juta-2 juta ton. “Diharapkan pemberlakuan bea keluar CPO terbaru ini, semakin meningkatkan kapasitas produksi industri hilir sawit di dalam  negeri. Selain itu, volume ekspor hilir kelapa sawit  kian bertambah,” ucap Bayu.

Tuntut Pengembalian

Meski itu atas nama alasan-alasan yang baik, toh pungutan ini tetap mendapat tentangan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) misalnya. Melalui Direktur Eksekutifnya, Fadhil Hasan, memandang tarif BK sekarang sebenarnya lebih tinggi pada tingkat harga US$950-US$1100.  Padahal diperkirakan harga CPO dalam tahun ini dan mendatang akan berada pada kisaran US$1.000-US$1.100 per ton.  

Pernyataan tarif dalam BK sekarang lebih rendah adalah menyesatkan dan tidak sesuai kenyataan.  Pada kenyataannya petani dan produsen CPO dikenakan BK yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.  Hal ini semakin  membuktikan bahwa BK sebenarnya adalah instrumen penerimaan negara,” tukas Fadhil di markas GAPKI Jakarta (5/9).

Suara tak kalah keras juga datang dari Asmar Arsyad, Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) di Jakarta (22/9). Pihaknya mengharapkan pengembalian BK sebanyak Rp31 triliun untuk peremajaan kelapa sawit rakyat 1 juta hektar, sertifikasi lahan petani, pelatihan petani, infrastruktur di 21 provinsi.

Peni SP, Yuwono IN, Syaiful Hakim

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain