Hortikultura mestinya tetaplah merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia. Pada 2010, misalnya, Gross Domestic Product (GDP) dari hortikultura mencapai Rp 942 triliun, meningkat 5,8% dari tahun 2009. Namun, dibandingkan banyak negara penghasil komoditas hortikultura lainnya, posisi Indonesia termasuk masih rendah. Yaitu, bercokol di posisi keenam sebagai negara pengekspor buah-buahan tropis (USD 3,4 miliar). Sedangkan Thailand berada di posisi teratas (USD 40,7 miliar) sebagai negeri pengekspor buah-buahan tropis.
Sebagai negeri pengekspor buah-buah terbesar, Thailand memang seolah menjadi “ikon” tersendiri bagi dunia hortikultura di Tanah Air. Bahkan, berbagai buah unggul di Indonesia selalu dilekatkan dengan kata “bangkok” untuk menggambarkan keistimewaannya, meski tidak harus selalu berasal dari Thailand ataupun berhubungan dengan Negeri Gajah Putih itu.
Itulah sebabnya, Indonesia semestinya tidak perlu merasa risih untuk belajar dari Thailand. Bagaimanapun Thailand telah mencapai posisinya sekarang berkat kerja keras para petani dan segenap stake holders agribisnisnya, yang memang mendapat dukungan penuh dari pemerintah mereka.
Pertumbuhan Pesat Florikultura Thailand
Seperti diungkapkan Udom Titwattanasakul, Ketua Masyarakat Tanaman Hias Thailand, Negeri Gajah Putih itu kini telah pula menjelma menjadi negeri pengekspor komoditas florikultura dunia di peringkat ke-10. Pada 2009, nilai ekspor tanaman hias mereka mencapai 955,95 miliar baht. Ini merupakan peningkatan dari tahun 2008 yang senilai 432,32 miliar baht.
Thailand, menurut Udom Titwattanasakul, mengekspor antara lain tanaman hias sansevieria, polyscias, curcuma, bougainvillea, dan adenium serta jenis cut-foliage. Sedangkan negara-negara yang menjadi tujuan ekspor komoditas tanaman hias Thailand antara lain adalah Korea Selatan, Belanda, Uni Emirat Arab, Jepang, dan Amerika Serikat.
Pada tahun 2010, diakui oleh Ketua Masyarakat Tanaman Hias Thailand ini, nilai ekspor tanaman hias Thailand mengalami penurunan, yakni hanya meraih 391.37 miliar baht. Penurunan nilai ekspor tanaman hias Thailand ini disebabkan antara lain oleh banyaknya bencana alam di berbagai penjuru dunia, naiknya harga minyak bumi, dan krisis ekonomi di kawasan Eropa. Namun, Udom Titwattanasakul optimistis dan berharap pada tahun 2011 nilai perdagangan tanaman hias dunia meningkat menjadi 3,4 triliun baht.
Menurut Udom Titwattanasakul, kerjasama di antara pelaku bisnis hortikultura dari berbagai negara, terlebih di ASEAN, tentu merupakan cara yang tepat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Salah satu isu utama, misalnya, adalah adanya standardisasi atas impor produk-produk pertanian, termasuk tanaman hias, yang dikeluarkan Uni Eropa.
“Pengetahuan dan kemampuan dalam berproduksi sangat penting untuk membuat suatu negeri mampu menjalankan perdagangan komoditas pertanian secara berkelanjutan,” papar Udom Titwattanasakul.
Itu sebabnya, Udom Titwattanasakul menyambut gembira diadakannya Horti Asia 2012 pada 9–11 May 2012 di Bangkok International Trade & Exhibition Centre (BITEC). Sebab, kerjasama di antara pelaku bisnis pertanian, termasuk di dalamnya pertukaran pengetahuan budi daya, tentu akan sangat membantu para petani di masing-masing negara.
Berbagi Teknologi dan Inovasi
Bagi Indonesia sendiri, jelas Horti Asia 2012 (International Tradeshow for Horticultural and Floricultural Production and Processing Technology) tersebut -- yang mempertemukan penjual dan pembeli, serta menyediakan informasi bidang hortikultura – akan sangat bermanfaat. Sebab, kegiatan ini merupakan salah satu ajang untuk berbagi inovasi dan teknologi baru dalam mendukung industri hortikultura, terutama di ASEAN.
Setidaknya akan banyak manfaat yang diperoleh dengan mengikuti dan menghadiri pameran ini. Antara lain, memperoleh informasi teknologi terakhir di bidang budidaya, beragam produk segar, logistik, pascapanen, dan pengolahan, untuk mengoptimalkan industri hortikultura di Indonesia.
Selain itu, kalangan pebisnis hortikultura Indonesia tentu juga bakal mendapatkan informasi tentang mutu dan standar (produk segar, olahan, dan kering), jaminan keamanan pangan, dan standar sertifikasi perdagangan produk hortikultura, untuk meningkatkan pangsa pasar ekspor produk hortikultura Indonesia sebagaimana yang dituntut oleh pasar ekspor. Seperti telah diketahui bahwa ASEAN sudah mengadopsi ASEAN Good Agricultural Practices (ASEAN GAP) untuk produksi, panen, pascapanen buah dan sayuran segar, serta sejumlah standar produksi hortikultura, yaitu standar ASEAN untuk mangga, nenas, durian, pepaya, pomelo, dan rambutan.
Potensi besar hortikultura Indonesia, baik buah-buahan, sayuran, ataupun florikulturanya seperti selalu disuarakan Karen Tambayong, Ketua Asosiasi Bunga Indonesia (Asbindo), tentu bakal beroleh manfaat besar jika tak enggan belajar kepada Thailand, atau negeri mana pun, yang harus diakui telah melangkah lebih jauh dibanding Indonesia. Saat ini, nilai ekspor pertanian Thailand senilai USD 33.000 miliar, sedangkan nilai ekspor komoditas hortikulturanya sebesar USD 3.800 miliar. Khusus komoditas buah dan sayuran sendiri, nilai ekspor Thailand telah mencapai USD 2.300 miliar.
Tabloid AGRINA sendiri telah ditunjuk oleh N.C.C Exhibition Organizer Co., Ltd. (NEO), pelaksana Horti Asia 2012, untuk mengoordinasi peserta pameran dan pengunjung dari Indonesia. Sebelumnya, pada 13 Juli 2011 silam, misalnya, AGRINA juga telah mempertemukan pelaksana Horti Asia 2012 dengan beberapa pemangku kepentingan Hortikultura Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, disimpulkan bahwa para pelaku Hortikultura Indonesia (buah-buahan, sayuran, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias) memandang perlu mengambil peran di dalam ajang tersebut yang terkoordinasi di bawah Paviliun Indonesia.
Syaiful Hakim