Senin, 12 September 2011

LIPUTAN KHUSUS : Kembangkan Pembangunan untuk Pertanian

Pembangunan pertanian dapat dilihat dari dua sisi, yaitu pembangunan di pertanian dan pembangunan untuk pertanian. Keduanya harus saling isi.

Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, berpendapat, bila hanya menekankan pembangunan di pertanian, maka hasilnya seperti sekarang. Sering yang dipikirkan, dibicarakan, dan dilakukan pembangunan di pertanian. Sama sekali tidak memberikan perhatian pada pembangunan untuk pertanian. Lebih baik kedua-duanya harus saling mengisi.

Pakar agribisnis ini melihat masih banyak masalah dalam 66 tahun pembangunan di pertanian. Namun begitu itu masih lebih bagus dibandingkan sektor-sektor lain di Indonesia. Hanya dalam bidang pertanian Indonesia mampu nomor satu pada level global. Indonesia nomor satu dalam produksi dan ekspor kelapa sawit, rempah-rempah, kopi robusta, dan banyak produk pertanian tropis lainnya. Nomor dua untuk karet, kakao, kelapa, singkong, dan banyak lainnya. Sekalipun masih banyak masalah dalam produksi padi tapi Indonesia produsen terbesar nomor tiga di dunia. Dalam hal produktivitas padi kita hanya kalah dari Jepang, Korea, dan China. Dan masih banyak komoditas pertanian lain pada peringkat tiga.

Perubahahan Struktur Perekonomian

Sayangnya, kita pemain global tapi petaninya miskin. Sangat ironis. Sekalipun pembangunan pertanian berhasil tapi menimbulkan petani-petani yang miskin. Itulah salahnya pembangunan di pertanian.

Saat Indonesia merdeka pada 1945 penduduk Indonesia hanya 80 juta jiwa, sekarang sudah 240 juta jiwa. Jumlah penduduk sudah tiga kali lipat, mungkin jumlah petaninya juga tiga kali lipat. Sementara lahan pertanian terbatas. Jadi jumlah penduduk dan petani bertambah, tapi sumberdaya yang dimiliki tidak bertambah. Karena itu,  walaupun produktivitas dan produksi meningkat, pendapatannya tetap rendah sehingga kesejahteraan petani juga rendah.

Selama 66 tahun merdeka sebenarnya telah terjadi perubahan struktur perekonomian yang tidak seimbang. PDB kita saat kemerdekaan 80 persen dari pertanian dengan pekerja di pertanian juga 80 persen sehingga antara petani dan nonpetani tidak banyak perbedaan kesejahteraan. Sekarang keadaannya sudah lain, PDB pertanian tinggal 14 persen tetapi tenaga kerja di pertanian masih 43 persen. Ini berarti perubahan struktur dalam PDB tetapi tidak diikuti perubahan struktur dalam tenaga kerja. Praktis kesejahteraannya ketinggalan dibandingkan yang lain.

Hal itu terjadi karena industri dan jasa bertumbuh tetapi tidak menjadi tempat penyerapan tenaga kerja dari pertanian. Bahkan mungkin juga tidak merupakan tempat penyerapan dari hasil-hasil pertanian. Jika perubahan struktur perekonomian ini terus begitu, maka pertanian bisa maju tapi petaninya selalu akan ketinggalan.

Lain halnya jika industri dan jasa dapat menyerap tenaga kerja dan hasil produksi pertanian, itulah yang disebut pembangunan untuk pertanian. Sayangnya itu tidak terjadi dan pemangku kepentingan pertanian tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut bahkan menganggap orang lain sudah tahu harus bagaimana ikut membangun pertanian.

Pertanian dari Masa ke Masa

Pembangunan pertanian itu dilakukan oleh pemerintah, petani, dan dunia usaha. Sejarah perkembangan pembangunan pertanian dimulai dari Orde Lama. Pada masa Orla kita masih mencari bentuk pembangunan pertanian. Meskipun ada usaha-usaha pembangunan pertanian tetapi masih belum jelas bentuknya. Pemerintah lebih banyak melanjutkan yang sudah dilakukan pemerintah kolonial sebelumnya.

Masuk masa Orde Baru, Presiden Soeharto mencurahkan perhatian khusus pada dunia pertanian sehingga segala sumberdaya diarahkan untuk membangun pertanian. Hasilnya jauh berbeda daripada masa sebelumnya, bahkan berbagai prestasi dalam dunia pertanian dapat dicapai pada masa itu seperti swasembada beras pada 1984.

Awal masa reformasi dan sebagai akibat kesulitan pada akhir Orba, kondisi perberasan kita justru berada pada titik terendah dengan impor beras mencapai 4 juta ton per tahun. Kita membuat program untuk kembali dapat berswasembada beras, tapi tidak hanya secara sporadis melainkan swasembada beras berkelanjutan. Pada 2004 kita sudah berani melarang impor beras karena produksi dalam negeri sudah melimpah dan harga turun. Dan pada masa ini sebenarnya bertumbuh juga industri kelapa sawit dan berbagai komoditas perkebunan.

Sawit hingga 1998 dengan banyak program pemerintah hanya sekitar 2 juta ha. Tapi sesudah krisis keuangan kita tidak punya uang dan tidak punya program untuk sawit, justru sawit berkembang sangat cepat menjadi 4 juta ha pada 2004. Dan justru yang banyak tumbuh itu petani kecil karena mereka memiliki kemampuan yang luar biasa. Jadi pemerintah cukup berperan sebagai fasilitator.

Namun setelah 2004, pemerintah cenderung ingin kembali menjadi pemimpin pembangunan pertanian. Indikasinya bujet yang terus membesar di Kementerian Pertanian. Tahun 2004 kita berani melarang impor beras dengan subsidi pupuk hanya Rp1,2 triliun dan bujet Kementan hanya Rp2 triliun. Sedangkan tahun lalu subsidi pupuk sudah Rp18 triliun dan bujet Kementan Rp10 triliun, tapi harus mengimpor beras 1,2 juta ton.

Marilah belajar dari krisis keuangan yang baru lalu karena telah memberikan kita pelajaran yang sangat berharga. Bahwa pembangunan pertanian yang dipimpin oleh para petani dan para pengusaha pertanian jauh lebih efisien, efektif, dan berdaya saing, dibandingkan jika dipimpin pemerintah.

Untung Jaya

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain