Prof. Dr. Bustanul Arifin*)
Hadiah utama pada Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-66 adalah target pemerintah untuk mencapai surplus beras 10 juta ton pada 2014.
Sebenarnya tidak salah suatu rezim menetapkan target-target besar dan ambisius, asalkan didasarkan pada data dan fakta lapangan yang akurat. Agribisnis padi, dalam hal ini tidak harus diartikan sebagai suatu industri beras skala besar, tapi suatu sistem dan usaha agribisnis yang juga meliputi petani padi skala kecil, tentu memperoleh tantangan yang tidak ringan. Maksudnya, untuk mencapai target besar tersebut, pembenahan wajib dilakukan mulai dari hulu, tengah, dan hilir.
Permasalahan
Di hulu, serangkaian permasalahan berikut wajib ditanggulangi. Pertama, laju konversi sawah produktif menjadi kegunaan lain lebih dari 100 ribu hektar (ha) per tahun, sedangkan kemampuan rata-rata pemerintah mencetak sawah tidak sampai 50 ribu ha per tahun. Defisit areal persawahan produktif yang semakin besar membutuhkan langkah konkret pencetakan sawah baru setidaknya 100 ribu ha per tahun, dan idealnya 200 ribu ha per tahun.
Kedua, luas penguasaan lahan padi dan pangan lainnya sangat kecil sehingga sistem produksi padi tidak efisien secara ekonomis. Lebih dari 53 persen petani padi hanya menguasai lahan setengah hektar atau kurang. Maksudnya, walaupun agribisnis padi secara teknis efisien dan memberikan tingkat economic returns yang cukup tinggi, keterbatasan skala usaha tersebut tidak mampu membawa kesejahteraan bagi kehidupan petani.
Ketiga, ledakan hama dan penyakit karena kelambatan melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta ketidakhati-hatian dalam memfasilitasi perubahan ekologis, terutama penggunaan benih hibrida. Ketika terjadi ledakan hama wereng cokelat, baru semua orang bingung dan sibuk mencari-cari kesalahan atau paling tidak berupaya lepas tangan sambil mengarahkan telunjuk pada orang lain.
Di tengah, sistem produksi agribisnis padi mengalami stagnasi peningkatan produktivitas karena buruknya sistem inovasi dan perubahan teknologi baru. Laju peningkatan produktivitas selama 14 tahun terakhir (1996-2010) sangat lambat, di bawah satu persen, cukup jauh dari laju pertumbuhan penduduk yang 1,5 persen per tahun.
Tidak harus menjadi ahli ekonomi untuk mengkhawatirkan target pencapaian surplus produksi beras 10 juta ton itu amat sulit tercapai, jika tanpa kebijakan pertanian yang revolusioner. Jika pun terdapat upaya terobosan peningkatan produksi padi (baca: potong kompas) melalui padi hibrida, ketergantungan terhadap benih impor yang demikian tinggi juga tidak dapat menolong kinerja produktivitas dan keberlanjutan agribisnis padi. Bahkan, kekhawatiran para ahli tentang dampak ekologis dari keseragaman sistem produksi padi hibrida secara perlahan sudah semakin terlihat di lapangan dengan kembali munculnya wabah hama wereng yang mulai menyerang sentra produksi padi non-hibrida
Benar, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2011, produksi padi 2011 diramalkan mencapai 68 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 39,2 juta ton beras dengan laju konversi 0,57. Jika konsumsi beras 139,15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton sehingga ”selisih” produksi dengan konsumsi mencapai 6 juta ton.
Angka itulah yang sering disebut surplus sehingga pemerintah berupaya menggenjot produksi dan produktivitas untuk menambah selisih ini sampai 10 juta ton. Jika benar terdapat surplus beras, seharusnya Indonesia tidak perlu lagi mengimpor, seperti pada periode November 2010 dan Maret 2011, yang tercatat hampir 2 juta ton.
Sepanjang 2011 tidak ada laporan ekspor beras dalam jumlah signifikan sehingga timbul perdebatan karena di satu sisi pemerintah melaporkan “surplus” beras, tapi di sisi pemerintah impor beras dari Thailand dan Vietnam. Walaupun dilaporkan impor beras ini hanya untuk mengisi stok pemerintah, namun masyarakat sudah sangat skeptis terhadap akurasi data produksi padi. Menariknya, masyarakat sudah terlalu sibuk untuk menentang atau mendukung impor beras karena harga eceran sudah merangkak naik lantaran tradisi menjelang Ramadan dan pada hari besar seperti Idul Fitri.
Di hilir, agribisnis padi menderita permasalahan struktural pada sistem pengolahan, distribusi, dan konsumsi beras. Struktur pasar perdagangan beras nyaris tidak berubah, dengan dominasi sistem penggilingan padi skala kecil, berjumlah banyak, mencapai 110 ribu unit, dan bahkan menggunakan mesin tua dan sederhana. Kalaupun terdapat sistem penggilingan modern, itu dikuasai segelintir pemilik modal dan pelaku usaha, yang terkadang juga menguasai jaringan distribusi dan perdagangan beras.
Perum Bulog tidak mampu mengembangkan skala usaha ekonominya, dengan hanya menguasai maksimum 3 juta ton beras atau 7 persen dari volume produksi beras dalam negeri. Bulog terlalu terpaku pada tugas wajibnya melakukan pengadaan gabah, menjaga stabilitas harga, dan menyalurkan beras untuk keluarga miskin (raskin) sehingga fungsi komersialnya tidak terkelola dengan baik. Disamping itu, target pengurangan konsumsi beras 1,5 persen per tahun sulit terealisasi karena pengembangan pangan lokal sebagai alternatif pemenuhan karbohidrat terkendala persoalan nonteknis, kebijakan dan administratif.
Langkah Pembenahan
Untuk itu, langkah-langkah pembenahan berikut ini wajib dilakukan. Di hulu, pencetakan sawah baru di beberapa sentra produksi padi, utamanya di luar Jawa harus menjadi prioritas. Idealnya, langkah pembenahan ini perlu mencapai 200 ribu ha per tahun untuk mengimbangi laju konversi lahan yang demikian masif. Pemerintah daerah juga wajib menyediakan dana pendampingan guna mewujudkan target-target kuantitatif tersebut.
Program-program lain yang dapat meningkatkan areal panen padi wajib disambungkan atau disinkronisasi dengan pencetakan sawah baru tersebut. Misalnya, optimalisasi saluran irigasi seluas 220 ribu ha dan pembangunan irigasi baru dan rehabilitasi irigasi lama seluas 285 ribu ha, penyaluran pupuk bersubsidi 9,9 juta ton dan benih bersubsidi 165 ribu ton.
Kedua, langkah penatagunaan lahan sawah wajib ditindaklanjuti di lapangan sebagai wujud dari program reforma agraria yang telah lama dicanangkan pemerintah. Ketiga, melakukan isolasi dan lokalisasi terhadap perluasan wabah hama wereng, melakukan evaluasi kebijakan pengembangan padi hibrida, sambil meningkatkan kapasitas petani dan penangkar benih di tingkat lokal.
Di tengah pengembangan inovasi, teknologi baru, dan aransemen kelembagaan yang memungkinan peningkatan produktivitas per satuan lahan dan per satuan tenaga kerja pertanian. Solusi penyuluhan dan pendampingan petani dalam melakukan aktivitas produksi dan teknik budidaya padi menjadi prioritas, termasuk bagi kalangan pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Dukungan penyempurnaan riset dan pengembangan (R&D) produktivitas, revitalisasi industri pertanian, serta penguatan kelembagaan koperasi petani menjadi prasyarat mutlak yang wajib hadir di tingkat lapangan.
Di hilir, langkah-langkah pembenahan yang amat diperlukan adalah bantuan permodalan dan peningkatan kapasitas pelaku untuk perbaikan skala usaha penggilingan padi dan pencapaian efisiensi ekonomis pengolahan padi. Saat ini, tingkat konversi padi menjadi beras telah semakin menurun, bahkan mencapai di bawah 50 persen.
Perbaikan skala usaha pengolahan padi, modernisasi mesin penggilingan dan penataan efisiensi pascapanen setidaknya mampu meningkatkan laju konversi atau mengurangi tingkat susut dan hilang dalam pascapanen sampai 10 persen. Hal itu hampir setara 4 juta ton beras, suatu jumlah yang sangat signifikan untuk mengurangi ketergantungan pada impor beras.
Terakhir, percepatan penganekaragaman konsumsi pangan wajib didukung pengembangan pangan lokal, tepungisasi sumber karbohidrat potensial baik dari umbi maupun dari biji-bijian yang lain. Langkah ini sekaligus berfungsi sebagai sistem insentif yang akan mampu meningkatkan nilai tambah pangan lokal dan mengurangi tekanan konsumsi beras secara berlebihan.
*) Guru Besar UNILA dan Ekonom Senior INDEF, Jakarta