Oleh: Mardahana*)
Pemanfaatan jagung di Indonesia saat ini cenderung meningkat, terutama karena peningkatan industri pakan ternak, dengan laju kenaikan sekitar 10 persen tiap tahun. Belum ditambah kebutuhan jagung untuk keperluan lainnya.
Industri pakan ternak membutuhkan sekitar 5 juta ton jagung pipilan kering per tahun. Angka itu belum sepenuhnya dapat dipenuhi produksi dalam negeri. Pada tahun-tahun sebelumnya, kekurangan ini dipenuhi melalui impor. Namun, setelah krisis moneter, impor menjadi sangat tidak ekonomis.
Karena telah menjadi komoditas di pasar global, harga jagung di dalam negeri sangat dipengaruhi pasar internasional. Tingginya harga jagung di pasar dunia membuat upaya peningkatan produksi jagung di dalam negeri menjadi alternatif yang lebih realistis untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.
Naiknya permintaan ini, antara lain, didorong meningkatnya industri pakan ternak, makanan, dan bahan bakar terbarukan di pasar global. Ini berkaitan erat dengan laju pertumbuhan penduduk, perubahan pendapatan, peningkatan konsumsi per kapita, dan pemenuhan kebutuhan benih.
Peningkatan pendapatan per kapita dan kelas menengah mendorong peningkatan konsumsi protein dari produk-produk peternakan seperti daging, telur, dan susu. Saat ini, tingkat konsumsi daging, telur, dan susu per kapita per tahun di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara tetangga kita di ASEAN, terutama Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Produksi utama usaha tani tanaman jagung adalah biji. Biji jagung merupakan sumber karbohidrat potensial untuk bahan pangan ataupun nonpangan. Produksi sampingan berupa batang, daun, dan klobot dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, silase, dan kompos.
Biji jagung tua saat ini lebih banyak digunakan untuk pakan ternak. Peningkatan pakan ternak diharapkan dapat membantu pengembangan industri ternak yang mendukung kenaikan tingkat konsumsi daging, ayam, telur, dan susu.
Selain untuk industri minyak goreng, biji jagung tua dapat pula diolah menjadi industri pati atau tepung jagung yang kemudian digunakan untuk industri makanan kecil, berondong, serta aneka pangan lainnya. Biji jagung kering biasanya juga diolah menjadi jagung pipilan, beras jagung, ataupun jagung giling.
Menipisnya cadangan minyak bumi saat ini menyebabkan berkembangnya industri bahan bakar alternatif yang terbarukan di negara maju. Ke depannya, jagung pun merupakan salah satu bahan baku alternatif penghasil etanol.
Tantangan dan Peluang
Saat ini, total area jagung di Indonesia sebanyak 2,5 juta ha, sedangkan total area panen per tahun 3,3 juta ha. Dari luasan tadi, area hibrida mencapai 1 juta ha. Sementara jumlah petani jagung di Tanah Air mencapai 6 juta orang dengan rata-rata luas lahan 0,4 ha per orang.
Indonesia masih menjadi salah salah satu pengimpor jagung hingga 2011. Sampai Juli 2011, impor jagung telah mencapai 1,5 juta ton dari total 2 juta ton yang direncanakan. Saat bersamaan, terbuka peluang ekspor ke negara tetangga, antara lain Malaysia yang membutuhkan 2,5 juta ton, Taiwan (4,6 juta ton), Jepang (16 juta ton), Korea (8,5 juta ton), China (1 juta ton), Arab Saudi (1,4 juta ton), Mesir (5,3 juta ton), dan Iran (2,3 juta ton).
Usaha vital yang mesti ditempuh untuk meningkatkan produksi jagung nasional antara lain melalui program ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi demi menjamin keberhasilan pengamanan produksi berswasembada jagung berkelanjutan. Proyeksi produksi dan permintaan jagung di Indonesia selama 2005 – 2010 (lihat tabel).
Ada enam subsistem yang mempengaruhi perkembangan industri jagung di Indonesia, yaitu: (a) subsistem input (lahan, air, pupuk, pestisida, pakan, benih, serta alat dan mesin); (b) subsistem produksi primer (usaha tani tanaman pangan, peternakan dan perikanan); (c) subsistem pengolahan (industri makanan, pakan ternak, minyak goreng, alkohol); (d) subsistem pemasaran; (e) subsistem jasa penunjang (industri perbankan, asuransi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan); (f) subsistem lingkungan pemberdaya (kebijakan pemerintah, tata ruang, perundang-undangan, infrastruktur jalan, pelabuhan, dan transportasi).
Industri jagung Indonesia telah memiliki dasar yang baik pada subsistem input, produksi primer, pengolahan, dan pemasaran. Keempat subsistem itu hanya memerlukan pengelolaan, penguatan, dan pembinaan lebih lanjut. Subsistem pemasaran perlu lebih diperhatikan pada saat panen raya dan panen sewaktu musim hujan. Yang perlu mendapat sorotan adalah subsistem jasa penunjang dan lingkungan pemberdayaan.
Tantangan peningkatan produksi adalah sempitnya rata-rata kepemilikan lahan, aksesibilitas dan infrastruktur di areal pertanian yang kurang baik, terbatasnya modal usaha, dan sulitnya akses ke teknologi dan permodalan. Hingga kini belum ada sistem perbankan ataupun asuransi yang khusus didedikasikan memberikan dukungan kepada bidang pertanian.
Rendahnya kemampuan petani dalam pengadaan sarana produksi berakibat pada penerapan teknologi budidaya yang masih rendah dan penanganan pascapanen yang berpengaruh pada kualitas jagung, penyimpanan, hingga pemasaran. Dalam surat keputusan pelepasan varietas banyak varietas yang potensi hasilnya di atas 10 ton per ha, tetapi kenyataan di lapang rata-rata produksi masih 4–5 ton per ha. Ini akibat penerapan teknologi budidaya dan penanganan pascapanen yang belum optimal.
Saat ini mutlak dibutuhkan benih jagung hibrida mengingat tingginya biaya produksi sehingga perlu digunakan varietas yang berdaya hasil tinggi. Penanaman jagung hibrida terbukti membantu peningkatan produktivitas lahan dan petani dalam dua dekade terakhir.
Penanaman benih jagung hibrida, disertai edukasi dan pendampingan petani, terbukti merupakan salah satu faktor kunci meningkatkan produksi secara nyata di berbagai negara. Di samping itu, di Indonesia masih ada peluang melalui tumpangsari, pergiliran tanaman, pemanfaatan lahan beras maupun daerah dengan akses dan infrastruktur baik pada areal perkebunan, kehutanan, lahan irigasi maupun tadah hujan.
Program pengembangan jagung hibrida melalui proyek bantuan benih dari pemerintah akan lebih bermanfaat jika dialokasikan khusus ke daerah yang belum menggunakan benih hibrida, disertai edukasi teknologi budidaya di lapang. Sedangkan untuk yang telah menggunakan, bantuan lebih baik berupa penyediaan fasilitas pascapanen, edukasi teknik budidaya di lapang, perbaikan infrastruktur, dan informasi pemasaran hasil sehingga didapatkan standar kualitas, serta harga jual yang layak.
Jagung Hibrida Pioneer
Di Indonesia, jagung hibrida Pioneer adalah pemimpin pasar industri jagung hibrida. Diproduksi PT DuPont Indonesia sebagai bagian dari Pioneer Hi-Bred International, benih jagung hibrida ini dipasarkan sejak 1986 dalam berbagai varietas yang disesuaikan dengan segmen pasar dan kebutuhan petani.
Sampai saat ini, PT DuPont Indonesia telah melepas 30 varietas benih jagung hibrida Pioneer, sedangkan yang masih diproduksi dan dipasarkan adalah varietas P4, P11, P12, P13, P21, P23, P27, P29, dan P31. Selain itu, PT DuPont Indonesia telah mempersiapkan puluhan varietas baru lainnya yang akan segera mengisi pasar.
Benih jagung hibrida Pioneer diuji pada ribuan lokasi dengan kondisi pertanaman yang bervariasi di dunia dan Indonesia. Tujuannya untuk memastikan suatu produk dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan tumbuh yang berbeda dan mendapatkan hibrida paling sesuai kebutuhan petani di segmen pasar yang berbeda pula.
Saat ini, PT DuPont Indonesia telah memiliki fasilitas pemrosesan benih jagung hibrida Pioneer yang berlokasi di Malang, Jawa Timur, dengan total kapasitas produksi per tahun sebesar 20.000 ton. Selain untuk konsumsi dalam negeri, benih jagung hibrida Pioneer juga diekspor ke Filipina, Thailand, Vietnam, Jepang, dan Pakistan. Dalam proses produksi benih, PT DuPont Indonesia bermitra dengan lebih dari 20 ribu petani mitra penangkaran benih yang jumlahnya selalu meningkat dari tahun ke tahun.
*) Business Manager Seed, PT DuPont Indonesia
Tabel Produksi dan Konsumsi Jagung 2006-2011 Tahun Keterangan 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2020 2010/2011 Luas panen (ribu ha) 3.150 3.210 3.220 2.700 3.150 Produksi (ribu ton) 7.850 8.500 8.700 7.000 8.400 Impor (ribu ton) 1.069 294 317 1.200 800 Ekspor (ribu ton) 79 91 101 25 50 Total konsumsi (ribu ton) 8.100 8.500 8.900 9.000 9.200 Produktivitas (ton per ha) 2,49 2,65 2,7 2,59 2,67 Sumber: FAS/USDA