Senin, 12 September 2011

LIPUTAN KHUSUS : Sawit dan Ketahanan Pangan

Oleh:  Dr. Iyung Pahan*)

Ketahanan pangan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap rumah tangga dari segi kuantitas dan kualitas pangan, distribusi (ketersediaan) pangan, serta keamanan dan keterjangkauan dalam konsumsi (UU No. 7/1996).  Pencapaiannya sangat ditentukan karakteristik industri dan kekuatan sistem agribisnis yang meramu pola rantai pasokan dari hulu ke hilir.

Industri kelapa sawit adalah industri yang dipengaruhi mekanisme pasar bebas. Karakteristiknya ditentukan kekuatan pasar global (ekspor) dan domestik (ketahanan pangan). Sistem ekonomi Indonesia yang tidak seragam menyebabkan industri ini berhadapan dengan ekonomi domestik dan globalitas. Rata-rata 75 persen pendapatan industri kelapa sawit Indonesia berasal dari ekonomi globalitas dengan nilai ekspor US$16,4 miliar pada 2010. 

Akibat manisnya madu devisa ekspor, industri kelapa sawit jalan di tempat pada fase awal perkebunan (factor-driven) dan terlambat masuk ke fase industri hilir yang capital-driven dan innovation-driven. Proporsi pasar domestik berdasarkan mekanisme pasar bebas yang hanya mendapat alokasi 25 persen produksi minyak kelapa sawit (MKS) sudah mencukupi kebutuhan saat ini, tapi akan tidak cukup dan mengancam ketahanan pangan jika program klaster industri hilir berhasil.

SAKSI

Sistem Agribisnis Kelapa Sawit Indonesia (SAKSI) tersusun dari subsistem pemasok, perkebunan, prosesor, pemasar, lembaga penunjang, dan lingkungan pemberdaya (gambar 1). Keunggulan kompetitif berkelanjutan berupa peningkatan nilai tambah produk dan pencapaian ketahanan pangan nasional ditentukan kelengkapan dan agregat kekuatan mata rantai SAKSI. 

Keunggulan kompetitif dapat dihasilkan dari: (a) model organisasi industri (industrial organization/IO) yang berorientasi dari luar ke dalam (Porter, 1998), dan (b) model berbasis sumber daya (resource-based view, RBV) yang berorientasi dari dalam ke luar (Prahalad dan Hamel, 2000).  Model IO adalah pendekatan berbasis permintaan (demand pull), sedangkan model RBV adalah pendekatan berbasis produksi (supply push).

Pendekatan berbasis permintaan paling sesuai dengan konsep kepuasan pelanggan. Sayangnya, industri kelapa sawit membutuhkan waktu minimum empat tahun sampai panen. Permintaan tidak dapat dipenuhi dengan serta-merta karena ada kesenjangan waktu (time lag) sehingga pendekatan berbasis produksi pun digunakan. Penggabungan model RBV dan IO berupa strategi push-pull ini merupakan alternatif paling optimum. 

Lingkungan pemberdaya dapat dikelompokkan sebagai efisiensi pemerintahan, bisnis, infrastruktur, dan  kinerja ekonomi. Efisiensi pemerintahan merupakan rentangan indikator kebijakan keuangan publik, fiskal, ekonomi makro, peraturan/legislasi bisnis yang efisien, seperti pemberian hak guna usaha (HGU) dan kepastian hukum, otda dan tata ruang perkebunan, serta revitalisasi perkebunan rakyat.

Efisiensi bisnis paling transparan adalah produktivitas yang mampu menjelaskan kemampuan perusahaan berproduksi dengan sumber daya terbatas. Produktivitas diukur dari jumlah produk MKS yang dihasilkan dibagi faktor produksi (bahan mentah, buruh, dan uang) yang dipengaruhi: (1) hubungan perburuhan, (2) aspek industri ramah lingkungan dan standarisasi industri, serta (3) pengembangan industri hilir.

Kinerja ekonomi paling kasat mata adalah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Variabel penilaian kinerja ekonomi lainnya adalah perdagangan internasional, penanaman modal asing, dan terbukanya peluang lapangan pekerjaan.

Indikator efisiensi infrastruktur adalah tinjauan terhadap infrastruktur fisik, teknologi, litbang, kesehatan, dan pendidikan. Selain infrastruktur fisik, keempat indikator lainnya bersifat tidak kasat mata dan memiliki dampak yang bersifat jangka panjang (20-25 tahun). 

Peta Kekuatan

Adanya struktur dispersal dan asimetris serta integrasi horizontal pada setiap tingkatan mata rantai pasokan menyebabkan pertumbuhan industri lambat dan distribusi pendapatan tidak merata. Masalah transmisi (pass through problem) menyebabkan informasi pasar, iptek, serta modal investasi sektor hilir lambat ditransmisikan ke hulu. Preferensi konsumen pun tidak sampai dengan cepat ke seluruh rantai pasokan. 

Selama 66 tahun merdeka, Indonesia berhasil mengembangkan subsistem 1 dan subsistem 2, tapi lambat mengantisipasi subsistem 3 dan subsistem 4. Celakanya, subsistem penunjang (SS-5) lebih mengambil posisi reaktif ketimbang proaktif. Filosofi ini jauh dari realitas sebagai lembaga penunjang. 

Subsistem lingkungan pemberdaya (SS-6) Indonesia, menurut peringkat global dari IMD dan WEF, tidaklah buruk. Namun, hal-hal yang perlu segera diperbaiki adalah efisiensi infrastruktur, pemerintahan, dan bisnis yang terkait industri hilir. Pembinaan mata rantai pasokan yang terfragmentasi pada beberapa kementerian teknis menyebabkan daya saing relatif lemah jika dinilai dari tingkat produktivitas hasil MKS per ha. Produktivitas sawit kit apada 2009 lebih rendah 13,6 persen dari Malaysia (Oil World, 2009).

Klaster Industri Hilir

Pembangunan SAKSI harus disesuaikan dengan konteks keunggulan komparatif. Tantangan utamanya adalah transformasi embrio klaster yang terbaik dan/atau yang kurang memiliki karakteristik keterkaitan (linkages) menjadi klaster industri yang berhasil. Kebijakan harus bertujuan menciptakan berbagai jenis keterkaitan di dalam klaster, atau antara klaster dan pasar sehingga klaster dapat menemukan jalan meningkatkan dirinya. Berdasarkan dimensi lingkungan pemberdaya (enabling environment) daya saing industri, yang harus ditangani adalah: (1) infrastruktur, (2) inkonsistensi kebijakan pemerintah dan inefisiensi birokrasi, (3) akses permodalan, dan (4) pengembangan litbang.

Insentif pemerintah belum bisa membuat program hilirisasi berjalan karena kegagalan koordinasi. Jika produsen mampu berkoordinasi, industri akan mampu meningkatkan daya saing. Instrumen hilirisasi melalui pengembangan klaster diharapkan dapat memecahkan empat isu utama: (1) target produksi MKS 40 juta ton pada 2020, (2) implikasi pergeseran basis produksi bahan baku dari Sumatera menjadi Sumatera dan Kalimantan, (3) implikasi komposisi perkebunan besar dan perkebunan rakyat (50 persen : 50 persen) terhadap pemberdayaan masyarakat, dan (4) lingkungan hidup. 

Melalui prognosis proses jejaring kerja analitik lembaga klaster, koordinasi yang dicapai dari satu mata rantai pasokan dapat ditransfer ke rantai pasokan lain dengan keunggulan komparatif yang kian kuat. Kebijakan yang perlu dibuat adalah yang mampu membangun koordinasi di dalam SAKSI dan klaster ketimbang pola spesialisasi ekonomi. 

*) President Director  DMI Int’l Consultant & Agribiz. Developer,  Jakarta

   Tulisan ini merupakan pandangan pribadi

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain