Senin, 12 September 2011

LIPUTAN KHUSUS : 66 Tahun Gula Indonesia Apa yang bisa dicapai 33 tahun mendatang?

Oleh: Agus Pakpahan*)

Kita perlu kembali ke persoalan mendasar: Apakah kita mempunyai sifat dan sikap yang selalu membela kepentingan bangsa dan negara; apakah kita bisa dan kuat menciptakan keadaan baru yang lebih baik; dan apakah kita berani untuk mengambil kebijakan-kebijakan, lengkap dengan implementasinya, yang bersifat membalik arus dan gelombang sejarah pergulaan kita. 

Nasionalisasi perusahaan perkebunan milik Belanda pada 1958, yang menjadi cikal bakal, antara lain BUMN Gula sekarang ini, contoh suatu kebijakan berani. Inpres No.9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi juga merupakan kebijakan fundamental tetapi sayangnya gagal. Ia dicabut pada 1998 pada masa terburuk pergulaan kita.

Kemudian gula diserahkan ke pasar bebas. Kita kalah. Indonesia menjadi pasar bagi produksi gula dunia dan industri gula Indonesia nyaris gulung tikar.  Kebijakan yang dianut pada masa itu adalah:  impor saja!

Involusi dan Guremisasi

Mengapa pertanian kita selama 66 tahun ini sering dinilai kurang berhasil? Benarkah demikian? Kita ambil ilustrasi padi. Produksi padi per hektar sudah meningkat dari 2 ton pada 1960-an menjadi lebih dari 5 ton per ha sekarang dan dari 2 kali menjadi sekitar 3 kali tanam per tahun. Dapat dibayangkan dari hasil 4 ton per ha per tahun menjadi 15 ton per ha per tahun meningkat 3,75 kali. Namun sebaliknya, kehidupan petani padi bukan makin makmur, malahan makin miskin.  Involusi dan guremisasi pertanian terjadi secara berkelanjutan. Pertanian dirugikan. Siapa yang diuntungkan?

Jadi, persoalannya bukan tidak ada kemajuan di bidang pertanian ini, melainkan kemajuan di bidang pertanian terlalu dibebani oleh kebekuan atau bahkan kemunduran di sektor lain.  Apabila di Korea Selatan setiap 1  persen penurunan PDB pertanian dari PDB nasional diikuti oleh penurunan tenaga kerja pertanian hampir 2 persen karena sektor industri dan jasanya berkembang sangat cepat, maka untuk perubahan yang sama di Indonesia ini penurunan pangsa tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5  persen.  Karena itulah pertanian ini terlalu dibebani.

Sekarang perhatikan, mengapa bunga bank yang berlaku di Indonesia selama ini sangat tinggi? Bunga 18 persen yang dikenakan secara flat artinya hampir sama dengan 40 persen nilainya dikenakan kepada petani kecil. Adamopoulos dan Restuccia menunjukkan bahwa guremisasi yang membedakan petani Indonesia dengan petani di Amerika Serikat (rata-rata mengelola 200 ha lahan) adalah akibat dari ketidakefisienan dari kinerja makroekonomi itu.

Tidak bisa kita sangkal, sebagian besar pabrik gula BUMN belum beroperasi secara efisien. Sejak 1999, BUMN gula yang nyaris bangkrut itu dipertahankan dan dihidupkan kembali.  Bisa!

Sejarah mencatat, gerakan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) bekerjasama dengan para pihak lainnya berhasil mengubah haluan kebijakan Pemerintah dari pasar bebas ke pasar gula terkendali dan terintegrasi antara impor dan produksi di dalam negeri. Sejarah juga mencatat, melalui organisasi APTRI, petani dapat membangun kerjasama strategis dengan investor sehingga harga gula yang diterima mereka terjamin dan cukup memberikan keuntungan menggunakan suatu formula pemasaran yang lebih modern (mengandung unsur futures). Dengan inovasi tersebut, maka luas areal tebu di Jawa meningkat sekitar 66.000 ha pada 2004-2009.

Pada tahun 2000, siapa yang mengira akan terjadi peningkatan harga gula sebagaimana yang terjadi dalam lima tahun terakhir ini? Negara berpenduduk besar perlu berpegang pada paham bahwa pangan rakyat itu adalah soal hidup atau mati. Paham ini bukan berarti melegalkan inefisiensi atau biaya tinggi. Namun lebih pada penegasan bahwa ia menjadi prioritas termasuk dalam peningkatan teknologi dan sistem distribusinya yang makin efisien, produktif, dan berkelanjutan.

Satu Target, Dua Tujuan

Sayang sekali, ketegasan yang dibuat pada 2002 dengan terbitnya SK Menperindag No. 643 Tahun 2002 tentang Tata Niaga Gula, dan inovasi baru sebagaimana telah diuraikan tidak diikuti oleh kemajuan industri gula nasional selanjutnya. Sebaliknya, yang terjadi adalah, kesempatan ekonomi yang tercipta akibat dari kebijakan tersebut, khususnya stabil dan makin menguntungkannya harga gula di pasar domestik, diisi oleh produsen gula yang menggunakan bahan baku gula mentah impor.

Bukan berarti pula tidak ada kemajuan dalam pemikiran dan persiapan. Kesempatan investasi yang sudah tersedia dengan dukungan dana perbankan Rp9,4 triliun, sebagai hasil persiapan yang cukup panjang itu, tidak diambil BUMN gula. Selanjutnya, pada tingkat kebijakan juga terjadi diskonsentrasi dari produksi gula berbasis tebu hasil produksi di dalam negeri, ke perluasan industri gula berbasis gula mentah impor.

Target produksi gula Indonesia 2014 berubah menjadi 5,7 juta ton, mengingat digabungkannya produksi gula kristal putih dengan produksi gula rafinasi sekaligus. Ada satu target tetapi ada dua cara untuk mencapainya (menggunakan bahan baku tebu dan gula mentah impor) dan dua tujuan penggunaan hasilnya (konsumsi rumah tangga dan industri makanan dan minuman), maka situasi menjadi lebih kompleks. Secara teknis, gula rafinasi dan gula kristal putih sifatnya incompatible.  Karena itu, keduanya pasti akan saling desak.  Pertanyaannya: Siapa yang akan dimenangkan?  Ini tergambar dalam kebijakan yang diambil. 

Perlu ditegaskan, target 5,7 juta ton itu harus menggunakan bahan baku tebu yang dihasilkan di Indonesia sehingga tidak ada lagi peluang distorsi antara impor raw sugar vs menanam tebu. Tentu kebijakan itu dengan segala konsekuensinya yang harus dipersiapkan dengan baik.  Hal seperti itulah yang disebut sebagai komitmen jangka panjang.

Perlu kita catat bahwa lahan yang Indonesia miliki ini sangatlah terbatas. Jadi, selain harus hemat, alokasi lahan ini juga harus adil. 

Kepentingan petani harus didahulukan. Kita sering keliru dalam melihat jasa petani ini, merekalah sebenarnya the real investors tetapi jasanya dilupakan. Memang kita harus bergerak cepat tapi ingat Si Lumpuh pun ingin hidup! Membangun perkebunan harus menjadi alat membangun perdamaian juga. Perkebunan juga sebagai sarana persaudaraan dan persatuan bangsa. Dengan demikian, kita akan melihat kejayaan pergulaan kita pada 2044.

*) Ketua Umum Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo)

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain