Senin, 12 September 2011

LIPUTAN KHUSUS : Bila Ingin jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Oleh: Sobir, Ph.D.*)

Indonesia sudah merdeka selama 66 tahun, tapi apakah kita sudah merdeka untuk semua aspek kehidupan, atau kita mulai terjajah kembali pada beberapa aspek kehidupan?

Pertanyaan itu barangkali terlintas ketika melihat dominasi buah impor pada ruang publik, mulai dari iklan TV, supermarket hingga kios buah di pinggir jalan, seolah-olah membenarkan kedigdayaan buah impor di pasar domestik Indonesia. Akan tetapi itu tidaklah benar karena menurut data statistik, pada 2010 impor buah hanya 3,63 persen dibandingkan produksi buah nasional.

Memang laju peningkatan impor buah sejak tahun 2000 yang mencapai 23,9 persen perlu jadi peringatan bahwa kita tidak bisa berpangku tangan melihat kondisi ini. Apalagi impor buah tidak terbatas pada komoditas buah subtropis, seperti apel, anggur, dan pir, tapi juga sudah merambah komoditas buah tropis, semisal pisang, durian, nenas, mangga, dan alpukat.

Wajah buah impor yang makin tegas disebabkan empat faktor. Pertama, laju produksi buah domestik sejak tahun 2000 masih 12,8 persen sehingga secara perlahan buah impor makin tampak di ruang publik. Kedua, kualitas visual buah impor lebih menonjol dibandingkan buah domestik sehingga tampil pada posisi paling depan di ruang publik. Ketiga, dengan pendapatan per kapita yang mencapai US$3.000 pada 2010, penduduk Indonesia mengonsumsi buah lebih banyak dan mutu produk yang lebih baik.

Keempat, daya saing yang mencakup ketersediaan dana talangan ekspor dari negara eksportir buah, kepastian volume, dan kualitas dari buah impor, pengemasan yang lebih baik, serta harga jual buah impor lebih kompetitif. Tampaklah buah impor punya daya saing dari sisi harga, mutu, dan ketersediaan sehingga banyak pekerjaan rumah bagi kita agar buah domestik tetap jadi tuan rumah di Indonesia.

Urgensi Pengembangan Buah Tropis

Upaya menekan impor buah sangat penting bagi kedaulatan pangan. Pasalnya, makin tinggi pendapatan per kapita, makin rendah konsumsi beras dan makin tinggi konsumsi buah. Jadi, peningkatan produksi dan konsumsi buah akan mengurangi konsumsi beras sekaligus menekan impor pangan.

Penelitian di Pusat Kajian Buah Tropis-IPB menunjukkan, produksi melimpah mangga dapat menekan buah impor. Saat ini konsumsi buah diperkirakan baru mencapai 41 persen dari rekomendasi WHO untuk hidup sehat yang 72,5 kg. Berarti masih perlu peningkatan konsumsi rata-rata 43 kg per kapita per tahun. Di sisi lain produksi buah akan meningkatkan kesejahteraan petani produsen karena pendapatan per satuan luas produksi buah tiga-lima kali lebih tinggi dibandingkan tanaman pangan serta menyediakan lapangan kerja karena proses produksi dan pemasaran komoditas buah padat karya.

Komoditas buah tidak pelak lagi terbilang sektor potensial dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Alasannya, Indonesia kaya potensi genetik, kesesuaian agroklimat tinggi, serta keragaman iklim tinggi bisa membuat produksi buah merata sepanjang tahun. Ditinjau dari pertumbuhan ekonomi komoditas buah internasional, komoditas buah tergolong sektor dengan pertumbuhan tinggi (11 persen), serta bila ditinjau Pendapatan Domestik Bruto (PDB), komoditas buah sebagai bagian dari sektor hortikultura lebih besar 2,5 kali sektor tanaman pangan, bahkan 9 kali sektor perkebunan. Sepantasnyalah komoditas buah diperhatikan penuh oleh pemerintah dalam rangka menjadikannya bagian dari lokomotif peningkatan kesejahteraan bangsa secara umum dan petani lebih khususnya.

Bagaimanapun peran pemerintah masih sangat dibutuhkan dalam suatu sektor yang masih belum berkembang. Hal ini bisa dilihat dari peran dibentuknya Direktorat Jenderal Tanaman Hortikultura pada tahun 2000. Pertumbuhan produksi rata-rata buah hingga 2009 sebesar 8,74 persen, belum cukup tinggi memang. Namun angka ini jauh lebih besar ketimbang pencapaian sebelum tahun 2000 yang hanya 0,83 persen per tahun dan melonjak setelah tahun 2000 menjadi 12,84 persen per tahun.

Hal tersebut lantaran pemerintah menjadi lebih fokus dalam meningkatkan luas tanam, produktivitas, mutu hingga pembinaan rantai pasokan komoditas buah. Terbentuknya Direktorat Jenderal Tanaman Hortikultura pada tahun 2000 juga memacu perkembangan di sektor penelitian tanaman buah dilihat dari jumlah varietas unggul yang dilepas sebelum tahun 2000 hanya 88 varietas dibandingkan 400 varietas lebih dalam kurun 2000-2010. Artinya, dalam 10 tahun terakhir jumlah varietas yang dihasilkan 4,5 kali lebih banyak dibandingkan sebelum tahun 2000.

Simultan dan Berkesinambungan

Peningkatan daya saing komoditas buah kita menghadapi dua tantangan besar, yaitu skala penanaman yang masih kecil-kecil dan tersebar, serta variasi varietas yang sangat tinggi. Ini menyulitkan pembentukan rantai pasokan yang kuat, biaya produksi dan pemasaran tidak efisien, sulit dalam pembinaan, serta memerlukan kelembagaan petani yang sangat kuat.

Contoh durian matahari yang dianggap unggul, tetapi buahnya tidak pernah sampai ke pasar karena belum ada kebun dengan populasi yang cukup untuk memasok pasar. Pendekatan harus diarahkan pada population base daripada area base sehingga dapat mengatasi kesulitan keterbatasan lahan. Contoh sukses adalah salak pondoh yang ditanam di satu kawasan dapat menembus pasar ekspor.

Program yang dapat dilakukan melalui pendekatan Klonalisasi, Konsolidasi, dan Registrasi (KKR). Klonalisasi diarahkan untuk mengurangi keragaman mutu melalui penetapan varietas yang bersaing di pasar dan ditanam dalam satu kawasan. Praktiknya, hanya ditanam satu varietas/klon dalam luasan yang memenuhi skala ekonomi supaya memudahkan pengelolaan, pemasaran, dan pembinaan sehingga terbentuk One Village One Variety.

Konsolidasi dilakukan melalui penguatan kelembagaan, baik dalam bentuk kelompok tani ke dalam, gabungan kolompok tani dalam suatu kelompok usaha pada kawasan luas, kerjasama penyediaan sarana produksi dan pemasaran, serta keterkaitan kuat dengan penyedia teknologi. Registrasi dan sertifikasi diarahkan untuk meningkatkan akses pasar baik global maupun domestik.

Pengembangan buah di Indonesia harus dikerjakan secara simultan dan berkesinambungan. Petani dijadikan aktor utama dengan dukungan konsumen yang cinta produk dalam negeri karena harganya bersaing, mutu tinggi, dan ketersediaannya terjamin. Pemerintah pusat maupun daerah mengoordinasikan semua faktor pendukung seperti lembaga penelitian, distributor, pemasar, eksportir, hingga industri pendukung sarana produksi. Dengan demikian kita dapat bersaing dengan negara tropis lain yang industri buahnya berkembang pesat seperti Thailand, India, Brasil, bahkan Malaysia. Semoga Indonesia bisa jadi pemimpin terdepan industri buah tropika di dunia.***

 

*) Kepala Pusat Kajian Buah Tropis IPB

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain