Dimulai sejak zaman Majapahit, perudangan nasional memainkan perannya dari sekadar “rucah” kini menjadi primadona nasional.
Tahun lalu Indonesia memproduksi udang sebanyak 352,6 ribu ton. Pencapaian ini sedikit lebih tinggi ketimbang target produksi yang direvisi ketika tambak raksasa Dipasena di Lampung, yaitu 350 ribu ton. Namun dibandingkan target semula yang 400 ribu ton, realisasi produksi tersebut masih lumayan jauh.
Dari produksi sebanyak itu, menurut Saut P. Hutagalung, Direktur Pemasaran Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 145 ribu di antaranya mengisi pasar dunia. Nilai ekspornya mencapai US$1,056 miliar. Sementara total ekspor produk perikanan tahun lalu 1,104 juta ton dengan nilai US$2,86 miliar. Jadi, memang tak salah bila udang masih menjadi primadona ekspor komoditas perikanan Indonesia. Tahun ini pemerintah mematok target nilai ekspor sebesar US$1,1 miliar.
Mulai dari Windu
Untuk mencapai posisi saat ini, perudangan nasional mengalami sejarah yang panjang. Bahkan, menurut Made L. Nurjana, sejak zaman Majapahit (tahun 1293-1500), sudah ada tambak udang. Dalam perbincangan dengan AGRINA di rumahnya (17/8), mantan Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, itu memaparkan sejarah perudangan nasional hingga saat ini.
“(Budidaya) udang berkembang mulai sekitar 1968 atau 1969. Ini ketika Pak Harto (Presiden) membuka investasi asing di Indonesia. Dengan pemerintah membuka investasi asing, maka mulai masuklah modal asing yang berupa (pengoperasian) kapal trawl menangkap ikan dan udang,” ujarnya.
Hasil tangkapan kapal-kapal trawl (pukat harimau) tersebut kemudian menarik investasi pabrik pengolahan ke Indonesia. Berdirilah perusahaan-perusahaan pengolahan udang, seperti PT Cejam (Central Java Cold Storage) di Semarang, Jateng, dan Jakarta pada 1970-an.
Di sisi lain, pengoperasian trawl yang sifatnya mengeruk ikan dalam jumlah besar ini mendapat tentangan dari nelayan tradisional. Karena itu pemerintah menelurkan kebijakan melarang penggunaan trawl melalui Kepres 39/1980. Pelarangan tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi lagi keributan antara nelayan tradisional dan operator trawl. Sebagai gantinya, produksi udang dipacu dari budidaya.
Sejak ada perusahaan pengolahan dan merambah pasar ekspor, posisi udang berubah karena harganya merangkak naik. Sebelumnya hanya ibarat rucah atau komoditas kelas dua, kemudian naik kelas menjadi komoditas utama.
Berkat Ablasi Mata
Budidaya udang windu yang asli Indonesia itu sampai awal 1978 tidak bisa berkembang dengan baik karena teknologi pembenihan belum dikuasai. Petambak mengandalkan benih dari hasil tangkapan di laut. “Udang yang dipelihara di tambak hanya bertambah besar, tidak menghasilkan anakan,” ujar Made.
Langkah besar dimulai ketika Made yang waktu itu menjadi peneliti di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Jepara, Jateng, berhasil menemukan teknik ablasi mata (memotong salah satu tangkai mata udang) untuk mengawinkan udang secara buatan pada September 1978. “Mulai saat itu benih udang bisa dibuat, kapan saja kita mau, dengan teknik ablasi,” kenangnya bangga.
Kemudian muncullah perusahaan-perusahaan pembenihan udang dengan pakar-pakar asing, terutama dari Taiwan. Sementara pakar lokal malah tidak mendapat perhatian. Harga benih udang (benur) sekitar 1979 tetap dipatok mahal, Rp25 per ekor. Nyaris sama dengan harga benur Vanname tahun-tahun terakhir ini.
Made mengaku jengkel dengan situasi itu sehingga pada 1981 dia mengembangkan pembenihan skala rumah tangga (backyard hatchery). Tiga tahun kemudian jatuhlah harga benih, tinggal Rp8 per ekor, karena biaya produksinya murah.
Berkembanglah tambak udang windu intensif di Sumatera Utara dan Aceh Timur dimotori petambak etnis Cina dan para pemilik perkebunan. Pada waktu itu petambak masih menggunakan pakan ikan rucah. Pakan pellet baru masuk pada 1983-1984 dari Taiwan, yang kemudian mendirikan pabrik pakan di Indonesia.
Kultur Intensif
Di sisi lain, anjloknya harga benih memicu perkembangan budidaya udang windu intensif. Biasanya, petambak menebar dua rean (20.000 ekor benur) per hektar. Dengan harga benur yang tinggal Rp8, petambak tetap menyediakan jumlah dana yang sama untuk pembelian benur. Walhasil, “Terjadi intensifikasi 300 persen atau kepadatan tebar meningkat tiga kali lipat tanpa perbaikan konstruksi tambak,” urai Made.
Malapetaka penyakit di pertambakan muncul seiring intensifikasi yang kurang memperhitungkan daya dukung lingkungan itu. White spot syndrome virus (WSSV) pun melanda perudangan nasional hingga banyak pelaku bangkrut. Virus asli Indonesia ini membuat produksi udang kian sulit.
Pemerintah, lanjut Made, lalu memutuskan untuk mengintroduksi udang baru, Litopenaeus vannamei asal Amerika Latin pada tahun 2000. Pendatang baru ini mengubah struktur udang budidaya kita. Kalau udang windu paling banter ditebar dengan kepadatan 40 ekor per m2, Vanname bisa sampai 300 ekor per m2. Produktivitasnya memang lebih tinggi, tapi udang baru ini juga membawa penyakit, seperti Taura Syndrome Virus (TSV) dan Infectious Myonecrosis Virus (IMNV).
Lagi-lagi petambak tergiur untuk terus menggenjot produksi dengan menaikkan padat tebar. Tampaknya pelajaran kembali berulang. Keserakahan petambak dibayar mahal dengan kegagalan produksi akibat penyakit yang kian beragam. Paling tidak, kini pembudidaya harus berjibaku melawan sembilan jenis virus yang terus mengintai udang.
Forum Komunikasi Praktisi Akuakultur (FKPA) Lampung merekam data penurunan kelangsungan hidup (survival rate-SR), dari 85 persen (2007) menjadi hanya 55 persen (2010) akibat penyakit. Kini, para petambak disarankan menggunakan benih bebas virus, memperbaiki lingkungan budidaya, menurunkan padat penebaran maksimal 100-120 ekor per m2, dan melakukan panen parsial agar bisa berbudidaya secara berkelanjutan.
Dengan mempertimbangkan daya dukung dan praktik budidaya yang baik seperti itu, Made sangat yakin Indonesia mampu menjadi produsen utama dunia. Dia beralasan, lahan budidaya kita masih sangat luas, di daerah berketinggian 1-2 m di atas permukaan laut, tanpa merusak mangrove. Iklim yang cocok. Kita pun punya sumber induk dari Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan di Karangasem, Bali dengan kapasitas produksi 160 ribu pasang induk per tahun. “Pemerintah sebaiknya mendorong tambak tradisional yang 560 ribu ha ke lebih intensif dengan menggiatkan pembiayaan bagi petambak kecil. Juga membuat infrastruktur utama seperti jalan raya,” tutup Made.
Peni Sari Palupi