Teknik yang mudah dan lokasi budidaya bisa di mana saja membuat lele kian banyak diminati masyarakat. Sayang, pasokan benih bermutu seret.
Lele termasuk satu di antara 10 komoditas unggulan perikanan budidaya yang dipacu produksinya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam evaluasi tahunan 2010, baik Menteri Fadel Muhammad maupun Dirjen Perikanan Budidaya Ketut Sugama, menyatakan, kinerja produksi komoditas ini cukup bagus, mencapai 101 persen dari target 270.600 ton, yaitu 273.554 ton.
Kekurangan Benih
Peluangnya ke depan? Anang Hermanta, Direktur Pemasaran PT Sinta Prima Feedmill, produsen pakan ikan di Jakarta, menyebut, “Peluangnya masih besar karena mudah budidayanya. Tapi, terkendala pasokan benih bermutu dan pasar.”
Biang keroknya adalah tak adanya perusahaan yang khusus memproduksi benih. Tidak seperti ayam ras, misalnya. Memang, PT Charoen Pokphand Indonesia pernah memproduksi benih lele di Subang, Jabar, tapi belakangan diserahkan kepada petani mitranya.
Pun PT Matahari Sakti di Surabaya tergerak membantu petani pelanggan pakan lelenya dengan memproduksi lele Masamo. “Dengan tuntutan yang besar (75 juta ekor per bulan untuk Jatim), kami merasa perlu menyediakan benih,” papar Fauzul Mubin, Hatchery Manager PT Matahari Sakti. Sedangkan PT Suri Tani Pemuka, produsen pakan ikan dan udang di Jakarta menempuh cara lain dengan mengadakan pelatihan pembenihan lele sangkuriang yang mendatangkan perekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jabar.
Kebutuhan benih memang cukup besar. Untuk mencapai target 2010 saja, menurut hitungan KKP, dibutuhkan 2 miliar ekor lebih. Sejauh pemantauan AGRINA, benih masih banyak dipasok pembenih perorangan, Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah KKP, juga Unit Pembenihan Rakyat (UPR) di daerah.
Ir. M. Abduh Nurhidayat, M.Si, Kepala BBPBAT, mengakui, pasokan benih bermutu sangat kurang untuk kebutuhan nasional. Tahun ini pihaknya baru mampu memproduksi 10.500 ekor calon induk berukuran 500–600 g per ekor. Calon induk ini harus dipelihara sampai umur setahun baru layak dijadikan induk. Strain lele ini bernama Sangkuriang.
Dari BBPBAT, calon induk itu didistribusikan ke daerah. Untuk lebih menggenjot produksi induk, “Kami bekerjasama dengan UPT di daerah-daerah, Mandiangin (Kalsel), Jabar, Yogya mendistribusikan larva calon induk. Daerah diberi larva dan protokol tahapan seleksinya. Setahun itu mereka harus menghasilkan calon induk,” papar Abduh ketika ditemui di Jakarta pertengahan Agustus silam.
Si Lokal yang Tergeser
Ketika ditanya tentang mutu genetik strain lele, Abduh panjang-lebar mengungkap perkembangan strain lele di Indonesia. Mula-mula, kita mengembangkan strain lele lokal, Clarias batrachus. Pada 1985, sebuah perusahaan swasta mendatangkan strain baru yang merupakan lele hibrida hasil silangan lele afrika, Clarias gariepinus dan lele taiwan, Clarias fuscus. Lele baru ini lalu kondang dengan sebutan lele dumbo.
“Lele (dumbo) ini keunggulan utamanya dari fekunditas (jumlah telur) lebih banyak, 50 ribu telur per kg induk. Ukuran maksimalnya besar, 10-15 kg per ekor sehingga pertumbuhannya cepat,” ujar penerima penghargaan pemerintah untuk peningkatan produksi perikanan budidaya lele Sangkuriang melalui rekayasa genetika ini.
Tak heran bila lele dumbo mendapat sambutan di kalangan masyarakat dan booming pada 1987-1988. Untuk membeli benihnya, masyarakat sampai rela inden. Kehadiran pendatang baru ini benar-benar menggeser lele lokal. BBPBAT pun tak ketinggalan membeli lele dumbo dan dipelihara sampai umur satu tahun yang berarti layak untuk dijadikan induk.
Lambat laun, pembenihan lele hibrida tidak terkontrol lagi di kalangan pembenih rakyat. Terjadi silang dalam (inbreeding) sehingga kualitas genetik menurun. Terbukti makin panjangnya umur budidaya lantaran kecepatan tumbuh melambat. Karena itu, Abduh yang pada tahun 2000 menempuh pendidikan S2 di IPB menuruti saran pembimbingnya untuk meneliti kemungkinan penurunan genetik tersebut dengan indikator ketidaksimetrian organ.
Kelahiran Sangkuriang
Abduh mengambil sampel dari Bogor, Yogya, dan Kediri yang mewakili sentra produksi lele. “Saya mengevaluasi ketidaksimetrian organ kanan-kiri lele. Ini jadi salah satu indikator adanya penurunan kualitas genetik. Waktu itu, saya ambil sirip perut, sirip dada, insang, dan linea lateralis. Sejumlah sampel menunjukkan cukup tinggi ketidaksimetriannya. Satu sirip jumlah jari-jarinya tidak sama. Ekstremnya lagi, malah tidak tumbuh. Ini indikator penurunan mutu genetik akibat inbreeding,” tandasnya.
Berbekal bukti itu, Abduh bersama tim perekayasa lain di BBPBAT berupaya memperbaiki kualitas genetik dumbo. Caranya dengan melakukan silang balik (back cross) antara betina keturunan kedua (F2) yang dibeli dari pemasok lele dumbo dan jantan keturunan keenam (F6). Hasilnya dibenihkan, lalu benih dikembalikan ke sentra-sentra produksi. Lele hasil silang balik ini ternyata menggembirakan sehingga pada 2002 diproduksilah induknya.
Pada 2004, lele baru ini dimajukan ke Tim Pelepasan Varietas. Akhirnya, dengan kesepakatan para pakar, nama Sangkuriang pun disematkan padanya dan dilepas melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/MEN/2004 tanggal 21 Juli 2004. “Pemuliaan lele ini akan berlanjut terus. Tahun depan akan rilis Sangkuriang Dua. Kita silangkan lagi Sangkuriang Satu dengan genetik dari Afrika. Kita sedang uji multilokasi. Hasilnya bagus. Pertumbuhannya lebih bagus,” kata Abduh menyudahi penjelasannya. Kita tunggu!
Peni Sari Palupi