Oleh: Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.*)
Indonesia berstatus swasembada dalam hal produksi daging dan telur ayam. Status ini perlu kita pertahankan mengingat peranan ayam dan telur sangat strategis.
Industri ayam ras (perunggasan) menimbulkan dampak pengganda (multiplier effects) dari segi ouput, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja pedesaan. Kini industri perunggasan mampu menyerap sekitar dua juta tenaga kerja dan memberikan lapangan pekerjaan bagi 80 ribu peternak. Bisnis ayam ras menjadi tumpuan hidup tak kurang dari 10 juta orang. Kondisi ini memperlihatkan industri ayam ras merupakan pemicu utama perkembangan usaha industri peternakan ke depan.
Sejarah dan Prospek
Perkembangan industri ayam ras yang sangat cepat dimulai menyusul suksesnya Pilot Proyek Bimas Ayam (1972-1975), berlanjut dengan Program Bimas Ayam (1976-1979) di berbagai daerah. Dari sisi penawaran, sumber pertumbuhan ditentukan oleh perkembangan genetika yang terkonsentrasi, harga biji-bijian dan distribusi penggunaannya, kategori pakan, teknologi budidaya, serta pengembangan produk hasil ternak. Di samping itu, tumbuh dan berkembangnya industri ayam ras sangat ditentukan oleh adanya koordinasi antarsubsistem dalam keseluruhan jaringan agribisnis.
Dari sisi permintaan, industri ayam ras erat kaitannya dengan bisnis penyediaan produk makanan protein hewani yang bernilai strategis sebagai sumber utama daging dan telur. Komoditas ayam ras ini bernilai ekonomi yang dapat menjangkau masyarakat luas dan cukup digemari karena rasa dan teksturnya baik. Tidak heran, permintaan terhadap komoditas ayam ras akan terus meningkat seiring pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, perbaikan tingkat pendidikan, perubahan gaya hidup yang semakin beralih dari daging merah ke daging ayam serta peningkatan kesadaran akan gizi seimbang.
Faktor-faktor Kunci
Industri ayam ras masih berorientasi pada kebutuhan domestik semata belum ke arah ekspor. Agar industri ini mencapai daya saing tinggi, ada beberapa faktor kunci yang harus diperhatikan.
Pertama, industri ini masih lemah dalam penyediaan bahan baku pakan. Sebagian besar masih sangat tergantung dari impor. Padahal pakan merupakan 60-70 persen dari biaya produksi. Jagung, salah satu komponen utama pakan ayam ras. Negara-negara yang berdaya saing tinggi dan berkelanjutan sangat tergantung pasokan komoditas jagung domestik. Jadi, pengembangan jagung domestik jelas suatu keniscayaan dan perlu mendapatkan perhatian pemerintah, swasta, maupun petani.
Kedua, industri ayam ras di dunia bertumpu pada prinsip economies of scale. Artinya, semakin besar skala usaha, semakin rendah pula biaya rata-ratanya. ”Economies of scale” diperoleh dengan penerapan bisnis yang terintegrasi secara vertikal melalui pola-pola kemitraan. Peternak sudah banyak bergabung dengan perusahaan inti sehingga populasi ayamnya semakin meningkat dan mampu menjaga kualitas produksi. Ke depan perlu dibuat kebijakan tentang kemitraan agribisnis ayam ras yang adil, baik bagi mitra maupun inti, melalui pembagian risiko dan keuntungan yang adil.
Ketiga, pemerintah harus melindungi produk peternakan domestik dari serbuan produk luar baik legal maupun ilegal yang dapat mengancam usaha dan industri ayam ras nasional. Masuknya produk-produk impor haruslah dilihat dari kacamata kepentingan bersama khususnya dalam memajukan agribisnis peternakan yang mayoritas dilaksanakan peternak rakyat. Kendati pun izin masuk produk hasil peternakan tersebut dikeluarkan, perdagangan dan persaingan seyogyanya dilakukan secara adil dan fair. Keempat, adanya pemahaman bahwa pengembangan industri ini tanggung jawab semua stakeholders sehingga penting dikembangkan suatu komitmen dan kerjasama antara pemerintah pusat, pemda, perguruan tinggi, dan pelaku usaha.
Kelima, pemerintah harus berupaya lebih baik dan lebih serius untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik dengan jalan memberikan insentif dan “pemanis” bagi para pelaku bisnis. Antara lain, perbaikan aspek logistik, penegakan hukum, penghapusan retribusi dan pungutan di daerah, penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih baik (jalan, rumah pemotongan ayam yang lebih bersih dan hiegenis), tersedianya akses permodalan bagi para peternak, dan penataan kelembagaan penyuluhan dalam rangka transfer teknologi.
Keenam, penanganan dan pencegahan wabah penyakit khususnya flu burung secara terpadu, terintegrasi, dan komprehensif. Caranya dengan meningkatkan manajemen pemeliharaan untuk meminimalkan risiko ternak terserang penyakit, melakukan disinfeksi secara terpadu pada kawasan peternakan, pemberian vaksin yang tepat waktu, tepat sasaran, dan mengawasi secara ketat masuknya hasil ternak dari luar negeri.
Ketujuh, masyarakat industri dengan dukungan pemerintah perlu terus berkampanye konsumsi daging ayam. Daya beli yang masih lemah dan gaya hidup konsumtif yang lebih mementingkan aspek penampilan (telepon seluler, rokok, cicilan sepeda motor) kurang memperhatikan konsumsi protein hewani. Padahal konsumsi daging dan telur di Indonesia masih tergolong rendah, maisng-masing sekitar 7 kg dan 70 butir per kapita per tahun. Berdasarkan data FAO, persentase pemenuhan kebutuhan pangan hewani saat ini masih berkisar 4,48 persen, sementara standar rata-rata di Asia sudah mencapai 20 persen.
Kedelapan, kenaikan harga minyak dunia memerlukan upaya-upaya kreatif dan cerdas untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi, pemasaran, dan pengolahan.
Kesembilan, last but not the least, perlu upaya yang terus menerus untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ayam ras Indonesia yang berdaya saing tinggi dan bernilai nilai tambah dari produk-produk turunannya melalui penyediaan teknologi terapan tepat guna, tepat lokasi baik budidaya, pascaproduksi, maupun pengolahan hasil.
*) Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB dan Sekjen Himpunan Alumni IPB