Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gakpi) meminta Pemerintah untuk merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no.11/PMK011/2011 yang telah dikeluarkan. Sebab PMK yang rencanaya untuk mendorong produk hilirisasi industri sawit, ternyata malah memberatkan pengusaha sawit.
Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan menegaskan, meskipun pemerintah telah mengubah bea keluar (BK) dimana batas minimum pengenaan BK untuk CPO sebesar US$ 750 per ton sebelumnya US$ 700 per ton. Demikian pula dengan batas atas dari BK untuk CPO 22,5% turun dari sebelumnya sebesar 25% pada tingkat harga US$ 1250.
Sedangkan untuk produk hilir refine bleach deodorize, bila sebelumnya dikenakan tarif BK sebesar maksimum 25%, maka sekarang maksimum 10%. Namun sebenarnya tidak ada perubahan yang signifikan dalam skema dan tarif BK antara yang sekarang dengan yang sebelumnya.
“Karena pada kenyatannya tarif BK sekarang sebenarnya lebih tinggi pada tingkat harga di bawah US$ 1100 terutama pada tingkat harga US$ 950-US$ 1100. Padahal diperkirakan harga CPO dalam tahun ini dan mendatang akan berada pada kisaran tersebut (US $ 1000-1100). Dengan demikian pernyataan bahwa tarif dalam BK sekarang lebih lebih rendah adalah menyesatkan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Maka pada kenyataannya petani dan produsen CPO dikenakan BK yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya,” jelas Fadhil dalam acara halal bi halal Gapki di Jakarta, (6/9).
Untuk itu, lanjut Fadhil, jika pemerintah hendak mendorong pengembangan produk hilir kelapa sawit, maka tidak perlu mengenakan bea keluar ekspor produk turunan CPO seperti minyak goreng dan produk turunan lainnya. Sebab jika BK produk turunan CPO 0%, maka dengan begitu bisa memberikan insentif pada pengusaha untuk mengekspor produk hilir kelapa sawit.
Menurut data Gapki, pada semester I/2010, ekspor CPO sebanyak 54%, sedangkan ekspor produk turunan CPO 46%. Namun, pada semester I/2011 komposisi ekspor CPO meningkat menjadi 56%, sedangkan ekspor produk hilir CPO hanya 44%. Padahal, BK CPO pada semester I/2011 lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. “Jadi tidak ada hubungan antara tarif BK dengan pengembangan industri hilir CPO di dalam negeri,” jelas Fadhil.
Selain itu, BK bukan merupakan instrumen yang tepat karena Indonesia menghasilkan sekitar 23 juta ton CPO dengan total kebutuhan dalam negeri sekitar sebesar 6 juta ton. Jadi Indonesia surplus sebanyak hampir 17 juta ton CPO. Dengan demikian jaminan bahan baku untuk kebutuhan industri dalam negeri bukan merupakan persoalan serius. Lalu, melindungi kelestarian sumber daya alam. Jika itu persoalannya mengapa hanya CPO yang harus dibebani BK untuk melindungi kelestarian sumber daya alam. Bukankah terdapat banyak industri terutama pertambangan yang justru membawa kerusakan lingkungan dan sumber daya alam. Namun mengapa industri pertambangan (batubara, timah dan lain-lain) tidak dikenakan Bea Keluar. “Dengan kata lain kebijakan ini bersifat diskriminatif dan tidak adil,” pungkas Fadhil.
Yuwono Ibnu Nugroho