Meski sebagian masyarakat Indonesia suka minum teh di pagi ataupun sore hari namun pasarnya masih lemah. Hal ini dibuktikan dengan posisi pasar teh di Indonesia semakin merosot. Dulu pasar teh Indonesia menempati posisi ke lima sebagai negara ekportir teh tingkat international namun belakangan ini turun ke tingkat tujuh di pasar internasional.
“Posisi kita telah digeser oleh Turki dan Vietnam sebagai peringkat ke lima dan keenam sebagai Negara eksportir teh. Sementara itu posisi pertama masih diduduki China, kemudian berikutnya India, Kenya dan Sri Lanka,” kata Sultoni Arifin, Anggota Dewan Teh Indonesia (DTI) dalam acara konfersi pers peluncuran standarisasi teh di Bogor, (28/8).
Menurut Arifin,penurunan tersebut karena kecenderungan berkurangnya produksi teh lokal. DTI mencatat setiap tahun 3000 hektare (ha) perkebunan teh hilang karena dikonversi menjadi lahan tanam komoditi lain. Bahkan, harga teh Indonesia juga masih belum menempati posisi yang terhormat di peta perdagangan teh dunia. "Sekarang harga teh hitam orthodox kita itu hanya 70% dari harga teh sejenis produksi mereka, bahkan pernah hanya 41%, " jelas Sultoni.
Selain itu, sepanjang Januari 2011 hingga Juli 2011, harga lelang rata-rata teh orthodox US$ 1,93 per kg. Sementara harga teh Sri Lanka US$ 3 per kg hingga US$ 4 per kg. lalu, selain harga teh yang masih rendah, mekanisme pemasaran yang masih buruk. Ditambahkan lagi baru 5%-7% teh yang diekspor yang telah memiliki nilai tambah dan berupa produk jadi. Sementara 40% ekspor Sri Lanka berupa produk yang telah memiliki nilai tambah.
“Untuk itu produk teh Indonesia harus menpunyai standarisasi agar mempunyai nilai jual di Internasional. Kemudian kita juga harus lebih membudayakan mengkonsumsi minum teh. Jadi minum teh bukan lagi hal semagai minuman pengganti sirop tetapi minuman yang menyehatkan,” pungkas Rachmat Badruddin, ketua DTI.
Yuwono Ibnu Nugroho