Guna memperkuat kedaulatan pangan berbasis lokal, ribuan petani di Jatim dibimbing bertanam padi dengan metode SRI.
Wajah Yasmanu (59) dan Yazid (28) tak bisa menyembunyikan kebahagiaan mereka. Dengan mengikuti program System of Rice Intensification (SRI) yang diusung PT HM Sampoerna Tbk, kedua petani asal Kecamatan Sukorejo, Pasuruan, itu kini mampu meningkatkan hasil panen mereka.
Dari sawahnya yang seluas seperempat hektar (ha), sekarang Yasmanu bisa meraih hasil panen 2,4 ton gabah kering panen (GKP). Padahal, “Pertama saya memakai cara konvensional, waktu itu dari seperempat ha hanya dapat paling tinggi, 1 ton 7 kuintal,” ungkap ayah satu orang anak ini.
Hal serupa dialami Yazid. Dengan metode konvensional, dari satu hektar sawah hanya menghasilkan 4 ton. “Dengan program SRI, sehektar menghasilkan 7-7,5 ton, bahkan di sawah milik Pak Lurah kadang menghasilkan 9–9,3 ton per ha,” paparnya.
Berkembang Signifikan
Kedua petani itu memang termasuk dalam 1.895 petani yang telah bergabung dalam program SRI yang dicanangkan HM Sampoerna sejak 2007 sebagai satu bentuk perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR)-nya. Total luasan lahan petani yang tergabung dalam program ini kini mencapai 502,74 ha yang tersebar di wilayah Jawa Timur (Jatim) seperti Kabupaten Pasuruan, Jember, Lamongan, Malang, Lumajang, Jombang, dan Ngawi, serta Jawa Barat, yaitu Karawang.
Padahal awalnya, akhir tahun 2007, program ini baru seluas 1,6 ha dengan melibatkan 20 petani setempat. Namun, pada musim tanam II periode 2008, proses diseminasinya dilakukan pada lahan petani di empat desa sekitar Sukorejo sehingga keseluruhan lahan mencapai 34,6 ha dan diikuti 79 petani.
Lantas, sejak awal 2009 budidaya padi SRI mulai menerapkan program hamparan, yaitu metode penanaman padi dengan sistem kawasan. Program ini sudah digerakkan di empat desa, yaitu di Desa Ngadimulyo, Bulukandang, Gunting dan Suwayuwo dengan luas hamparan pertanian 57,12 ha diikuti 146 petani.
Dengan mengikuti program itu, selain mendapatkan pelatihan bercocok tanam padi teknologi SRI, mereka juga dibekali ilmu tentang pemupukan dan pengendalian hama. “Kami dapat sebagian besar ilmu yang sangat berguna untuk menghidupi keluarga sehingga menjadi sejahtera. Saya sangat mendukung kegiatan ini,” tutur Yasmanu.
Dalam acara “Asah Keterampilan Petani SRI dan Peluncuran serta Bedah Buku Pertanian Berbasis Padi Melalui Metode SRI” yang digelar di Desa Gunting, Sukorejo, Pasuruan, Jatim, pertengahan Juli silam itu hadir Norman T. Uphoff, Professor of Government and International Agriculture dari Cornell University. Prof. Norman selama ini dikenal sebagai tokoh SRI dunia yang telah melakukan penelitian mengenai padi di berbagai negara.
Selain itu, tampak Prof. Iswandi Anas, Guru Besar IPB dan Ketua Umum INA SRI, Prof. Ir. Sumeru Ashari, M.Agr.Sc Ph.D, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (Unbraw), serta Ir. Tunggul Imam Panuju, M.Sc., Direktur Perluasan Areal dan Pengembangan Lahan, Ditjen Sarana dan Prasarana Pertanian, Kementan. Tak ketinggalan tim penulis buku Fakultas Pertanian Unbraw Malang.
Menurut Prof. Norman, Indonesia punya sumber daya alam yang bagus sekali untuk penanaman padi. “Mataharinya banyak, air cukup, tanahnya bagus, petaninya cukup akomodatif bekerjasama, tinggal diberikan pelatihan,” paparnya.
Selama ini, tambah Norman, cara tanam sistem konvensional umumnya dengan merendam padi. Padahal, perendaman menyebabkan akar padi lama-lama menjadi busuk. “Dengan tidak merendam padi, dapat menghemat air hingga 50 persen dan produktivitas dapat lebih tinggi,” tandas tokoh SRI dunia itu.
Norman lantas membandingkan antara sistem konvensional dan SRI. “Dengan sistem tanam tradisional, untuk satu kilogram gabah dibutuhkan 3.000 sampai 5.000 liter air, sedangkan pada metode SRI hanya membutuhkan setengahnya,” urainya.
Namun, lanjut Norman, jika dibandingkan penerapan SRI di negara lain, Indonesia perkembangannya kurang cepat. “Di Vietnam, dalam 4-5 tahun sudah 200 kali lipat pesertanya, dari 4.000 petani jadi 800 ribu petani dari 2006 hingga 2010,” tukasnya.
Tantangan 1.000 Hektar
Toh, Tunggul Imam Panuju amat terkesan melihat perkembangan program ini. Dia berharap acara ini menggugah perusahaan lain di luar Sampoerna yang CSR-nya belum berorientasi ke SRI untuk melakukan langkah serupa. “Saya menantang Sampoerna, kalau kini 502,74 ha, ke depan (harus) bisa jadi 1.000 ha,” tandasnya.
Ibarat gayung bersambut, pihak Sampoerna pun menjawab tantangan itu. Henny Susanto, Head of Regional Relation PT HM Sampoerna Tbk., menjelaskan, program ini bertujuan meningkatkan pendapatan petani dan buruh tanam, juga demi kemandirian pangan berbasis lokal serta pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. “Kami melihat program SRI ini salah satu cara yang cukup baik dan bisa diaplikasikan di Indonesia,” tuturnya.
“Kementan menantang kami menggandakan dari 502,74 ha menjadi 1.000 ha, dan kita terima tantangan itu. Kami yakin bisa dengan bantuan pemerintah sendiri dan juga dengan menggandeng NOSC (Nusantara Organic SRI Center) dan INA SRI, serta Unbraw dan petani yang antusias,” tandas Henny.
Sedangkan menurut Santi Djiwandono, Manager Contributions & CSR Program PT HM Sampoerna Tbk., program Sampoerna untuk Indonesia yang turut mendukung pengembangan metode SRI merupakan wujud nyata dalam mendukung program menuju kedaulatan pangan.
Syaiful Hakim, Aveline Widya Yolanda (Surabaya)