“Kita ini (Indonesia) ketahanan pangannya sudah sangat kritis,” ucap Faisal Kasryno dari Yayasan Pertanian Mandiri Indonesia (YAPARI) pada Seminar Ketahanan Pangan PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia) Pertanian di Jakarta, Senin (25/7). Menurut Faisal, sejak 2003 harga beras di Indonesia lebih mahal dari pada harga beras dunia. Harga ini pun mulai merangkak di atas harga beras Filipina sejak 2006.
Dunia dikatakan krisis pangan, lanjutnya, saat harga beras dunia mencapai US$800 per ton. “Saat ini harga beras kita mencapai US$1.000 per ton tetapi Indonesia belum teriak-teriak,” ujarnya. Grafik impor bahan pangan (beras, gandum, sapi bakalan, dan gula) pun cenderung meningkat sejak 1990.
Effendi Pasandaran, Pensiunan Profesor Riset Badan Penelitian & Pengembangan (Balitbang) Pertanian, menambahkan, ketahanan pangan Indonesia 65 persennya ditopang oleh Pulau Jawa. Padahal luas wilayah Pulau Jawa hanya 7 persen luas daratan Indonesia sedangkan potensi air tawarnya hanya 4.5 persen.
Di samping itu, secara pasti lahan persawahan di Jawa beralih fungsi untuk bidang industri dan jasa. Lahan persawahan di Sumatera, seperti Jambi dan Riau, pun beralih fungsi menjadi lahan sawit.
Untuk mendorong ketahanan pangan, Effendi menyarankan pembangunan 3 pilar, yaitu kemandirian dan kreativitas petani, pertanian berwawasan ekologis, dan kelembagaan masyarakat berbasis kearifan lokal. Sementara Bungaran saragih, Menteri Pertanian periode 2000-2004, menekankan perlunya diversifikasi pangan, interfensi Demand (Permintaan) dan menyerahkan kepemimpinan dewan ketahanan pangan kepada seseorang dari luar kementerian yang senior, visioner, dan memiliki jaringan luas.
Seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Pensiunan Pegawai (BP3), PWRI Pertanian ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para pensiunan tentang angka ketersediaan pangan yang perlu dikritisi.
Windi Listianingsih