Modernisasi telah mengimbas pula bidang makanan. Semuanya serba dikemas dan praktis. Tapi, bagaimana kehalalannya?
Di zaman yang serba cepat ini, makanan praktis cepat saji dalam kemasan memang seakan menjadi tuntutan tersendiri. Tapi, bagaimana kehalalannya? Apalagi, di negeri berpenduduk 230 juta jiwa ini, mayoritas penduduknya kaum muslim yang mementingkan soal satu itu. Tidak hanya yang berbahan baku daging-dagingan, produk olahan lain, seperti minuman dan bumbu dapur pun bisa dipertanyakan kehalalannya.
Bahkan, menurut Ir. Lukmanul Hakim, M.Si., Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), “Produk olahan itu pada awalnya syubhat (abu-abu) keadaannya. Karena syubhat harus dibuktikan status hukumnya melalui proses sertifikasi.” Soalnya, dalam pengolahan makanan, memang dilakukan berbagai pencampuran dan penambahan. Mungkin bahan bakunya halal, tapi apakah bahan pewarnanya juga halal?
Langkah penerapan prinsip halalan dan thayiban oleh MUI tentu melegakan. Kata “halal” sendiri berarti boleh dikonsumsi, sedangkan “thayib” bermakna aman dan layak dikonsumsi manusia. “Kalau tidak layak, tidak boleh. Ada proses produksi pabrik, dagingnya dapat sertifikat halal, bahan bakunya halal, tapi prosesnya kotor, maka tidak akan kita keluarkan sertifikat halal,” terang Lukman. Proses sertifikasi halal adalah upaya memberikan landasan kepastian hukum dalam agama Islam pada sebuah produk terkait kehalalan dan keharamannya.
Ditentukan Komisi Fatwa
Dengan dilakukannya inspeksi menyeluruh atas seluruh proses produksi, sertifikasi halal menjadi suatu proses yang gampang-gampang susah. Dari awal pendaftaran sampai keluarnya sertifikat halal biasanya memakan waktu tiga minggu. “Tiga minggu idealnya, yaitu ketika perusahaannya sudah siap, punya orang yang memahami ISO, HACCP atau standardisasi lain, itu lebih mudah” beber Lukman.
Namun, bagi perusahaan-perusahaan yang masih belum memahami penetapan halal, MUI memberikan layanan open house setiap Selasa di Jakarta. Selain itu, MUI juga bisa memberikan pelatihan kepada karyawan dari perusahaan yang berminat. Kalau masih belum jelas, mereka bisa ikut pelatihan LPPOM rutin sebulan sekali.
Proses sertifikasi diawali dengan pendaftaran, lalu audit, yaitu pembuktian dari apa yang ada di kertas (data) dan yang di lapangan (praktik di pabrik). Setelah itu tahap penggodokan oleh para auditor. Jika pada rapat auditor tidak ada masalah, baru dibawa ke rapat komisi fatwa ulama. “Rapat auditor itu terdiri dari ahli-ahli pangan, kimia, biokimia, seperti itu. Kalau sudah lulus pada rapat ahli, kita rapat di komisi fatwa, di situ ulama semua,” imbuh Lukman. Dalam rapat komisi fatwa inilah status halal atau tidak halalnya produk ditentukan. Setelah lulus di komisi fatwa, barulah diterbitkan sertifikat halalnya.
Inspeksi Mendadak
Setelah mengantongi sertifikat halal, bukan berarti perusahaan itu dapat berbuat sesukanya. Sebab, MUI tetap akan melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang telah bersertifikasi itu dengan kunjungan mendadak.
Mengenai biaya sertifikasi, menurut Lukman, tergantung perusahaannya. Kisarannya antara Rp1 juta hingga Rp5 juta untuk perusahaan menengah ke atas. Sedangkan perusahaan kecil ke bawah bahkan bisa cuma-cuma. Di daerah, rata-rata biaya antara Rp0 hingga Rp1,5 juta.
Proses sertifikasi halal berlaku secara umum. Artinya, produk halal yang disertifikasi lembaga-lembaga halal di sejumlah negara dan berstandar sama akan diakui oleh MUI. Sampai saat ini 44 lembaga sertifikasi dari 22 negara yang bekerjasama dengan MUI.
Pada akhir obrolannya, Lukman menyarankan, “Konsumsilah produk-produk hanya yang halal, tidak abu-abu, apalagi hitam (haram). Bagaimana caranya? Buktikanlah dengan logo halal.”
Ratna Budi Wulandari, Liana Gunawati