Senin, 4 Juli 2011

LIPUTAN KHUSUS : Mempertemukan Dua Kutub

Di satu sisi, PSDSK dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi bagi rakyat, di sisi lain meningkatkan kesejahteraan peternak. Tapi, jangan sampai konsumen terbebani.

Berapa sih sesungguhnya konsumsi daging sapi per kapita per tahun di Indonesia? Kementerian Pertanian (Kementan) dalam menyusun Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) menggunakan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, 2009) BPS. Menurut Prabowo Respatiyo Caturroso, Drh., MM., Ph.D, tingkat konsumsinya 1,69 kg.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, itu menyampaikan hal tersebut dalam pidato kunci (keynote speech) pada diskusi nasional sapi potong di Grand City Convex, Surabaya, Rabu (15/6). Diskusi yang bertema Peran Stakeholder Menyukseskan Swasembada Daging Tahun 2014 & Menjadikan Peternak Sapi Potong Nasional Tuan Rumah di Negeri Sendiri, ini diselenggarakan dalam rangkaian acara Indolivestock 2011.

Diskusi ini diselenggarakan Tabloid AGRINA, Tabloid Sinar Tani, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (Kementan), Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Tertinggal Indonesia (YPMTI), dan PT Napindo Media Ashatama (pelaksana Indolivestock). Ada dua kutub pemikiran terungkap pada diskusi tersebut dalam hal memandang PSDSK yang ditargetkan tercapai 2014.

Kebutuhan daging sapi

Kutub pemikiran pertama, memandang PSDSK semata-mata untuk memenuhi kebutuhan daging sapi bagi masyarakat. “Pemikiran ini cenderung untuk membesar-besarkan konsumsi daging sapi, antara lain dengan mengetengahkan perselisihan konsumsi daging sapi antara perhitungan (Kementerian Pertanian) dengan sumber lainnya,” kata Prabowo.

Dalam perhitungan Kementan, konsumsi daging sapi 1,69 kg per kapita per tahun. Dalam pembukaan Indolivestock 2011 di Surabaya, Menteri Pertanian Suswono menyebut 1,7 kg. Data ini, menurut Prabowo, dibenturkan dengan perhitungan Food & Agriculture Organization (FAO) yang 2,4 kg, bahkan dengan Pola Pangan Harapan (PPH) yang 2,7 kg.

Menurut perhitungan Joni Liano (merujuk cetak biru PSDSK, data impor sapi bakalan dan daging impor), kebutuhan daging sapi tahun lalu 496.680 ton. Kebutuhan tersebut, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) itu dipenuhi dari sapi lokal 282.900 ton (setara 2,14 juta ekor sapi), penggemukan eks  bakalan impor 93.780 ton (521 ribu ekor), dan daging impor 120 ribu ton (600 ribu ekor).

Jika kebutuhan itu dibagi 237,6 juta penduduk, maka konsumsi daging sapi per kapita 2,09 kg. “Kok, kita melecehkan masyarakat kita sendiri nggak makan daging (sapi). Ini realita.  (Karena itu), mari kita duduk bersama,” cetus Joni, salah satu pembicara diskusi.

Menurut para ahli, konsumsi protein hewani (antara lain daging sapi, daging ayam, telur, susu, dan ikan) cenderung meningkat dengan terdongkraknya pendapatan. Menurut BPS, tahun lalu pendapatan per kapita per tahun di Indonesia (atas harga berlaku) sekitar US$3.005. Dengan pendapatan seperti ini, konsumsi protein hewani cenderung meningkat.

Khusus daging sapi, menurut Joni, elastisitas permintaannya terhadap pendapatan 1,4. Tergolong elastis. Hal ini berarti, dengan peningkatan pendapatan, rakyat makin peka mengonsumsi daging sapi. Apalagi, mengonsumsi daging sapi itu dianggap bisa menaikkan gengsi.

“Setiap kenaikan pendapatan 1,4 persen, orang akan mengeluarkan income-nya itu untuk membeli daging sapi,” lanjut advisor PT Adi Satwa, penggemukan sapi di Tangerang, Banten tersebut. Itulah sebabnya ia memandang daging sapi tergolong komoditas strategis. Tidak seperti Prabowo, yang memandang daging sapi itu bukan komoditas strategis, karena belum seperti beras: masyarakat akan ribut jika tidak tersedia.

Sedangkan daging sapi, menurut Prabowo, jika tidak tersedia, masih bisa disubstitusi dengan sumber protein hewani lainnya, seperti daging ayam, susu, telur, dan ikan. Jadi, bila suatu saat harga daging sapi menjadi mahal, PSDSK merupakan upaya meningkatkan  kesejahteraan peternak sapi potong yang sekitar 4,6 juta rumah tangga.

Kesejahteraan peternak

Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak sapi potong rakyat merupakan basis kutub pemikiran kedua di dalam merancang dan membuat PSDSK. “Dengan belum strategisnya daging sapi, menurut saya, pandangan kedua ini layak dipikirkan,” ucap Prabowo.

Selama ini,, lanjut Dirjen, banyak peternak sapi lokal lesu darah karena harga sapi lemah. Ada yang menuding karena pengaruh daging beku impor berkualitas rendah yang jumlahnya cenderung meningkat, yang masuk ke pasar tradisional selanjutnya menyaingi pasar daging sapi lokal  “Peternak susah menjual (sapi) karena harganya turun,” ujarnya.

Kutub pemikiran kedua ini bertujuan mengembalikan sapi lokal pada posisi sebenarnya dan mencegah penurunan peternak sapi potong. “Saya berkomitmen memberdayakan peternak sapi lokal. Saya gembira dengan tema diskusi ini: Menjadikan Peternak Sapi Potong Nasional Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Berarti mengangkat harkat, martabat, dan marwah peternak sapi lokal. (Itulah) tujuan pemerintah yang sebenarnya,” tegas Prabowo.

“Kita harus menolong peternak, kita harus menolong Republik ini, (tapi) kita juga harus menolong konsumen kita. Kita harus fair,” timpal Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., pakar agribisnis, dalam diskusi yang dipandu Prof. Hj. Romziah Sidik, Drh, Ph.D, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, itu. Yang perlu diperhatikan, kata Bungaran, seberapa besar daya saing peternakan sapi potong kita. Jangan sampai konsumen terbebani karena ketidakefisienan industri sapi potong nasional.

Agar tercapai kemanfaatan yang adil, setara, dan terbuka di antara peternak rakyat, pengusaha penggemukan sapi eks bakalan impor, pengimpor daging beku, distributor, konsumen, dan sebagainya, maka dibentuklah Dewan Daging Sapi Nasional (DDSN). “Enaknya, stakeholder (sapi potong) menyatu dalam organisasi bersama. Ya, pemerintahnya, ya non-pemerintahnya,” kata Drh. Soehadji, Ketua DDSN, yang mendeklarasikan pembentukan dewan itu pada diskusi tersebut di Surabaya, Rabu (15/6).

Selama ini, menurut mantan Dirjen Peternakan itu, tidak ada angka yang pasti, yang digunakan di dalam perencanaan. “Mari kita perbaiki sistem to minimize human error. Perlu ada komunikasi di antara pemangku kepentingan agar tidak menimbulkan salah pengertian,” ajaknya. Dengan begitu, dapat diperoleh angka konsumsi yang lebih akurat, yang sangat diperlukan dalam menentukan pasokan dan permintaan daging sapi nasional.

Syatrya Utama dan Ratna Budi Wulandari

 

 

Tabel:

Konsumsi Daging Sapi Per Kapita

 

Deskripsi                        Kg/Kapita/Tahun

PSDSK                                1,69

Pidato Menteri Pertanian     1,70

Pengusaha (Apfindo)           2,09

FAO                                   2,40

PPH                                   2,70

Data (2010). Diolah dari berbagai sumber.

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain