Menurut perhitungan sementara Sensus Sapi, populasi sapi potong nasional sekitar 13,51 juta ekor. Diperlukan skim Kredit Usaha Pengembangan Sapi.
Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014 merupakan salah satu dari 21 program utama Kementerian Pertanian. Swasembada dianggap tercapai jika 90 persen kebutuhan daging sapi nasional bisa dipasok dari dalam negeri atau sapi lokal seperti Peranakan Ongole (PO), sapi bali, sapi aceh, sapi sumba, dan sapi madura.
“Bicara PSDSK, berarti sapi lokal,” tegas Teguh Boediyana, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), pada seminar sapi potong di Grand City Convex, Surabaya (15/6), yang dihadiri lebih dari 200 pemangku kepentingan persapian.
Menurut hasil sementara (per 28 Juni 2011) Sensus Sapi yang dilakukan Badan Pusat Statistik, yang sudah mencakup 97,5 persen dari total cakupan wilayah, populasi sapi potong 13,51 juta ekor, sapi perah 529 ribu ekor, kerbau 1,2 juta ekor, dengan rumah tangga peternak 5,9 juta. Sebelum sensus, tahun lalu populasi sapi potong 13,63 juta ekor.
Harus Konsisten
Jika populasi sapi potong hasil Sensus ini sama dengan perhitungan dalam cetak biru PSDSK, maka menurut Prabowo Respatiyo Caturroso, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, “Kita harus konsisten melaksanakan amanat blueprint,” tandas Prabowo pada pidato pembukaan seminar sapi potong di Grand City Convex, Surabaya itu.
Menurut Joni Liano, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), dalam pengembangan populasi sapi, sebaiknya pemotongan sapi itu maksimal 15 persen dari populasi yang ada. Dengan populasi sapi lokal 13,51 juta, maka jumlah sapi yang boleh dipotong sekitar 2,03 juta ekor atau setara daging 255.780 ton.
Dengan konsumsi per kapita 1,7 kg (mengutip Menteri Pertanian Suswono) dan jumlah penduduk 240 juta, maka kebutuhan daging sapi tahun ini sekitar 408 ribu ton. Berarti pasokan dari dalam negeri baru bisa memenuhi 63 persen dari kebutuhan nasional. Jika konsumsi per kapita 2,09 kg, seperti perhitungan Apfindo, maka kebutuhan daging sapi nasional 501,6 ribu ton, dan yang dipasok dari dalam negeri sekitar 51 persen. Sisanya, harus dipasok dari impor, baik dalam bentuk bakalan yang digemukkan maupun daging.
Selain itu, jika melihat struktur populasi sapi berdasarkan cetak biru, dewasa betina 42,03 persen dan dewasa jantan 12,22 persen, dengan merujuk data Sensus Sapi, maka populasi sapi jantan dewasa 1,65 juta ekor dan betina dewasa 5,68 juta ekor. Bila dikurangi pejantan unggul (untuk pembibitan) 200 ribu ekor, menurut logika Joni, jumlah dewasa jantan yang bisa dipotong 1,45 juta ekor per tahun. Jika yang boleh dipotong 2,03 juta ekor, berarti ada 0,58 juta ekor sapi betina produktif dan betina afkir yang ikut dipotong. Padahal, betina produktif ini mempunyai potensi melahirkan pedet (anak sapi).
Menurut Joni, setiap tahun diperkirakan sekitar 200 ribu betina produktif ikut dipotong untuk memasok kebutuhan daging sapi nasional. Sebagai ilustrasi, “Saya bulan lalu survei di Jawa Timur, ke pasar hewan, ke rumah potong hewan, saya lihat ada 24 ekor sapi untuk siap dipotong, semuanya betina,” ungkapnya pada diskusi sapi potong itu. “Ironisnya, (di situ) ada foto Pak Menteri (Suswono) bahwa sapi betina (produktif) dilarang dipotong di rumah potong hewan. (Hal) ini persoalan kita bersama,” tambahnya.
PPSKI, bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), pernah melakukan survei acak di Jawa Barat. Dari 500-an ekor sapi yang akan dipotong, menurut Teguh, sekitar 81 persen sapi betina produktif. Porsi seperti itu terjadi juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemerintah hanya memberikan insentif Rp500 ribu per ekor jika betina produktif bunting. “Program penyelamatan betina produktif itu tidak efektif,” tukasnya.
Padahal, tahun ini, lanjut Teguh, anggaran pemerintah untuk menyelamatkan betina produktif itu sekitar Rp700 miliar. Bahkan, tahun depan, menurut berbagai sumber, anggaran ini akan meningkat menjadi sekitar Rp1,4 triliun. Dulu, Teguh pernah mengusulkan agar dibentuk Badan Layanan Umum (BLU) untuk menyelamatkan betina produktif ini.
Skim Kredit Baru
Caranya, menurut pemikiran Teguh, tempatkan dana sekitar Rp2 triliun pada BLU ini. Jika ada peternak yang akan memotong betina produktif, sebaiknya BLU ini membeli betina tersebut, lalu sapi tersebut dikawinkan. Setelah sapi itu bunting, didistribusikan kepada peternak melalui skim kredit perbankan seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). “Tangkap dengan KKPE dan skim kredit yang kita usulkan,” katanya.
Teguh mengusulkan, skim Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) yang ada saat ini diubah menjadi Kredit Usaha Pengembangan Sapi (KUPS), baik untuk sapi potong, sapi perah, pembibitan, maupun penggemukan. Karena peternakan rakyat itu sekaligus melakukan pembibitan dan penggemukan. “KUPS itu harus kita perjuangkan,” ajaknya.
Dalam hal penyelamatan sapi betina produktif ini, Ir. Edwardi lebih melihat pada aspek penegakan hukum. Menurut Kepala Dinas Peternakan Sumatera Barat, itu, tingginya pemotongan betina produktif karena belum adanya penegak hukum yang fokus menangani hal itu. “Kadang-kadang orang memotong sapi betina produktif, kena hukuman enam bulan, polisi tidak serius mengurusnya. Nggak ada efek jeranya,” ujar salah satu pembicara pada seminar sapi potong di Surabaya tersebut.
Karena itu, Ketua Umum Asosiasi Dinas Peternakan Seluruh Indonesia tersebut membentuk Polisi Veteriner (PV). Bekerjasama dengan Polda Sumatera Barat dan ahli veteriner seperti Turni Rusli Syamsuddin (dulu Direktur Kesmavet, Ditjen Peternakan) dan Wiwiek Bagdja (pengajar dan Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia), Dinas Peternakan mendidik PV. Berbekal sertifikat, para PV ini berhasil menggagalkan pemotongan betina produktif. “Saya harapkan di seluruh Indonesia bisa dilakukan (dibentuk) PV ini sehingga lembaga peternakan itu banyak dukungannya,” ucapnya.
Jadi, penyelamatan sapi betina produktif merupakan salah satu upaya mencegah pengurasan sapi lokal. Sapi betina ini bermanfaat untuk menggenjot populasi sapi lokal. Jika kita kurang serius melakukannya, justru akan mengganggu pencapaian swasembada.
Ratna Budi Wulandari dan Syatrya Utama
Tabel Sumber Pengadaan Daging Sapi Nasional Tahun Sapi Lokal Eks Penggemukan Daging Impor Total 2008 - Daging (Ton) 233.600 115.600 92.494 441.964 - Setara Sapi (ekor) 1.899.107 642.229 462.500 3.003.836 2009 - Daging (Ton) 250.800 137.787 111.973 500.560 - Setara Sapi (Ekor) 2.055.258 765.488 560.000 3.380.746 2010 - Daging (Ton) 282.900 93.780 120.000 496.680 - SetaraSapi (Ekor) 2.141.408 521.000 600.000 3.262.408 Keterangan konversi: 1. Bobot daging sapi lokal 123 kg – 132 kg atau rata-rata 126 kg per ekor sapi 2. Bobot daging sapi eks penggemukan bakalan impor 180 kg per ekor sapi 3. Daging impor disetarakan dengan sapi dihitung 200 kg daging per ekor sapi Sumber: Apfindo, Juni 2011