Senin, 4 Juli 2011

LIPUTAN KHUSUS : Peran Strategis Industri Penggemukan

Mengimpor sapi bakalan untuk digemukkan lebih baik ketimbang mengimpor daging beku (bermutu rendah), termasuk jeroan.

Selama ini, kebutuhan daging sapi di Indonesia bersumber dari sapi lokal (peternakan rakyat), penggemukan eks bakalan impor, dan daging impor (termasuk jeroan). Embargo sapi bakalan impor Australia (8 Juni - 7 Desember 2011), menyebabkan pelaku usaha penggemukan eks bakalan impor akan kekurangan sapi yang akan digemukkan.

Saat ini, stok sapi bakalan impor yang digemukkan dan siap dipotong dari anggota Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), sekitar 150 ribu ekor. Dengan  pemotongan sapi sekitar 40 ribu ekor per bulan (bukan per hari seperti tertulis pada AGRINA edisi 156), stok tersebut cukup memenuhi pasokan (berasal dari penggemukan sapi bakalan impor) lebih dari tiga bulan ke depan.

Nilai tambah

Padahal, menurut Joni Liano, industri penggemukan (eks bakalan impor) berperan strategis menghasilkan nilai tambah. Sebagai ilustrasi, dengan mengimpor sapi bakalan berbobot 300 kg (setara daging 100 kg) per ekor, kemudian digemukkan 90 hari (tiga bulan), bobot sapi naik menjadi 420 kg (setara daging 140 kg) atau meningkat 40 persen.

“Pak Menteri Pertanian sekarang (Suswono) menyampaikan, kalau kita terpaksa impor, saya memilih sapi bakalan daripada daging (sapi) karena nilai tambahnya banyak di sini,” kata Direktur Eksekutif Apfindo itu pada diskusi sapi potong di Surabaya, Rabu (15/6).

Dalam penggemukan, menurut Joni, diperlukan hijauan pakan ternak, konsentrat, limbah pertanian, dan mineral. Selain memasok daging, industri ini juga menghasilkan produk sampingan yang bernilai tambah, seperti jeroan, kulit, lemak, tulang, dan kompos.

Dari industri penggemukan sapi potong eks bakalan impor, dengan nilai investasi sekitar Rp1 triliun, menurut Joni, diperoleh nilai pasar Rp5 triliun, yang 80 persen di antaranya berputar di pedesaan. “Apakah haram mengimpor (sapi bakalan) Rp1 triliun dan berputar ekonomi pedesaan Rp5 triliun. Ini harus kita pikirkan bersama,” cetus Joni.

Kesimbangan pasokan

Joni pun menegaskan, industri penggemukan ini dapat menekan pengurasan sapi lokal dan menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan. “Industri penggemukan membantu mengurangi keseimbangan (kesenjangan) pasokan dan permintaan dalam mengatasi laju pertumbuhan konsumsi terhadap kemampuan pasokan sapi potong lokal yang masih terbatas,” katanya.

Persoalannya, tahun lalu kontribusi daging sapi eks penggemukan sekitar 19 persen, daging impor 24 persen, dan sapi lokal 57 persen. Dengan embargo sapi bakalan dari Australia, kontribusi eks penggemukan sapi bakalan kian mengecil. Karena kebutuhan meningkat, ada kemungkinan kekurangan daging sapi dipasok dari daging impor, termasuk jeroan.

Jadi? Di satu sisi, embargo sapi bakalan ini menyebabkan nilai tambah penggemukan eks sapi bakalan impor tidak beralih ke Indonesia, tetapi tetap di Negeri Kanguru itu. Di sisi lain, untuk menekan kenaikan harga daging sapi (agar masyarakat tidak resah) karena kekurangan pasokan dari penggemukan eks sapi bakalan impor, maka jalan pintasnya adalah mengimpor daging. Apakah embargo ini upaya Australia menekan ekspor sapi bakalan dan meningkatkan ekspor daging beku (bermutu rendah), termasuk jeroan?

Syatrya Utama dan Ratna Budi Wulandari

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain