Peternakan sapi potong kita belum berdaya saing. Perlunya pola pemotongan yang sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen.
Keunggulan daya saing merupakan kemampuan memasok barang atau jasa pada waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen pada harga yang sama atau lebih baik dari pesaing. Dengan demikian, keunggulan daya saing tidak hanya ditentukan biaya yang serendah mungkin, tapi juga produk yang dihasilkan sesuai preferensi konsumen.
Persoalannya, mengapa harga daging sapi (berbagai tingkatan) produksi dalam negeri, terutama dari peternak rakyat, cenderung lebih tinggi ketimbang daging impor? Hal ini sering dipertanyakan para pejabat pemerintah. Menurut Dayan Antoni P., Government Relation & Business Development PT Santosa Agrindo, perusahaan penggemukan sapi, efisiensi industri sapi potong kita dapat dilihat dari aspek produksi maupun pascapanen.
Dari aspek produksi, yang banyak dicari peternak sekarang, sesuai permintaan pedagang sapi, adalah hasil persilangan simmental dan limousin, yang dikenal dengan sapi merah. Sedangkan Peranakan Ongole, yang dikenal sapi putih, mulai sulit didapat.
Masalahnya, kebutuhan nutrisi sapi merah lebih tinggi dari sapi lokal. Menurut Dayan, biaya pakan sapi merah sekitar Rp27 ribu per hari. Bandingkan dengan sapi lokal yang Rp10 ribu per hari. Karena peternak rakyat kurang merawat sapi merah secara baik, maka pertambahan bobot sapinya tidak sejalan dengan keunggulan sapi tersebut. Belum lagi skala usaha peternak sapi rakyat kita sekitar 1-5 ekor, yang kurang ekonomis.
Dari aspek pascaproduksi, misalnya soal infrastruktur transportasi. Biaya transportasi kita masih cukup mahal. Hitungan Zaldy Ilham Masita, Presiden Asosiasi Logistik Indonesia, secara nasional biaya logistik mencapai 30 persen dari biaya produksi barang yang diangkut. Dibandingkan negara maju, biaya itu sangat tidak efisien.
Sebagai ilustrasi, jika harga sapi hidup di Jawa Timur sekitar Rp22 ribu per kg dan diangkut jalan darat ke Medan (Sumatera Utara), harga sapi itu menjadi Rp35 ribu per kg. Artinya, harga daging sapi bisa mencapai Rp90 ribu per kg. Jadi, “Karena tidak efisien, maka yang dihasilkan produk yang mahal, yang tidak berdaya saing,” tandas Dayan.
Rantai pasokan
Dari segi rantai pasokan, menurut Prof. Dr. Ir. Kusmartono, produksi daging sapi dapat dilihat mulai dari semen beku, pembibitan, penggemukan, pemotongan di rumah potong hewan, pengolahan daging sapi, pengecer, sampai ke konsumen. “Pendekatan supply chain ini bisa meningkatkan efisiensi (produksi daging sapi),” kata Dekan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, itu, dalam diskusi sapi potong di Surabaya.
Kusmartono menambahkan, daya saing bisa dilihat dari keunggulan menyediakan daging sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen. Di sinilah pentingnya grading system (pola pemotongan) yang sesuai segmen pasar. Misalnya, untuk pasar steik, yang diperlukan misalnya sirloin dan tenderloin, yang harganya relatif mahal.
Bahan baku bakso, misalnya, membutuhkan daging yang sesuai spesifikasinya, biasanya dari bagian silverside (pendasar plus gandik). Jadi, dalam pemotongan daging sapi disesuaikan dengan kebutuhan rumah tangga, industri, dan pasar khusus (hotel dan restoran). “Industri daging (sapi) sudah berkembang. Orang tidak hanya makan daging untuk rumah tangga, tapi juga (olahan) seperti sosis dan terutama bakso,” tutup Dayan.
Syatrya Utama dan Ratna Budi Wulandari