Kualitas hasil panen kentang memang tidak semata-mata ditentukan oleh teknik budidaya. Kalau benih yang ditanam tidak baik, apa kualitas yang baik bisa tercapai?
Diversifikasi pangan kembali gencar dipromosikan ketika produksi beras kian sulit ditingkatkan. Bahan makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi selain beras semakin populer. Kentang salah satunya. Di dunia, kentang masuk dalam tiga besar bahan makanan pokok terpopuler setelah gandum dan beras. Dengan kadar gula yang lebih rendah dari nasi, kentang pun lebih dianjurkan untuk dikonsumsi para penderita diabetes. Kentang dapat disiapkan sebagai pangan pengganti nasi.
Kebutuhan kentang yang diprediksi akan meningkat seiring promosi diversifikasi pangan, praktis mengerek kebutuhan benih kentang. Menurut Budhi Prasetya, kebutuhan benih kentang memang cenderung meningkat. “Ketika promosi dari lembaga atau perusahaan membuat suatu inovasi baru ke konsumen, pasti kebutuhan benihnya akan meningkat,” kata Marketing Specialist International Potato Center (CIP) itu. CIP ini badan internasional bermarkas di Peru, Amerika Selatan, yang bekerjasama dengan Balai Penelitian Sayuran meneliti varietas kentang untuk dikembangkan di Tanah Air.
Sertifikasi Penting
Kenyataan di lapangan menunjukkan, benih kentang yang tersedia di pasaran masih belum bisa memenuhi kebutuhan petani. “Perlu digarisbawahi, ini untuk benih berkualitas ya. Kalau benih yang beredar di kalangan petani, itu beda lagi. Benih bersertifikat yang beredar mungkin masih satu sampai dua persen,” tandas Budhi.
Pemilihan benih bersertifikat ini memang belum sepenuhnya disadari petani. “Tidak bisa disalahkan juga. Petani yang penting yield (hasil)-nya bagus, tidak peduli sertifikasi atau tidak,” ungkap pria asal Banjar, Jawa Barat itu. Petani pun sampai sekarang perlu diyakinkan pentingnya benih bersertifikat dan keuntungan menanam benih seperti ini. “Harus ada nilai tambah bagi petani,” sambungnya.
Benih yang bagus, menurut Budhi, juga sebenarnya tidak menjamin hasil panen akan bagus. Pasalnya, masih tergantung pada kualitas tanah, lingkungan, dan teknik budidayanya. Dia mencontohkan, petani membeli benih bersertifikat tetapi terlalu lama disimpan sehingga ketika ditanam hasilnya tidak sebagus benih yang baru. Bagaimanapun sertifikasi penting, terutama bagi pemerintah. “Supaya ada standar, supaya terkontrol supply dan demand-nya. Supaya pemerintah bisa action ketika suplai kurang misalkan,” tutur alumnus Jurusan Matematika ITB itu.
Ir. Wildan Mustofa, MM, pemilik Hikmah Farm, pembenih kentang di Pangalengan, Bandung, Jawa Barat, pun mengamini. Menurutnya, ketersediaan benih kentang jika dilihat dari intensitas penanaman yang dilakukan petani, cukup tersedia. “Persoalannya itu ‘kan ada di standar mutu, lalu timing-nya. Misalnya di musim kemarau, harga sayuran akan tinggi, maka banyak penangkar mengalihkan kentang benihnya menjadi kentang konsumsi. Sehingga beberapa bulan yang akan datang, benih akan kurang. Sebaliknya, kalau harga kentang murah, nanti banyak yang menyimpan untuk benih. Saat waktu benih siap tanam, jadi over suplai. Harganya akan jatuh. Dan ini masih belum bisa terselesaikan,” ungkap Wildan.
Sertifikasi pun tidak mudah bagi varietas-varietas lokal yang dikembangkan petani di daerah tertentu. “Biasanya varietas-varietas itu bukan jalur pemurnian, bukan kultur jaringan. Hasil panen mereka benihkan, jadi penyakit-penyakitnya pun masih terbawa, tidak dibersihkan dulu. Walaupun benih ini cenderung disukai oleh petani lokal,” kata peraih gelar insinyur IPB tahun 1992 ini.
Pembinaan kepada petani-petani penangkar menjadi penting dilakukan. “Harus ada standar tertentu karena kita harus mempertanggung jawabkan mutunya. Jadi kita bermitra dengan petani, dengan melihat kemampuannya masing-masing. Namun kontrol tetap sesuai standar bersama,” papar pria kelahiran 1967 itu. Kemitraan ini ikut meningkatkan kesadaran petani untuk menggunakan benih berkualitas.
Komersialisasi Sulit
Sertifikasi penting, inovasi pun tak kalah penting. Kebutuhan varietas kentang yang mempunyai keunggulan tertentu menjadi kebutuhan pada masa mendatang. Seperti varietas kentang yang tahan terhadap serangan Nematoda Sista Kentang (NSK) atau Meloidogyne spp, busuk daun kentang (Phytophthora infestans), dan layu fusarium (Fusarium oxysporum). Atau varietas kentang yang baik untuk diolah tetapi juga tahan hama penyakit. Pasalnya, varietas kentang olahan yang dikenal saat ini seperti Atlantik, justru lebih rentan serangan penyakit dibandingkan varietas kentang yang dikonsumsi segar, Granola.
Lembaga-lembaga penelitian pun terus mencoba menemukan varietas dengan keunggulan yang dibutuhkan. Budhi menyebutkan, “Tugas CIP bersama Balitsa (Balai Penelitian Sayuran) untuk menemukan varietas-varietas unggulan yang bisa diterima dan bisa menghasilkan panen yang optimal. Namun, ketika mau dilempar ke pasaran, apakah akan laku?”
Komersialisasi benih pun masih menjadi permasalahan penting bagi para peneliti. Petani kentang telanjur mengenal Granola dan Atlantik sebagai varietas kentang yang disukai pasar. “Biasanya ketika mengeluarkan satu varietas, akan disebutkan ke petani mirip Granola atau mirip Atlantik. Diperkenalkan sebagai Granola yang tahan NSK, Granola yang tahan late blight (busuk daun), baru bisa diterima oleh petani,” tambahnya.
Uji coba varietas baru ini pun sebenarnya harus banyak dilakukan. Namun, pihak penangkar benih swasta pun punya pertimbangan tersendiri. “Itu memerlukan biaya yang tidak kecil. Saya yakin banyak varietas yang bagus, masalahnya, dia adalah varietas bebas,” ungkap Wildan.
Varietas bebas adalah varietas yang tidak diproteksi. “Kalau saya coba dan hasilnya bagus, semua orang bisa produksi. Padahal waktu saya coba, saya harus keluar biaya. Setelah dapat hasil, manfaatnya siapa saja bisa mengambil,” tambahnya.
Dengan risiko demikian, menurut Wildan, jangan mengharapkan inisiatif pengembangan datang dari pihak swasta. “Harus muncul dari pemerintah. Berharap swasta mau masuk ke sesuatu yang nanti kalau berhasil menjadi milik umum, ya sulit. Swasta lebih tertarik pada varietas yang nanti bisa memberikan manfaat bagi kita dalam jangka panjang untuk mengembalikan modal yang kita investasikan,” tegas pria kelahiran Bandung ini.
Jadi, tantangan selanjutnya, adakah varietas kentang unggul yang juga disukai?
Renda Diennazola