Peningkatan produksi beras nasional, berlanjut ke peningkatan stok beras, dan berujung pada ketahanan pangan yang kuat.
Indonesia harus mampu surplus beras minimal 10 juta ton per tahun agar dapat memenuhi target swasembada beras. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Februari lalu itu sekaligus menyadarkan pemerintah untuk lebih menggenjot program-program peningkatan produksi pangan.
Pada 2011 ini, Kementerian Pertanian menetapkan target produksi sebanyak 70,6 juta ton gabah kering giling (GKG). Data Angka Ramalan I (ARAM I) BPS menunjukkan perkiraan produksi sebesar 67,31 juta ton GKG. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 1,35 persen atau 895,86 ribu ton jika dibandingkan Angka Sementara (ASEM) 2010 sebesar 66,41 juta ton GKG. Jadi, hasil ini telah memenuhi 95,33 persen dari target 2011 atau masih kurang 3,29 juta ton.
Kondisi pertanaman padi sepanjang 2010 yang banyak mengalami gagal panen dan gangguan budidaya ternyata tidak mempengaruhi pencapaian produksi nasional. Diduga, peningkatan hasil panen terjadi lantaran ada penambahan luas area panen 14,51 ribu hektar (ha) atau 0,11 persen dan peningkatan produktivitas 0,62 kuintal per ha atau 1,24 persen. Kondisi basah sepanjang tahun membuat petani yang biasa menanam jagung pada musim tanam kedua, menanam padi lagi.
Menurut Dirjen Tanaman Pangan Ir. Udhoro Kasih Anggoro, MS, pemerintah menargetkan peningkatan hasil sebesar 5 persen per tahun. “Namun harus dipahami bahwa ARAM I adalah satu tahun diramal penuh. Jadi, kalau (target) sudah tercapai apalagi lebih, ya dipertahankan. Jika kurang, langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk perbaikan pada musim tanam berikutnya,” katanya kepada AGRINA.
Sedangkan, target stok 10 juta ton beras sangat beralasan. “Kita itu paling aman jika surplus (beras) 4 kali jumlah konsumsi beras per bulan. Kalau menanam padi ‘kan kira-kira 4 bulan. Konsumsi beras per bulan kita sekitar 2,7 juta ton, dikali 4 berarti 10,8 juta ton. Selama ini surpus baru 4 juta - 6 juta ton. Artinya, itu baru cukup untuk dua bulan. Jadi kalau 10 juta ton beras, selama 4 bulan kita sudah aman,” jelas Udhoro.
GP3K
Ketika berbincang di kantornya, Udhoro memaparkan tiga kunci ketahanan pangan yang menjadi program pemerintah. “Ketersediaan, distribusi, dan keterjangkauan,” kata angkatan Fakultas Pertanian UGM 1977 tersebut. Dalam hal ini, ketersediaan menjadi fokus pekerjaan Ditjen Tanaman Pangan dengan pemenuhan target-target yang telah ditetapkan.
Sejumlah program pun dirancang. Salah satunya, yang saat ini mulai dijalankan adalah Gerakan Peningkatan Produksi Pangan dengan Sistem Korporasi (GP3K). Program yang merupakan gagasan orisinil Kementerian BUMN ini bertujuan untuk mensinergikan BUMN dengan petani.
Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar dalam Seminar Nasional Improving the Enabling Environment for Agribusiness and Agroindustry Competitiveness di Jakarta Mei lalu menyatakan, BUMN memiliki kekuatan dalam mendukung gerakan ini. Di antaranya menguasai sarana dan prasarana lengkap mulai dari penelitian, pengembangan, penangkaran benih, produksi benih, produksi pupuk, jasa pengairan, penggilingan, pengeringan, gudang, lahan hingga lembaga keuangan untuk mendukung petani.
“Karena ini berbasis korporasi, jadi SOP korporasi yang kita terapkan di sawah petani. Jadi kalau dibuat grade, kira-kira ini paling bagus kinerja produktivitas maupun produksinya. Karena ini ‘kan terstandarisasi korporasi perusahaan. Perencanaannya, pembinaannya, teknologinya,” Udhoro menambahkan.
Pak Dirjen juga menggambarkan, di lapangan terdapat tiga tingkatan sistem budidaya. Ada pembinaan umum, Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT), dan GP3K. Saat ini, pembinaan umum rata-rata produktivitasnya baru 5,1 ton per ha, SLPTT 0,7 ton per ha di atas pembinaan umum. Sedangkan GP3K diharapkan bisa 1-3 ton per ha di atas produktivitas pembinaan umum. Dengan program ini, Kementerian BUMN menargetkan dapat menyumbangkan sekitar 3,7 juta ton atau 5 persen dari target nasional sebanyak 70,6 juta ton.
Konsorsium BUMN
Kegiatan budidaya dari hulu hingga hilir melibatkan BUMN secara total. BUMN yang terlibat adalah PT Sang Hyang Seri, Pertani, Pupuk Sriwidjaja, Perum Perhutani, Inhutani, Perkebunan Nusantara, dan Perum Bulog. Masing-masing BUMN berperan dalam penyediaan sarana produksi hingga pembelian hasil panen.
Mustafa memberi contoh, penyediaan benih unggul oleh Sang Hyang Seri dan Pertani. Lalu, penyediaan pupuk oleh Pupuk Sriwidjaja, dan penyediaan lahan oleh Perum Perhutani, Inhutani, dan Perkebunan Nusantara. Sementara itu di hilir, Perum Bulog diharapkan siap menyerap gabah kering giling untuk diolah menjadi beras.
Program ini seharusnya mempermudah Perum Bulog untuk mengamankan stok beras nasional. “Bulog selama ini ‘kan membeli, kalau ini ‘kan menguasai dari awal. Kalau membeli, akan tergantung jumlah, harga, momentum, dan sebagainya. Jadi harus jelas, ini beda sekali antara produksi, keberhasilan produksi, kegagalan produksi, dan pembelian,” tukas Udhoro.
Pendanaan program ini pun dijamin oleh BUMN. Bisa diperoleh dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dari masing-masing BUMN, atau dari dana pinjaman perbankan BUMN melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta Kredit Usaha Tani (KUT).
Kementerian BUMN pun menggelontorkan dana senilai Rp4,1 triliun untuk mendukung program ini hingga 2014. Untuk 2011, disiapkan dana sekitar Rp1,3 triliun - Rp1,5 triliun. Program GP3K akan mulai dilaksanakan di 11 provinsi sentra padi, yaitu Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Kementerian BUMN menyebutkan program ini hanya dicanangkan untuk jangka pendek. “Kementerian BUMN berharap gerakan ini tidak selamanya dilakukan oleh BUMN. Ini hanya bersifat jangka pendek sampai pada saat sudah terbangun sistem pertanian yang kuat, terpadu, dan sinergi antara hulu dan hilir, yang dapat diandalkan sebagai sumber cadangan pangan nasional,” ungkap Mustafa.
Sementara itu, Kementerian Pertanian berharap program ini akan berkelanjutan. “Kita mulai 2011, terus ke depan. Akan kita teruskan minimal lima tahun ke depan. Kalau ini bisa berjalan baik, dan menurut saya harus berjalan dengan baik, ini adalah solusi dari corporate farming,” tutup Dirjen.
Renda Diennazola