Program pemerintah Gerakan Peningkatan Produksi Pangan dengan Sistem Korporasi (GP3K) mengundang berbagai reaksi negatif petani.
Pencanangan program GP3K sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan memang mengundang banyak reaksi keras para petani. Pasalnya, pelaksanaan program ini adalah dengan menyewa lahan petani. Sebenarnya tidak hanya sebatas dan sesederhana itu.
Dengan melibatkan beberapa BUMN, petani dapat memilih satu dari tiga pilihan yang ditawarkan. “Pertama, bantuan sarana produksi. Jadi petani dibantu saja, tapi pelaksanaan standar korporasinya menjadi minim. Yang kedua, sistem yarnen atau bayar panen. Jadi bantuan yang diberikan dibayar setelah panen. Dan yang ketiga mekanisme kerjasama produksi. Sawah petani disewa tapi petaninya tetap bekerja di situ,” papar Udhoro Kasih Anggoro, Dirjen Tanaman Pangan Kementan.
Sistem yarnen, menurut Winarno Tohir, sama sekali tidak menggunakan uang dalam sistem pembayarannya. “Langsung dengan padi. Misalnya benih dan pupuk harus kembali tiga kuintal, itu kesepakatan saja. Apa saja barang (sarana produksi) yang dipakai, berapa kuintal harus kembali. Jadi nggak pakai harga sehingga tidak timbul masalah di akhir pengembalian,” kata Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) itu saat dihubungi melalui telepon.
Sistem terakhirlah yang menimbulkan banyak kontroversi di kalangan petani. Kerjasama produksi di sini adalah sawah milik petani disewa BUMN yang terlibat, dan petani tetap bekerja seperti biasa di lahannya. “Karena ini menggunakan standar korporasi, pengelolaannya akan lebih bagus, produksinya lebih tinggi, pendapatannya jelas akan lebih tinggi daripada petani melakukan sendiri,” tambah Winarno.
Udhoro memberi contoh, “Kalau dikerjakan sendiri hasilnya misalnya 4 ton. Jadi yang 4 ton ini sudah dijamin, kalau ada kelebihannya nanti bagi hasil. Tanahnya disewa, kita pun bekerjasama dalam produksi. Upah pun tetap dihitung. Benih dan pupuk tersedia, pola tanam bagus, pengawalan bagus, profit naik. Kalau hasilnya jadi 7 ton, setelah dikurangi biaya tani, lalu yang 3 ton bagi hasil,” jelasnya.
Winarno menambahkan, “Konotasi sewa memang kurang bagus, tapi menurut saya banyak keuntungannya untuk petani. Pertama, lahan petani disewa sesuai dengan kesepakatan berapa harga sewanya. Lalu, dari harga sewa itu baru diolah oleh petani pemilik lahan, biaya semua ditanggung. Termasuk biaya penggantian tenaga kerja.”
Lahan yang disewa juga tidak diberi batasan atau persyaratan lahan tertentu. “Itu ‘kan kepemilikan. Ada 0,5 ha ya nggak apa-apa, nanti digabung. Per 25 ha dalam satu daerah nanti akan ada koordinator petani. Tidak harus dalam satu hamparan, ‘kan sulit juga. Koordinator petani ini nanti mulai menyalurkan sarana produksi, sampai pengembaliannya,” lanjut Winarno.
Minim Sosialisasi
Banyaknya pro kontra yang terjadi di lapangan kemungkinan karena memang kurangnya sosialiasasi program baru ini. “(Program) ini ‘kan waktunya memang mendadak. Sosialisasi sudah dilakukan, tapi dengan banyaknya petani tentu tidak semua paham. Dari 13,2 juta ha luas panen, yang baru kita garap 500 ribu ha saja. Jadi sosialisasi yang dilakukan bukan sosialisasi global, hanya pada tempat-tempat tertentu saja,” urai Winarno.
Begitu yang dirasakan Yoyo Suparyo. Petani padi andalan di Pamanukan, Subang, Jawa Barat, ini menyatakan belum mengetahui bagaimana sistem pelaksanaan program ini. “Sosialisasinya sih belum ada ya. Kalau dari dengar-dengar konsepnya, lahan disewa, jelas saya tidak setuju. Makanya saya ingin tahu bagaimana rincian programnya,” tegas petani maju itu.
Saat ini, sosialisasi dijalankan di daerah-daerah bekerja sama dengan dinas. “Kita tawarkan model seperti ini, ada nggak yang berminat. Yang berminat ayo berkumpul untuk sosialisasi. Kalau yang nggak berminat ya nggak akan datang, hanya tahu kulitnya saja,” jelas Winarno.
Berdayakan Kelompok Tani
Sebenarnya produksi pangan sistem korporasi BUMN yang akan dilaksanakan pemerintah ini telah lama dijalankan oleh kelompok tani binaan Yoyo di Kabupaten Subang. Sekarang, rata-rata produksi padi di kelompoknya mencapai 8 ton per ha, bahkan saat kondisi lingkungan sedang bagus bisa mencapai 10 ton per ha. Model kerjasama ala Yoyo adalah menggandeng beberapa formulator pupuk atau pestisida dari perusahaan swasta.
Namun, menurut Yoyo, kunci tingginya hasil panen di kelompok tani ini bukan pada produk yang digunakan, tetapi “Pembinaan sumberdaya manusianya.” Petani yang tergabung di kelompok taninya tidak dibekali sarana produksi, tetapi dengan keterampilan, teknologi, dan inovasi yang berujung pada peningkatan hasil. “Misalnya petani diberikan pengajaran bagaimana membuat benih sendiri. Jadi kita ngasih kail, bukan ikannya. Nanti petani kreativitasnya timbul,” tambah ayah dua anak ini.
Komunikasi menjadi kunci keberhasilan sistem tersebut. Dengan luas lahan mencapai sekitar 2.000 ha, berbagi informasi baru mutlak diperlukan. “Kami lebih banyak berbagi pengalaman. Kalau ada inovasi baru, kami infokan, setelah mereka melihat hasilnya ‘kan biasanya mau coba,” jelas pria yang sama sekali tidak mempunyai latar belakang pendidikan pertanian ini.
Hal ini diakui H. Alim Rohana, petani yang juga ketua kelompok tani di Desa Maziuk, Kec. Tambakdahan, Subang. “Kelompok kami sudah bisa menangkarkan benih sendiri. Sudah berjalan selama empat tahun ini,” katanya. Dengan sistem pemberian ilmu dan informasi, menurutnya akan jauh lebih efektif dibandingkan pemberian subsidi sarana produksi. “Lebih baik dananya (subsidi) dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur,” tambah pria asli Subang ini.
Yoyo juga menyarankan alokasi subsidi akhir untuk padi. Maksudnya? “Semua subsidi dilepas, pupuk, benih, lepas. Subsidi akhir itu nanti semua gabah dibeli mahal oleh pemerintah. Nanti untuk masyarakat, keluarga miskin itu beli dari pemerintah. Jual beras subsidi,” cetusnya. Lalu, pelatihan yang dijalankan pemerintah melalui Petugas Penyuluh Lapang (PPL) perlu lebih diawasi karena banyak yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Justru inisiatif penyuluhan dan pemberian informasi lebih banyak dari kami,” imbuhnya.
Sistem yang dijalankan Yoyo, ditanggapi secara positif oleh Udhoro. “Itu bisa saja. Kalau yang ini (GP3K) ini ‘kan berbasis korporasi negara, kalau yang pak Yoyo berbasis swasta. Lanjutkan saja, tidak jadi masalah. Jika mau kerjasama juga tidak jadi masalah. Pak Yoyo sudah menjalankan standarisasi yang sudah berjalan, tinggal dilanjutkan saja. ini ‘kan model aplikasi di lapangan, yang satu swasta, yang satu pemerintah,” komentar Udhoro.
Renda Diennazola, Windi Listianingsih