Petani semakin hati-hati memilih benih. Salah pilih, risiko yang ditanggung tidak main-main.
Cabai dapat dikatakan sebagai komoditas yang tidak ada matinya. Kebutuhan si pedas ini selalu ada sepanjang tahun. Petani tidak ragu untuk mencoba berbagai hal baru yang diperkenalkan kepada mereka, selama dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen.
Selain sistem budidaya yang intensif, pemilihan benih berkualitas sangat penting untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Benih asalan yang tidak jelas asal usulnya masih banyak beredar di kalangan petani. Padahal, jika pemilihan benih sudah tidak tepat, seintensif apapun cara budidayanya, hasil panen tentu tidak akan optimal.
Kasmo, petani asal Dsn. Supit Urang RT 02/RW 01 Ds. Bocek, Kec. Karang Ploso, Kab. Malang mengaku sulitnya menanam cabai keriting saat cuaca sangat ekstrem, ”Sulit menanam cabai dari cabai kecil, cabai besar dan cabai keriting. Cuacanya tidak menentu kadang panas, lalu hujan deras, tanaman banyak yang kena penyakit.” Pemilihan benih berkualitas dapat menjadi salah satu solusi.
Kualitas Terjamin
Tanaman cabai yang tahan penyakit, produktivitas tinggi, dengan teknik budidaya yang tidak terlalu sulit, akan menjadi favorit petani. Dede Cauman, petani cabai dari Ciseuri, Desa Jalan Cagak, Kecamatan Jalan Cagak, Kab. Subang, Jabar, ini mengungkapkan, masalah utama di daerahnya adalah penyakit layu fusarium. “Itu yang paling ditakuti petani. Kalau sudah layu, ya sudah habis,” ujarnya.
Kini Dede bisa bernapas lega. Sudah dua musim dia menanam benih cabai keriting Serambi, dan merasa puas atas ketahanannya terhadap penyakit layu. Ia menuturkan, dari 5.300 batang yang ditanam di lahannya, hanya sekitar 20 batang yang mati terserang layu. Biasanya, cabai yang mati bisa mencapai 25%-30%.
Tidak hanya tahan layu fusarium, benih produksi PT Agri Makmur Pertiwi, Surabaya, ini juga lebih tahan serangan patek atau antraknosa dan virus kuning. Seperti pengalaman Redino, penjual bibit, pembudidaya dan sekaligus pedagang cabai di Dengkeng, kec. Wedi, Kab. Klaten, Jateng. Mei ini, pertanaman cabai seluas 1.000 m2 dari varietas lain yang hanya berjarak 100 m dari lahannya puso akibat serangan patek. Namun tanamannya yang saat itu berumur 90 hari tetap berbuah lebat walaupun telah dua kali petik.
Begitu pula Subarhana. “Lima puluh meter dari lahan (saya) terdapat tanaman cabai rawit yang hancur kena bulai (virus kuning). Dari 1.000 batang yang saya tanam, hanya dua tanaman yang terkena. Itu pun masih sempat berbuah,” tutur penyemai dan petani cabai di Karanganyar, Banyubiru, Kec. Dukun, Kab. Magelang, Jateng, ini bangga.
Terbukti tahan terhadap penyakit utama tanaman cabai, benih Serambi pun ber daya kecambah tinggi, 85%-95%. Kebutuhan benih lebih sedikit dibandingkan varietas lain, dengan asumsi berat benih yang sama per pak (kemasan). Hal ini disebabkan benih cabai keriting Serambi berukuran lebih kecil dibandingkan benih varietas lain sehingga dalam berat yang sama, jumlah benih Serambi lebih banyak. “Untuk satu hektar lahan, hanya membutuhkan 10 pak benih. Kalau ditambah untuk sulam, sekitar 11-12 pak. Kalau yang (varietas) lain ‘kan butuh sekitar 12 pak dan akan menjadi 14-15 pak termasuk untuk penyulaman,” jelas Sujono, Area Manager Jawa Barat PT Agri Makmur Pertiwi.
Satu lagi keunggulan benih ini. “Harganya lebih murah dan kualitasnya juga terlihat lebih bagus,” papar Enjang Hermawan, petani cabai di Kampung Cibeureum, Desa Wangunharja, Lembang, Jabar. Dengan demikian, petani kelahiran Bandung 38 tahun silam ini pun mengantongi pendapatan lebih.
Junaidi Sungkono, Direktur Utama PT Agri Makmur Pertiwi menjelaskan, perusahaannya memang berusaha mempertahankan harga benih lebih murah. “Selama ini ‘kan persepsi orang, kalau murah itu berkualitas rendah. Nah, ini kita buktikan kalau yang murah juga bisa berkualitas. Biar petani yang melihat sendiri hasilnya,” ucapnya kepada AGRINA. Dengan harga Rp75 ribu per pak, benih Serambi lebih murah dibandingkan benih lain yang dipatok sekitar Rp100 ribu per pak.
Disukai Pasar
Pasar cabai keriting mempunyai kriteria tersendiri untuk menjamin harga. Menurut Arsono, petani sekaligus distributor sayuran dari Subang ke Pasar Induk Cibitung, ukuran cabai keriting yang diminati pasar adalah panjang sekitar 15-17 cm. Ukuran tersebut memudahkan pedagang pengecer karena jumlahnya tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit.
Demikian yang diamini Redino. Menurut hitungannya, satu kilogram cabai Serambi terdiri dari 250-300 buah, sedangkan varietas lain kurang dari 250 buah. Hal itu memudahkan para pedagang pengecer membagi-bagi cabai kepada konsumen, terutama saat harganya tengah melangit. Karenanya, pedagang berani membeli cabai Serambi Rp1.500 lebih tinggi dibandingkan cabai lain. “Kalau Serambi harganya sampai Rp6.000 per kg, sedangkan yang lain saat ini hanya Rp4.500 per kg,” ujar pedagang cabai yang menjual 5 kuintal per hari ini.
Hasil panen cabai Serambi cukup berlimpah. Pada panen pertama Redino mendapatkan 1,5 kg per tanaman, sedangkan varietas yang lain maksimal 1,25 kg. “Dengan cara bertani yang sama,” tegasnya. Enjang pun sependapat, “Buahnya lebat, sampai banyak (dahan) yang patah saking lebatnya. Karena baru pertama kali, jadi belum antisipasi diikat. Bentuk buahnya pun seragam.”
Dari tingkat kepedasan, cabai Serambi pun boleh diadu. “Karena kalau Serambi ini ‘kan bijinya banyak (biji lebih banyak, lebih pedas). Kalau yang bijinya sedikit, itu cenderung nggak pedas,” ujar Sujono. Jumlah biji juga berhubungan dengan kekerasan buah yang mempengaruhi ketahanannya dalam pengangkutan. “Pengirimannya sampai ke Pekanbaru, Riau, tahan karena buahnya kencang dan kuat. Ini sangat disukai pedagang,” tambah Subarhana.
Yulianto, Marketing Manager PT Agri Makmur Pertiwi area Jawa Tengah memaparkan, secara genetik Serambi memang didesain untuk tahan terhadap berbagai penyakit, terutama patek dan layu bakteri maupun fusarium. Ukuran buah juga dibuat ramping, tidak terlalu besar dan kecil guna memenuhi keinginan konsumen. Di samping itu, dengan ukuran yang tidak terlalu besar, kadar air dalam buah menjadi tidak banyak. Walhasil, semakin sedikitnya serangan cendawan dan agen penyakit serta kecilnya penyusutan saat pengangkutan pada jarak jauh, semisal Jawa ke Sumatera.
Serambi mulai dibudidayakan di Blora, Brebes, Klaten, Grobogan, dan Magelang. Sedangkan di Sumatera, penanamannya telah berkembang di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Nama Serambi ini saja pemberian petani Aceh karena merasa puas dengan hasil uji coba varietas ini di wilayahnya.
Renda Diennazola, Untung Jaya, Faiz Faza (Yogyakarta), Indah Retno Palupi (Surabaya)