“Hasil kebun yang direhab bagus sekali. Sebelumnya hanya 40—60 kg per ha, setelah direhab bisa 1—2 ton per ha,” ucap M. Nasri senang.
Peningkatan produksi yang sangat signifikan tersebut dinikmati M. Nasri, petani kakao di Desa Patangga, Kec. Tellu Siatinge, Kab. Bone, Sulsel, setelah kebunnya direhabilitasi dalam program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao).
Rendahnya produksi kebun itu sebelum rehabilitasi, menurut pengakuan Ketua Kelompok Tani Weddae Tiga ini, lantaran tanamannya sudah tidak produktif, berumur 14 tahun, dan banyak mengalami serangan hama penyakit. Setelah ikut program, tanamannya disambung-samping dengan klon unggul Sulawesi-2 pada 2009.
Selain itu, Nasri dan anggota kelompok taninya yang memiliki kebun 30 ha mendapat arahan dari pendamping program untuk memangkas tanaman, melakukan sanitasi kebun, juga memberi pupuk dan panen lebih sering. “Biasanya kami memupuk setahun sekali, sekarang tiga sampai empat kali,” paparnya. Pendamping ini berkunjung seminggu sekali ke kebun petani dan memberikan arahan agar petani lebih intensif memelihara tanaman mereka.
Hasilnya, menurut Nasri, tidak hanya produksi yang naik, tetapi harga jual juga lebih baik. “Dulu harganya Rp15.000—Rp18.000 per kg, sekarang meningkat sedikit antara Rp18.000—Rp20.000 per kg karena mutunya biji agak bagus. Biji kakao tidak mengeras,” terangnya. Kerasnya biji kakao ini, kata dia, akibat hama penggerek buah kakao (PBK). Pascarehabilitasi, PBK (Conopomorpha cramerella) belum muncul lagi. Bisa jadi itu lantaran intensifnya perawatan tanaman oleh petani sehingga lingkungan kebun tidak kondusif bagi perkembangan hama utama kakao ini.
Lebih Baik
Cerita Nasri bisa jadi dianggap terlalu fantastis. Namun berita baik tentang Gernas Kakao juga dikonfirmasi Muh. Yusuf, pendamping Gernas Kakao yang direkrut Dinas Perkebunan di wilayah Bone. “Perkembangannya sangat memuaskanlah karena hasil peremajaan tahun 2009 sudah berbuah,” ucap Yusuf ketika dihubungi minggu pertama April 2011.
Kebun yang diremajakan itu berkondisi bagus, tetapi bahan tanamannya klon lokal. Klon lokal ini hanya berbuah dua kali setahun. Produksinya, menurut Yusuf yang mengutip data petani setempat, 250—350 kg per musim. Mengikuti program, tanamannya disambung dengan entres salah satu dari lima klon unggul, yaitu Sulawesi-1, Sulawesi-2, Sca-6, ICCRI-03, dan ICCRI-04. “Morfologi tanamannya sangat bagus. Bunga itu tumbuh sekitar 19 cm di atas permukaan tanah. Saat ini belum panen, mungkin satu-dua bulan ke depan sudah ada yang dipanen,” ujar lulusan Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia ini.
Lebih jauh Yusuf mengungkap, hasil rehabilitasi sudah ada yang dipanen. “Per tanaman itu bisa panen di atas 20 buah matang. Sebagai catatan itu baru panen perdana. Selanjutnya tanaman itu terus berbunga. Selama tanaman tersebut dipupuk dan pemeliharaannya bagus akan terus berbunga. Itulah kelebihan sambung samping,” tuturnya. Bila perawatan tetap bagus, akumulasi produksinya dapat mencapai 1—2 ton per ha.
Masih Banyak PR
Gernas Kakao diluncurkan pemerintah untuk mendongkrak produksi kakao nasional pada 2008 tetapi pelaksanaannya secara serius baru berjalan setahun kemudian. Khusus wilayah Sulawesi Selatan, menurut Prof. Dr. Ir. Laode Asrul, MP dari Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas), rendahnya produksi kakao lantaran sekitar 70% tanaman sudah tua dan perlu direhabilitasi. Selain itu juga akibat peningkatan serangan hama PBK dan penyakit Vascular Die Back (VSD). “Produktivitasnya rendah antara 300—700 kg per ha. Mutu biji juga rendah, 87,5% tidak layak ekspor,” jelasnya kepada AGRINA.
Pelaksanaan gernas kakao melalui tiga jurus, yaitu intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan. Kriterianya, tanaman berumur 5—15 tahun mengikuti program intensifikasi, 15—25 tahun rehabilitasi, dan di atas 25 tahun diremajakan. Realisasi programnya di Sulsel terlihat pada data yang dilansir Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel (lihat tabel).
Ketika ditanya tentang perkembangan gernas tahun ketiga ini, Prof. Laode memaparkan evaluasinya. Peremajaan dengan bibit hasil somatik embriogenesis (SE) belum dapat dilihat hasilnya. Pun dari hasil rehabilitasi, peningkatan produksinya masih kecil. Pasalnya, secara teoritis dan hasil penelitian menunjukkan, pada tahun pertama setiap tanaman baru menghasilkan 6—8 buah sehingga perannya masih kecil karena untuk satu kilo biji kakao kering dibutuhkan 22—25 buah. Tahun kedua tanaman memproduksi 12—14 buah, dan baru tahun ketiga mencapai 22—25 buah atau satu kilo biji per tanaman alias 1 ton per ha bila populasi tanaman sebanyak 1.000 batang. Padahal potensinya bisa mencapai 2—3 ton per ha.
Kendati demikian, Guru Besar Unhas yang dikukuhkan 8 Maret 2010 tersebut mencatat perkembangan positif. “Produktivitas naik 10%-20% khusus yang intensifikasi,” katanya.
Pelaksanaan gernas kakao di lapangan menghadapi beberapa kendala. Misalnya bibit unggul SE, ternyata menunjukkan pertumbuhan yang tidak sama di setiap daerah pengembangan. “Ada yang di tempat ini tumbuh bagus, di tempat lain tidak Misalnya saja di daerah Luwu yang saya datangi, pertumbuhannya kurang bagus bisa jadi karena pengangkutan bibit unggul dari Jember ke sini. Di Makassar, pertumbuhan bibit meninggi tapi lemah sehingga mudah roboh,” komentar Laode.
Namun, di Sidrap dan Bone, kerusakan bibit SE hanya 5%-7% saja. Karena itu, dosen berusia 48 tahun itu menyarankan, ke depan pembibitan untuk sambung samping sebaiknya mengambil bahan unggul dari wilayah tempat tanaman itu akan dikembangkan. Misalnya mau sambung samping di Luwu, carilah tanaman yang sama kondisinya di Luwu, bukan tanaman introduksi dari luar karena bisa jadi tidak cocok.
Selain itu, dosen yang mengikuti perkembangan komoditas kakao sejak sebelum ada gernas ini, melihat petani dan pendampingnya memelihara terlalu banyak buah. Padahal sebenarnya harus ada penjarangan buah karena hanya 1%—2% saja yang bisa jadi buah. Mempertahankan terlalu banyak buah akan mengakibatkan ukuran buah kecil sehingga bijinya juga kecil-kecil. Akibat lanjutannya, nilai jual juga rendah.
Semestinya program ini tidak semata berorientasi produksi tetapi juga mengarah ke perbaikan pendapatan petani. Misalnya dengan mempromosikan perbaikan mutu, memperkuat kelembagaan petani untuk meningkatkan posisi tawar petani terhadap pedagang. “Pemerintah harus mensinergikan di onfarm dan off farm dengan itu akan meningkatkan pendapatan petani karma kalau tidak ada wadahnya untuk dia menjual, maka akan ada ketergantungan dengan rentenir. Jadi pemerintah harus menyediakan pendamping dan pembiayaan untuk membuat kelembagaan ini bisa baik dan lancar,” tutup Asrul.
Jadi, tampaknya gernas kakao masih diharapkan terus berlanjut tanpa membuat petani menjadi terus bergantung pada pemerintah.
Peni Sari Palupi, Fahmid Mappa (Kontributor Makassar)
Tabel Pelaksanaan Gernas Kakao di Sulsel Program Tahun 2009 2010 2011 Peremajaan 4.300 ha 3.550 ha 6.300 ha Rehabilitasi 20.900 ha 10.140 ha 3.550 ha Intensifikasi 29.700 ha 3.350 ha 8.350 ha Sumber: Dinas Perkebunan Sulsel 2011 |