Intensitas serangan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV) terus meluas. Petambak rugi Rp300 miliar.
Dibandingkan penyakit udang terdahulu, seperti White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Taura Syndrome Virus (TSV), IMNV jauh lebih ganas. “Bahkan virus ini mampu bertahan di dalam air berbulan-bulan,” tandas Yuri Sutanto, Ph.D., ahli penyakit udang dari PT CP Prima.
Menurut Yuri, WSSV yang hanya menyerang udang windu bisa diatasi menggunakan benur udang Vanname. Begitu pula TSV, dapat ditanggulangi dengan penebaran benih yang tahan Taura. Penyakit ini pun hanya merebak di kawasan Jatim.
Pada lokakarya “Strategi Penanganan Penyakit Udang dan Kerapu” di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung di Hanura, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Yuri menjelaskan penyebaran virus myo di Indonesia. Virus yang merebak di Brasil sejak 2002 itu, pertama kali ditemukan di Situbondo pada 2006. Dua tahun berikutnya, myo berturut-turut menyebar ke Bali, Nusa Tenggara Barat, Bangka, dan Lampung. Tidak berhenti di situ, pada 2009 serangan myo mulai ditemukan di Kalimantan, Sumut, Sulbar, dan Jabar.
Di antara wilayah penyebaran myo, baru di Jabar dan Jatim yang serangannya mulai agak terkendalikan. Sedangkan di wilayah lain, virus tersebut terus bergejolak dan amat merugikan petambak. “Virus myo sudah menyebar ke semua sentra udang di Tanah Air dan menghancurkan produksi udang di sebagian besar sentra udang,” urai Yuri.
Gejala Klinis
Menurut Drs. Arief Taslihan, M.Si. terdapat tiga karakteristik adanya wabah myo pada udang. Yaitu, munculnya gejala penyakit dan kematian yang mulai teramati pada umur 40—60 hari berupa pembesaran organ limfoid dan nekrosis (busuk) bagian abdomen. Selanjutnya kematian harian udang akan meningkat, diikuti penurunan konsumsi pakan. Umumnya dua minggu setelah peningkatan kematian udang, kolam harus dipanen untuk menyelamatkan investasi yang tersisa.
Lebih jauh Kepala Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan, Serang, Banten, itu menjelaskan, udang yang terserang myo menampakkan gejala klinis berupa rusaknya jaringan otot dengan ciri warna putih pada otot yang terserang, disertai warna merah di segmen abdominal seperti udang rebus.
Yuri menambahkan, serangan virus myo sama dengan otot putih, tapi tidak semua otot putih merupakan akibat serangan myo. Pasalnya, otot putih bisa juga disebabkan hipoksia (kekurangan oksigen, kram otot, Penaeus vannamei Noda Virus (PvNV); Macrobrachium rosenbergii Noda Virus (MrNV) dan Microsporidia (white-muscle disease).
Dibandingkan WSSV, myo menunjukkan perbedaan. Pertama, dari sisi material genetik, WSSV tersusun dari DNA, sedangkan myo dari RNA. Demikian pula strukturnya, WSSV dibungkus amplop, sedangkan myo tidak beramplop. Ukuran WSSV sekitar 200 nm, sementara myo berkisar 40 nm.
Turun Signifikan
Serangan virus myo di Lampung, ujar Ir. Bambang Nardiyanto, dari Forum Komunikasi Praktisi Aquakultur (FKPA) Lampung, ditemukan pertama kali di Padang Cermin pada 2008. Hingga kini serangannya merata ke zona Labuhan Maringgai, Katapang di pantai timur Lampung, seputaran Kalianda, Punduh Pidada di pantai selatan, dan Tanggamus di pantai barat
Tingkat intensitas serangan myo tertinggi terjadi di zona Punduh Pidada yang mencapai 32% dengan kelangsungan hidup (survival rate-SR) turun hingga 52%. Disusul zona Padang Cermin sebesar 22% dengan SR 44% dan zona Kalianda 23% dengan SR 58%. Sementara itu, intensitas serangan rendah terjadi di zona Bakauheni 15 % dengan SR 64% dan zona Tanggamus 9 % dengan SR 70%.
“Serangan virus myo di Lampung menurunkan tingkat keberhasilan budidaya udang secara signifikan hingga rata-rata 27%. Areal tambak yang masih aktif melakukan budidaya berkurang hingga 16%,” ungkap Bambang. Kecuali itu, myo juga memberikan dampak besar terhadap penurunan omzet pakan dan benur, masing-masing 23% dan 9%. Hal ini terkait dengan penurunan padat tebar dari 150 ekor per m2 menjadi 70—80 m2.
Pembicara yang juga praktisi budidaya udang itu menjelaskan, SR di salah satu sentra udang nasional ini sekitar 80% sebelum dibantai virus myo pada 2007. Kini hanya menjadi 55%. Ia pun mengakui, belum mengetahui bagaimana virus myo menginfeksi udang dan dari mana sumbernya. Apalagi informasi dan penelitian tentang IMNV sangat sedikit sehingga sulit melakukan batasan untuk mengendalikannya.
Rugi Rp300 miliar
Arief Taslihan membeberkan, untuk 2010 petambak udang di Indonesia menelan kerugian sebanyak Rp200 miliar hingga Rp300 miliar akibat serangan myo. Pasalnya, terjadi penurunan produksi udang Vanname hingga 100 ribu ton.
Kelompok udang-udangan yang rentan terhadap IMNV, sambungnya, ialah udang putih alias Vanname (Litopenaeus vannamei, udang windu (Penaeus monodon), dan udang biru (Penaeus stylirostris). Namun Vanname terhitung lebih rentan terhadap virus ini ketimbang windu.
Menurut Arief, materi genetik IMNV yang tersusun dari RNA memang lebih mudah bermutasi. Karena itu, IMNV di Indonesia berbeda dengan di Brasil. Tingkat kesamaannya 99,6%.
Mekanisme penularan IMNV, lanjut dia, terjadi secara vertikal (dari induk ke keturunannya) dan horizontal (dari udang yang telah terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi). Partikel virus ini dapat bertahan hidup lebih lama daripada WSSV. Sampai saat ini belum ditemukan cara penyembuhan yang efektif karena sifat dari RNA yang labil.
Waspadai NHP
Suprapto dari Tim Teknis Shrimp Club Indonesia (SCI) mengingatkan, agar petambak juga mewaspadai munculnya serangan penyakit Nicrotizing Hepatopancreatitis (NHP) meskipun belum ada laporan bahwa penyakit ini masuk ke Indonesia.
NHP ini penyakit bakterial yang cukup ganas karena penularannya cepat. Bahkan uji lab membuktikan, penyakit ini lebih ganas daripada myo. NHP sulit dipantau lantaran bakteri Proteobacterium tidak bisa dikultur.
Sedangkan myo, menurut Suprapto, awal serangan tidak begitu ganas dengan tingkat kematian sekitar 5%. Namun, lambat-laun serangannya meningkat 40%—60%. Saat ini myo sudah menyebar lebih dari dua pertiga wilayah pertambakan di Indonesia sehingga terbilang penyakit yang banyak menyebabkan kerugian selain White Spot dan Taura Syndrome.
Syafnijal D. Sinaro (Lampung), Windi Listianingsih