Emas Cair Setelah Satu Abad
Dari hanya empat butir benih bawaan kolonial Belanda, komoditas ini menjelma menjadi “emas cair” penghasil devisa andalan senilai puluhan miliar dolar.
Indonesia mengenal tanaman kelapa sawit melalui Belanda yang membawa masuk empat butir benih asal Afrika pada 1848 untuk ditanam di Buitenzorg alias Kebun Raya Bogor. Menurut penuturan Soedjai Kartasasmita, Presiden Komisaris PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk., kepada AGRINA, perkembangan sawit tidak cepat menjadi komoditas andalan sang kolonial karena teknologi pengolahan kelapa sawit belum ada, paling-paling ditumbuk.
Titik tolak perkembangan perkebunan sawit dunia terjadi pada 1902. Waktu itu, cerita Soedjai, di Berlin, Jerman, ada lomba teknologi untuk mengolah kelapa sawit. Pemenangnya adalah seorang desainer dari Jerman. Desain pabrik itu lalu dipraktikkan di Kamerun, Afrika, yang waktu itu menjadi jajahan Jerman. Dan hasilnya ternyata bagus.
Pengusaha-pengusaha Jerman yang mempunyai investasi di Indonesia juga mendengar cerita itu dan tertarik. Sekitar 1908, mereka membuka perkebunan kelapa sawit. Tiga kebun berlokasi di Tanah Itam Hulu, Pulu Raja, dan Marihat, semuanya di Sumatera Utara. “Jadi, bukan Belanda yang mengawali membuka perkebunan sawit yang pertama, tapi orang-orang Jerman,” ungkap Soedjai.
Belanda lalu ikut-ikutan berinvestasi membuka kebun di Simalungun, juga Sumatera Utara. Pilihan lokasi yang tidak asal-asalan. “Di sinilah, dari segi ekosistemnya, paling cocok di dunia untuk kelapa sawit. Lagi-lagi, kita tidak tahu,” cetus bapak yang berpengalaman dalam bisnis perkebunan selama 40 tahun ini. Lalu, lanjut dia, pada 1910—1911 dibukalah pabrik kelapa sawit (PKS) pertama, “Makanya, ada istilah 100 tahun.”
Pada 1918, Inggris tertarik menanam kelapa sawit di wilayah jajahannya, Malaysia, dengan benih dari Indonesia. Nama benihnya, Deli Dura. Itulah cikal bakal kebun sawit di Malaysia.
Sebelum Perang Dunia Kedua, 1939, Indonesia sudah meraih posisi nomor satu di dunia. Tentu saja, dengan luasan yang jauh lebih sedikit dari sekarang. Pada waktu itu, total produksi minyak sawit dunia baru 2 juta ton. Pesaingnya adalah negara-negara Afrika, seperti Pantai Gading dan Kamerun. Malaysia masih kalah jauh dari Indonesia. Pada awal-awal perkembangan kebun sawit ini, pemainnya didominasi asing, seperti Jerman, Belanda, dan Jepang.
Sejarah perkebunan negara dimulai ketika nasionalisasi kebun-kebun milik penjajah Belanda 1957. Berlanjut dengan kebun-kebun sitaan milik Jerman, Inggris, ketika masa konfrontasi dengan Malaysia pada 1964. Sementara kebun-kebun swasta mulai berkembang sejak 1980-an. Tatkala kita asyik berkonfrontasi, Malaysia gencar melakukan riset, sehingga Negeri Jiran itu jauh berlari di depan kita. Berkibarlah industri sawit Malaysia. Baru 2007 Indonesia mengalahkannya dalam hal produksi minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO).
Setelah 163 Tahun
Sejarah panjang penjajahan di Indonesia, menurut Ir. Gamal Nasir, MS, Dirjen Perkebunan, Kementan, pada hakikatnya adalah penguasaan perkebunan yang berhasil mengangkat ekonomi bangsa-bangsa penjajah menjadi tinggal landas. Memperhatikan peran strategis itu, arah pengembangan perkebunan pascakemerdekaan mengalami perubahan yang cukup mendasar. “Berlandaskan kuatnya hasrat yang berpandang jauh ke depan, para pendahulu menjadikan usaha perkebunan sebagai sumber kemakmuran rakyat,” katanya menjawab AGRINA.
Karena itu, pemerintah lalu mengembangkan pola perusahaan inti rakyat (PIR) pada awal 1980-an. Pola ini menggabungkan keunggulan perkebunan besar dan perkebunan rakyat ke dalam usaha bersama berasaskan kemitraan. PIR membuat lokasi kebun rakyat makin meluas dan menyebar ke berbagai penjuru Nusantara.
Empat dekade kemudian, luasan kebun kelapa sawit melesat dari hampir 300 ribu ha menjadi 7,87 juta ha pada 2009 atau meningkat 27 kali lipat atau bertambah 261 ribu ha per tahun. Dari 7,87 juta ha, sekitar 8,4% perkebunan negara, 44% perkebunan swasta, dan 47,6% perkebunan rakyat.
Pun produksi minyak sawitnya, meningkat 26 kali lipat dari 721 ribu ton ke 19,33 juta ton. Produksi sebanyak itu, menurut data yang disodorkan Asmar Arsyad, Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), didapat dari 712 unit PKS, termasuk 102 PKS yang tidak memiliki kebun sendiri.
Peningkatan produksi tersebut, menurut Dr. Dwi Asmono, Direktur Litbang PT Sampoerna Agro Tbk., tak terlepas dari sisi benih. “Ada perubahan yang cukup radikal dari segi potensi (produksi). Dulu ‘kan antara 3,5—4 ton minyak per ha. Sekarang hampir semua seed producer, paling tidak di level eksperimen, mencapai 9—11 ton. Potensi awal itu, materialnya bukan hibrida. Kemudian, kalau kita lihat potensi fisiologis bisa sampai 18,2 ton. Jadi, masih ada ruang untuk meningkatkan dari angka sekarang,” ungkap ahli pemuliaan sawit ini. Selain itu, tambah Dwi, juga ada peningkatan skala pengusahaan kebun dan manajemen produksi.
Miliaran Dolar
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pun mengungkap kinerja sawit sepanjang Januari-Desember 2010. Pada periode yang sulit bagi kebanyakan komoditas agribisnis akibat anomali iklim itu, “Volume ekspor CPO Indonesia naik tipis sebesar 127.498 ton atau menjadi 15.656.349 ton, dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 15.528.851 ton. Pertumbuhan ekspor CPO nasional didorong kenaikan jumlah pembelian oleh tiga konsumen utama, yakni India, China dan Uni Eropa,” katanya.
Pada 2010, jumlah ekspor CPO dan produk turunannya ke India sebanyak 5.793.077 ton yang meningkat dari 2009, yang berjumlah 5.630.199 ton. China mengimpor CPO dan turunannya dari Indonesia sejumlah 2.410.337 ton. Sedangkan negara-negara Uni Eropa meningkatkan jumlah pembelian CPO dan produk turunannya dari Indonesia menjadi 3.728.677 ton.
Dari total ekspor 15,6 juta ton tersebut, ekspor masih didominasi minyak sawit mentah (CPO) yang mencapai 8.779.940 ton (56,2%) dan sisanya produk turunan CPO sebanyak 6.876.405 ton (43,8%). Berdasarkan data itu, Gapki mencatat permintaan dunia masih terfokus pada minyak sawit mentah ketimbang produk turunannya.
Peningkatan volume ekspor tersebut jelas membukukan lebih banyak devisa bagi negeri ini. “Nilai ekspor CPO dan produk turunannya sekitar US$16,4 miliar pada 2010, berarti naik dari 2009 yang berjumlah US$10 miliar,” ujar Fadhil.
Kinclongnya harga minyak sawit masih akan berlanjut setidaknya sampai semester pertama. Hal ini, sambung Fadhil, lantaran, “Permintaan minyak sawit global akan meningkat sebagai akibat penurunan produksi minyak kedelai. Beberapa analis dunia memperkirakan kebutuhan minyak sawit dunia akan bertambah antara 2 juta hingga 3 juta ton. Walaupun permintaan naik, diperkirakan suplai minyak sawit tidak dapat mengimbangi permintaan, sehingga harga CPO akan tetap bertahan antara US$1.000-US$1.200 per ton,” ujarnya.
Aliran devisa dari “emas cair” ini juga mendatangkan pemasukan berupa bea keluar (BK) yang dikenai pemerintah atas CPO bila harga rata-ratanya di atas US$850 per ton. Pada 2009, BK yang terkumpul sebanyak Rp13 triliun. Bahkan, Asmar memperkirakan, akumulasi BK sejak 1997 tak kurang dari Rp40 triliun.
BK yang dipungut secara progresif dari 10% pada harga di atas US$850 hingga 25% ketika harganya melampaui US$1.300 per ton ini memicu kontroversi. Menurut hitungan Asmar, setiap kenaikan BK alias pajak ekspor sebanyak satu dolar per ton akan menurunkan harga tandan buah segar di tingkat petani 0,14 dolar. Jadi, bila produksi TBS sebanyak 30 juta ton, “Kerugian petani sebanyak US$4,2 juta atau Rp38 miliar per tahun,”katanya pada akhir Januari lalu. Untuk itu, petani dan pengusaha meminta pemerintah meninjau kembali pemungutan BK.
Proyeksi ke Depan
Industri sawit masa mendatang makin ditantang untuk memperhatikan keberlanjutan sesuai standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bersifat wajib (mandatory) atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di kalangan internasional. ISPO, menurut Dwi, adalah bagian integral dari pelaksanaan UU Perkebunan No.18/2004 yang mengamanatkan keberlanjutan (sustainability). “Kalau kita lihat ketentuan-ketentuan ISPO memang sinergi dari aturan nasional. Saya nggak melihat ISPO sebagai kontrol perdagangan. Bahwa itu ada efeknya ke perdagangan, soal lain. Sebagai Sampoerna, saya merasa itu tak perlu dibenturkan. Sampoerna anggota RSPO dan sedang proses sertifikasi satu PKS. Dan menyusul tahun ini dua PKS lagi. Di sisi lain, pihaknya juga menjadi testing field-nya ISPO.
Isu keberlanjutan ini diharapkan tidak akan menghalangi proyeksi pengembangan sawit sepuluh tahun ke depan. Menurut Gamal, luas perkebunan 2011 diperkirakan 8,34 juta ha akan menjadi 9,12 juta ha pada 2020. Produksi dari 24,43 juta ton naik sampai level 40 juta ton. Pun rata-rata produktivitas diharapkan mengalami kenaikan dari 3,997 ton per ha menjadi 4,5 juta ton per ha.
Untuk mencapai itu, menurut Dwi, perusahaan mengantisipasi dengan merakit benih makin spesifik, misalnya yang cocok dikembangkan di lahan kering. Tidak hanya urusan produktivitas, tapi juga akan mengarah ke target komposisi nutrisi minyak sawitnya. Namun, itu semua tergantung kebijakan dan target masing-masing perusahaan.
Peni SP
Tabel Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) PR PBN PBS Total PR PBN PBS Total 1967 - 65.573 40.235 105.808 - 108.514 59.155 167.669 1970 - 86.640 46.658 133.298 - 147.003 69.824 216.827 1979 3.125 176.408 81.406 260.939 760 438.756 201.724 641.240 1980 6.175 199.538 88.847 294.560 770 498.858 221.544 721.172 1990 291.338 372.246 463.093 1.126..677 376.950 1.247.156 788.506 2.412.612 1997 813.175 517.064 1.592.057 1.282.823 2.922.296 1.282.823 1.586.879 2.578.806 5.448.508 2000 1.166.758 588.125 2.403.194 4.158.077 1.905.653 1.460.954 3.633.901 7.000.508 2010 3.314.663 616.575 3.893.385 7.208.048 7.774.036 2.089.908 9.980.957 17.754.993
Keterangan: 1. PR (Perkebunan Rakyat), PBN (Perkebunan Besar Negara), PBS (Perkebunan Besar Swasta) 2. Tahun 2010 adalah angka estimasi. Sumber: Diolah dari Data Ditjen Perkebunan Kementan
|