Kondisi iklim normal diperkirakan baru hadir pada Juni-Juli tahun ini. Petani kelapa sawit harus mewaspadai peningkatan serangan OPT.
Isyarat mengenai La Nina yang belum segera surut ini diungkapkan Nurhayati, Kepala Pusat Iklim Agroklimat dan Iklim Maritim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam Seminar Dampak & Antisipasi Perubahan Iklim pada Usaha Perkebunan 2011 akhir Februari lalu di Jakarta. Setelah dicengkeram La Nina sejak pertengahan 2010, Indonesia baru akan memasuki masa akhir La Nina (La Nina lemah) pada April-Mei 2011. Kondisi ini disusul dengan kondisi normal sebagai awal musim kemarau pada Juni-Juli 2011.
Iklim kemarau basah sebagai dampak La Nina, menurut Hasril Hasan Siregar, dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, umumnya positif terhadap produksi tanaman kelapa sawit. Tapi, bila musim hujannya ekstrem, terutama kalau hujan banyak turun siang hari, akan mengurangi penyinaran efektif sehingga berakibat negatif terhadap produksi karena fotosintesis terganggu.
Sementara itu, Aris Pramudia dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor, menegaskan peningkatan kejadian iklim ekstrem akan memberikan dampak berbeda-beda pada tanaman perkebunan. “Kering berkepanjangan akan membuat kuantitas dan kualitas produksi menurun, sementara jika basah atau hujan berkepanjangan bakal menyebabkan munculnya organisme pengganggu tanaman (OPT),” katanya.
Serangan OPT
Pernyataan Aris diamini Final Prajnanta dari Bayer CropScience Indonesia. Menurut Head Marketing Bayer CropScience ini, musim hujan berkepanjangan akan menambah serangan OPT, seperti tikus, ulat api, gulma dan penyakit. Gulma yang banyak menyerang adalah jenis rumput-rumputan (Paspalum), gulma berdaun lebar (Pueraria javanica, Borreria, dan Calopogonium), dan teki–tekian (Cyperus kyllingia).
“Sedangkan penyakit yang banyak menyerang itu busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan cendawan patogen Ganoderma boninense,” tambahnya.
.Diungkapkan Final, BPB merupakan penyakit terpenting pada perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Diperkirakan, 1%-2% populasi tanaman kelapa sawit mengalami kematian akibat BPB ini. “Selain mematikan, penyakit BPB juga mengakibatkan tanaman tidak menghasilkan buah sama sekali serta penurunan produksi dan berat buah,” ujarnya. “Penyakit lain yang kerap menyerang pada masa pembibitan yaitu bercak daun (Curvularia sp.)”.
Ciri-ciri tanaman kelapa sawit yang terserang BPB dapat diidentifikasi dari sejumlah gejala, antara lain, daun tombak tidak terbuka sebanyak kurang-lebih tiga daun, tanaman yang terserang lebih pucat dari tanaman lain di sekitarnya, timbul tubuh buah (fruiting body), dan selanjutnya tanaman akan mati dan tumbang.
Di lain pihak, menurut Kasirin, Product Manager Herbicides PT Syngenta Indonesia, serangan gulma bisa menimbulkan kerugian terbesar di perkebunan kelapa sawit. Bahkan, bisa mencapai 40% jika kondisinya dibiarkan tanpa pengendalian. “Kalau di sawit, memang dari segi hama penyakit itu ya gulma. Kalau pengaruhnya ke produksi, gulma nomor satu. Yang hama penyakit itu kecil. Serangan akar putih, seperti ganoderma itu ada, tapi total areanya nggak luas,” katanya.
Pengendalian OPT
Itu sebabnya dari sisi pengendalian OPT, menurut Kasirin, yang pertama harus dilakukan adalah pengendalian gulma yang tepat dan dengan menggunakan herbisida yang tepat pula. “Maksudnya, pengendalian gulma dengan herbisida yang bisa mempertahankan diversifikasi gulmanya itu sendiri,” katanya.
Soalnya, lanjut Kasirin, kalau vegetasinya terjadi suksesi, atau arahnya berkembang ke gulma tertentu, terutama yang berdaun lebar, akan membuat biaya pengendaliannya lebih besar serta gangguan terhadap kelapa sawit pun makin besar lagi. Tak mengherankan jika alumnus IPB ini menyarankan penggunaan herbisida Gramoxone.
“Gramoxone adalah herbisida yang punya cara kerja berbeda dengan herbisida yang banyak digunakan, seperti glifosat. Kalau glifosat bekerjanya menghambat enzim di tanaman, Gramoxone reaksinya kontak. Herbisida ini dengan perantaraan klorofil akan bereaksi dengan oksigen, membakar klorofil sendiri. Jadi ini kontak, sedangkan yang lain tadi sistemik,” katanya.
Ditambahkan oleh Kasirin, selain Gramoxone itu berkualitas, ada pula pengawalan produk. “Jadi, ada pelatihan dan lain sebagainya supaya penanganannya benar, manfaatnya besar, dan efek negatifnya minimum. Kemudian kami juga mem-back up petani dengan tim karena kami punya pelayanan teknis untuk pelanggan,” tuturnya.
Sedangkan bagi Final, untuk menanggulangi guma bisa digunakan herbisida Basta yang bekerja secara kontak dan semi sistemik. Produk ini, lanjut Final, relatif “aman” terhadap tanaman utama pada situasi ketika percikan yang mengenai daun tidak terhindarkan serta tidak menyebabkan partenokarpi. “Basta ini efek toksisitasnya rendah terhadap tanaman utama, lingkungan dan operator, sehingga bisa digunakan pada alat semprot berteknologi volume rendah sampai sangat rendah,” paparnya.
Keunggulan Basta yang lain adalah kemampuannya menangani gulma yang sulit dikendalikan, terutama pada masalah suksesi gulma yang muncul akibat aplikasi berulang jenis herbisida tertentu. Produk satu ini pun cocok diterapkan pada lingkungan perkebunan yang mengutamakan keamanan lingkungan (high eco-safety requirement) dan RSPO.
Antisipasi BPB dan Bercak Daun
Untuk mengendalikan serangan penyakit BPB, Final menyarankan dua cara. Pertama, manual, yaitu dengan pembersihan sumber infeksi sebelum penanaman ulang, mencegah penyebaran penyakit dalam kebun, serta membongkar pokok yang terserang penyakit berat. Kedua, pengendalian secara praktis dan efisien, yaitu dengan Bayfidan 250 EC.
Bayfidan, lanjut Final, adalah fungisida pertama yang terdaftar untuk mengendalikan penyakit BPB dan satu-satunya fungsida yang direkomendasikan untuk mengendalikan BPB “Fungisida ini mampu mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur (cendawan) dari golongan Ascomycetes, Basidiomycetes dan Fungi imperfecti,” ujarnya.
Sedangkan untuk mengendalikan penyakit bercak daun, dia menyarankan penggunaan Antracol. Soalnya, Antracol mampu mengendalikan penyakit bercak daun tanaman lebih sempurna sekaligus bisa menyuburkan tanaman. “Bahan aktif Antracol mengandung Zinc. Jadi, saat aplikasi Antracol untuk pengendalian penyakit, unsur Zinc dalam Antracol tersedia untuk tanaman,” tutupnya.
Syaiful Hakim, Renda Diennazola, Untung Jaya