Untuk mencapai target pengadaan beras perlu upaya lebih keras dengan berbagai langkah operasional yang harus didukung kebijakan perberasan yang kuat. Sebab Bulog akan kesulitan menyerap gabah petani apabila harga pokok penjualan (HPP) tidak dinaikkan meski sudah ada Tabel Rafaksi yang dikeluarkan Menteri Pertanian.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menjelaskan, swasta telah melakukan pembelian gabah di atas HPP dibandingkan BUMN sehingga mengakibatkan pasar perberasan banyak dikuasi swasta. “Jika Bulog menyerap gabah petani dengan HPP lama maka akan sulit, bahkan tercapai 50% saja sudah bagus,” katanya dalam diskusi Pengaruh Anomali Terhadap Produksi Padi Nasional, di Gedung Bulog, Jakarta, Kamis (10/3).
Winarno menjelaskan, stok beras cadangan di akhir tahun lalu tidak banyak, maka produksi gabah petani hasil panen saat ini diperebutkan oleh para pedagang. Selain itu, panen tidak terjadi secara serentak.
Bahkan, panen raya yang terjadi pada Maret - April tahun ini diperkirakan tidak akan berlangsung lama. “Akibatnya, stok cadangan beras menjadi sedikit, akibatnya petani lebih memilih menjual gabah ke pedagang,” katanya.
Contohnya, lanjut Winarno, di Jawa Barat harga gabah kering panen (GKP) naik hingga Rp 3.100 per kg. Harga ini jauh di atas HPP yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 2.640 per kg. Kemudian jika berdasarkan perhitungan data KTNA, dalam rencana panen padi Januari - Maret 2011 potensi panen padi nasional sebesar 4,3 juta ton GKP.
Tapi, hingga saat ini Bulog baru bisa menyerap gabah petani sebesar 115.000 ton. “Akibatnya, harga beras di dalam negeri juga tidak akan banyak turun,” ucap Winarno.
Staf Ahli Perum Bulog Muhammad Ismet menambahkan, jika melihat kemampuan penyerapan gabah Bulog dalam enam tahun terakhir, rata-rata Bulog hanya bisa menyerap gabah sekitar 5,90% dari total produksi. “Secara normal rata-rata penyerapan gabah Bulog hanya sekitar 2,35 juta ton per tahun,” tuturnya.
Memang, Ismet juga mengakuinya jika saat ini harga beras di pasaran lebih tinggi dibandingkan HPP yang ditetapkan pemerintah. “Maka jika semakin besar selisih harga pasar dengan HPP maka produsen yakni petani dan penggilingan lebih memilih menjual ke pasar daripada ke Bulog,” pungkasnya.
Yuwono Ibnu Nugroho