Produksi jagung dalam negeri masih tekor dalam memenuhi permintaan industri pakan. Kebutuhan jagung untuk pakan tidak dapat dipenuhi secara kontinu dari produksi dalam negeri. Tahun 2010, jagung impor pun masuk.
Produksi jagung pada 2010, menurut angka ramalan III BPS, sebanyak 17,84 juta ton pipilan. Capaian ini masih meleset dari target Kementerian Pertanian (Kementan) yang 19,8 juta ton. Permasalahan lahan dan cuaca menjadi alasan tidak terpenuhinya target tersebut.
“Salah satu faktornya adalah luas panen berkurang. Sebenarnya tahun kemarin itu ‘kan tahun hujan. Jagung ini perilakunya (budidaya) di lahan kering. Seharusnya lahan kering ini bisa dioptimalkan (untuk menanam jagung). Ini menjadi suatu pertanyaan, kenapa jumlah lahannya justru turun,” komentar Maxdeyul Sola, Sekjen Dewan Jagung Nasional (DJN).
Sementara itu, drh. Sudirman, Ketua Umum Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT), sependapat, tidak tercapainya target pemerintah tersebut memang dipengaruhi oleh cuaca ekstrem. Namun, ia menambahkan, “Ini yang sebenarnya tidak dilihat. Semua memang bilang cuaca ekstrem, tapi datanya (produksi) tetap saja naik seperti normal. Yang kedua adalah konversi lahan. Di Lampung, mungkin sekitar 30% lahan jagung dikonversi ke singkong dan karet”.
Pengaruh iklim juga, menurut Ir. Pending Dadih Permana, M.Ec. Dev., menjadi alasan terganggunya produksi jagung nasional. “Kemarin di lahan kering ada puso, seperti di Nusatenggara Barat, seharusnya (panen) 11.000 ha, sekitar 3.000 ha puso. Cukup luas. Lalu biasanya di musim tanam kedua, (areal tanam) padi berubah menjadi palawija, jagung, tapi ternyata hujannya tidak berhenti,” jelas Direktur Serealia, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan, ini.
Impor Jagung
Pemanfaatan jagung di Indonesia, menurut Pending, sebagian besar untuk pakan ternak. “Penggunaan jagung dalam negeri sekitar 78% (hampir 14 juta ton) untuk pakan. Sisanya untuk pangan lokal, ‘kan masih ada daerah-daerah seperti NTT dan Madura yang konsumsi,” urainya.
Data cukup berbeda disodorkan Sudirman. Menurut data GPMT, industri pakan menyerap hanya 6 juta ton setahun. Secara logika, dengan produksi jagung nasional sebanyak 17,8 juta ton, pemenuhan jagung untuk industri pakan lebih dari cukup. Namun, pada kenyataannya tahun lalu justru volume impor jagung untuk pakan cukup besar, sekitar 1,2 juta ton.
Sudirman menegaskan, di lapangan jagung memang tidak tersedia sehingga para produsen pakan memutuskan untuk impor. “Memang jagungnya tidak ada. Kalau jagung lokal ada, pasti kita pilih jagung lokal. Kalau ada, dimana? Pasti kita akan cari. Daripada kita ambil (impor) dari Brasil ‘kan jauh,” sergah pria yang juga Direktur Sierad Produce Tbk. ini.
Sola cukup mafhum dengan keputusan para pabrikan pakan, “Saya melihat tidak dipertemukan antara kebutuhan real market yang 6 juta ton itu, dengan ada di mana barang itu.” Data memang menyebutkan ada ketersediaan jagung, tapi kendala di lapangan dengan terpencarnya areal panen membuat perusahaan pakan tidak dapat menemukan ketersediaan jagung tersebut. “Jadi, begitu pabrik membutuhkan, dia akan bikin kontrak dengan luar negeri, yang lebih pasti. Karena pada bulan itu, dia pasti butuh sekian, sedangkan di pasar tidak pasti,” paparnya.
Menurut Sudirman, pasokan jagung impor itu mesti ditebus dengan harga yang tidak lebih murah ketimbang jagung lokal. “Misalnya harga jagung di Lampung sekarang itu Rp3.300 (per kg). Kalau kita impor dari Brasil atau Argentina, sampai di gudang kita juga Rp3.300. Padahal di sana, harganya Rp1.800. Dengan ongkos angkut dan segala macam, jadi segitu,” rincinya.
Lebih dari itu, pengusaha pakan ternak pun lebih menyukai jagung lokal karena jelas lebih segar. “Uangnya juga tidak ke mana-mana. Kalau kita beli jagung lokal, uangnya untuk petani, digunakan oleh petani di dalam negeri, perekonomian kita jalan. Kalau impor ‘kan uangnya keluar,” tukas Sudirman lagi.
Perbaikan Sistem Pasar
Permasalahan jagung untuk pakan sebenarnya cukup klasik. Distribusi dan penanganan pasar ditengarai menjadi penyebab tidak jelasnya ketersediaan jagung di lapangan. Kendala distribusi jagung, menurut Sudirman, terletak pada masalah infrastruktur. “Contohnya di Lampung. Dari sentra jagung ke tempat pengeringan, jalannya rusak parah. Untuk menempuh jarak 50—60 km saja mungkin butuh waktu setengah hari. Itu biayanya tinggi juga ‘kan, jadi fokuskan ke infrastruktur,” sarannya.
Sistem pasar juga perlu diperbaiki. “Dengan ketersediaan yang terpencar-pencar tadi, itu menambah biaya, sehingga jagung dari petani harus keliling-keliling, melewati beberapa mata rantai perdagangan. Bukan petani yang mendapatkan (hasilnya),” jelas Sola. Untuk memutus panjangnya rantai perdagangan ini, salah satu sistem pasar yang diperkenalkan adalah iPasar. “Sistem ini sudah berjalan di NTB, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Sosialisasi masih terus berjalan,” tambahnya.
Sistem pasar yang dirintis sejak akhir 2009 ini memudahkan petani menyalurkan hasil panen sekaligus melancarkan produsen pakan untuk mendapatkan jagung sesuai kebutuhannya. “Dengan iPasar, ada beberapa titik gudang serah. Di sana petani menyerahkan berapa saja hasil panennya sehingga ada kepastian barang bagi pabrik pakan ternak. Bagi produsen pakan, menghemat biaya. Kalau mereka beli jagung dari luar, 6 bulan kemudian baru barangnya datang, itu kena beban bunga selama 6 bulan. Kalau iPasar, saat transaksi ‘kan dia baru bayar,” terang Sola.
Pending menambahkan keunggulan sistem ini. “Untuk petani, diselenggarakan lelang forward. Misalnya petani tanam Oktober, kita kontrak untuk penyerahan bulan Januari. Indeks forward yang kita dapatkan dari CBOT (Chicago Board of Trade) ternyata harga ada pada posisi Rp2.400. Kita sepakati harga itu dengan standar mutu yang medium,” jelas mantan Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB ini.
Perjanjian tersebut mengikuti harga pasar. Bila pada Januari harga naik, maka yang akan dibayarkan ke petani disesuaikan dengan harga pasar itu. “Sebaliknya jika harga turun, maka iPasar akan memfasilitasi pembayarannya sesuai dengan kontrak, yaitu Rp2.400. Dengan ini kita melindungi petani kita. Ini akan mendekatkan petani dengan pasar,” ujar Pending.
Dengan standar mutu yang ditetapkan pada standar medium SNI jagung, kualitas jagung dijual melalui iPasar terjamin. “Ini mendorong penanganan pascapanen secara tepat sehingga jaminan mutu (jagung) sesuai dengan yang dikehendaki oleh produsen pakan ternak,” tambah Pending. Standar mutu medium SNI meliputi kadar air 14%, maksimal 4% butir rusak, 3% butir dengan warna berbeda, 2% butir pecah, dan 1% kotoran.
Renda Diennazola, Tonthowi Jauhari