Peningkatan produksi menjadi jurus yang tak bisa ditawar-tawar bila ingin mengurangi impor, bahkan mencapai swasembada.
Pada 2011, pemerintah menargetkan produksi jagung 22 juta ton. Menurut Sola, itu suatu hal yang tidak mudah. “Dengan 17,8 juta ton yang terjadi di ARAM III, artinya harus ada tambahan produksi lebih dari 4 juta ton. Artinya, ini sama dengan penambahan areal 1 juta ha lahan untuk dipanen, kalau kita rata-ratakan produktivitas 4,1 ton per ha. Pertanyaannya, apakah kita dapat tambahan lahan 1 juta ha pada musim tanam Oktober sampai Maret?” tanyanya.
Bapak yang juga menjabat Sekjen Dewan Beras Nasional itu memberi saran. “Lakukan tambahan produksi melalui indeks pertanaman. Jadi, 60% lahan kering yang tadinya hanya ditanam sekali, ditingkatkan menjadi dua kali. Tapi pertanyaannya, sejauh mana kesiapan untuk meningkatkannya menjadi dua kali,” cetusnya. Dalam hal ini, ketersediaan sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida menjadi perhatian.
Menurut Rahmansyah Putra, Territory Sales Manager Monsanto, produsen benih jagung yang membawahi area Kediri, Jatim, ketersediaan benih jagung cukup banyak dan tidak mengkhawatirkan. “Ketersediaan benih sangat cukup hingga musim tanam kedua. Cuaca ekstrem yang membuat petani ragu untuk menanam jagung,” paparnya.
Keraguan tersebut dijawab dengan pemilihan benih berkualitas karena minat petani untuk menanam jagung sebenarnya masih cukup besar. “Dibandingkan padi, jagung hasilnya jauh lebih tinggi. Kedua, petani jagung kerjanya tidak susah, sesudah tanam, bisa istirahat beberapa hari, dipupuk, kemudian istirahat lagi. Tidak terlalu intensif di lahan,” tambah Rahman.
Masalah serangan bulai, penyakit utama pada pertanaman jagung, pun harus dapat diatasi sejak dini. Hartono, petani jagung di Desa Sepuh Gembol, Kec. Wonomerto, Kab. Probolinggo, Jatim, mengatakan, tanaman jagung yang sudah terkena bulai tidak bisa disembuhkan. “Karena itu harus pintar-pintar memilih varietas, perlakuan benih, dan perawatan khusus.” Pemilihan varietas tahan bulai menjadi alternatif bagi petani untuk mengatasi ini.
Sementara itu, pemerintah pun telah menyiapkan beberapa langkah dalam pencapaian target tersebut. Pending merinci, “Perluasan areal ada, kemudian menumbuhkan investasi karena pemerintah tidak mungkin jalan sendiri. Beberapa investor sudah masuk di NTB, NTT, dan Gorontalo. Untuk jagung kita berikan ruang teman-teman dunia usaha melakukan investasi perluasan areal di daerah potensial”.
Tiga langkah besar yang menjadi fokus pemerintah dalam peningkatan produksi ini adalah peningkatan produktivitas dengan perbaikan varietas, pengawalan budidaya dengan teknis yang baik dan benar, serta menjamin ketersediaan sarana produksi dengan baik. “Penting untuk membangun sinergi antara pemerintah di Jakarta, provinsi, sampai dengan kabupaten/kota. Kita pastikan petani betul-betul ditemani dan dikawal dengan baik. Fungsi penyuluhan menjadi sangat penting,” Pending menekankan.
Penerapan Teknologi dan Gerakan
Pengembangan teknologi jelas keniscayaan untuk peningkatan produktivitas jagung. Varietas hibrida jadi salah satu solusinya. Secara teknis di lapang, produktivitas jagung hibrida ini berkisar 6—8 ton per ha atau dua kali lipat dari rata-rata produktivitas jagung yang hanya sekitar 4 ton per ha.
Penanaman jagung hibrida di kalangan petani pun sudah cukup luas. Namun, ”Inovasi penanaman seringkali kita beri masukan pola tanam sistem baru untuk meningkatkan produksi dari segi jumlah tanaman. Harapannya, kita memaksimalkan potensi wilayah yang tidak banyak berkembang,” kata Bowo Cahyono, Marketing Executive PT Tanindo Subur Prima, produsen benih jagung yang membawahi area Probolinggo, Jatim.
Satu lagi teknologi yang menurut Sola merupakan jawaban dari semua permasalahan budidaya tanaman, “Transgenik. Itu jawabannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mencari komoditas yang sesuai dengan alam.” Komoditas transgenik dianggap sebagai jawaban karena bisa secara tepat disesuaikan dengan kondisi lingkungan Indonesia.
“Transgenik adalah rekayasa manusia secara cepat. Karena kita tidak bisa mengendalikan kecepatan perubahan iklim, perubahan alam hanya secara evolusioner, tanpa revolusioner perubahan genetiknya. Kalau mentransfer ‘kan cepat,” ucap Sola. Mengenai polemik transgenik, ia menegaskan, setiap varietas transgenik yang dirilis harus melalui komisi keamanan pangan dan komisi keamanan hayati sehingga terjamin keamanannya bagi manusia dan lingkungan.
Namun, semua teknologi itu tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak ada kerjasama yang baik antara semua pemangku kepentingan. “Ada pemerintah, masyarakat petani, dan pengusahanya. Misalnya bantuan benih, kalau masyarakatnya nggak bergerak, nggak bisa. Kalau swastanya nggak mau respon, nggak bisa juga. Harus ada ilmu gerakan,” dorong Sola.
Potensi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri, bahkan ekspor sebenarnya sangat besar. Pending menuturkan, “Produksi jagung dunia rata-rata turun. Di Amerika Serikat sebagai penghasil jagung terbesar turun produksinya sekitar 3,85%. Brasil sebagai produsen ketiga terbesar turun sekitar 6%. Sedangkan Indonesia terus merangkak naik, kita punya potensi untuk terus berkembang.”
Sola pun menimpali, “Di kawasan yang dekat-dekat saja, seperti Singapura, Malaysia, dan Korea, kebutuhan jagungnya mencapai 30 juta ton per tahun. Itu masih didatangkan dari Amerika. Kenapa kita nggak rebut (pasar) itu? Kita ‘kan lebih dekat dari mereka, lebih fresh.” Yuk, kebut produksi jagung ...
Renda Diennazola, Indah Retno Palupi