Senin, 31 Januari 2011

LIPUTAN KHUSUS : Antisipasi Krisis Pangan

Krisis pangan menghantui dunia. Perlu antisipasi yang komprehensif untuk menghindari kekurangan pangan.

Bicara pangan di Indonesia masih mengacu pada beras. Pencapaian produksi padi kita tahun lalu di bawah target, hanya meningkat 2,46%, yaitu 65,98 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara beras 37,38 juta ton. Padahal kebutuhan beras nasional 2010 sebanyak 33,06 juta ton.

Melihat data tersebut, cadangan beras kita amat tipis. Begitu ada gangguan produksi, seperti terjadi tahun lalu akibat anomali iklim, kita langsung  kekurangan. Tak pelak pemerintah melalui Perum Bulog terpaksa mengimpor 1,3 juta ton untuk mengamankan cadangan pangan.

Anomali iklim itu membuat produksi padi di kawasan tertentu jauh merosot. Banyak pihak risau, jangan-jangan kondisi tersebut berulang tahun ini. Pasalnya, ramalan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, cuaca ekstrem masih akan berlangsung sampai Mei 2011.

Pemerintah pun mewacanakan penggantian kerugian akibat anomali iklim. Tidak hanya biaya benih dan pupuk yang diganti, tetapi juga biaya tenaga kerja. “Petani itu sudah mengeluarkan biaya terutama untuk tenaga kerja, mulai dari persiapan lahan, tanam, pemeliharaan, panen. Nah ini biayanya kita hitung, kalau sampai terjadi puso, maka itu kita ganti. Atau kita bantu sebesar biaya tenaga kerja, mulai dari penyiapan lahan sampai panen di luar melengkapi bibit, pupuk. Kalau tidak puso, berarti tidak (diganti),” ungkap Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian (21/1).

Bagaimana bila petani yang lahannya puso itu menggunakan kredit program? Bayu mengatakan, “Kita mengusulkan kepada bank pelaksana untuk di-restructure, karena tidak bisa diputihkan atau reschedule. Semua ini dilakukan karena memang kita berpacu dengan waktu. Jangan sampai harus puso. Mungkin masih ada waktu menanam, masih diusahakan untuk menanam. Yang kedua, untuk membantu para petani paling tidak, cost-nya terutama yang dalam bentuk tunai, itu bisa diganti.”

Namun sampai berita ini diturunkan, hal itu masih sebatas usulan. “Tapi Insya Allah, ini sudah masuk ke dalam inpres respon cepat menghadapi anomali iklim dan iklim ekstrem. Nanti bentuknya inpres,” tutur Bayu kepada para wartawan pertanian.

Tiga Jurus

Kritisnya keamanan pangan beras kita, menurut Dr. Ir. Sugiyanta, M.Sc., Dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, saat tampil di sebuah stasiun televisi, karena daya dukung lahan yang terbatas. Lebih jauh Sugiyanta merinci, dari luas lahan panen 12,8 juta ha dengan dua kali tanam dan rata-rata produktivitas 5 ton per ha, tiap jiwa hanya didukung oleh hasil dari 0,05 ha. Kalau dihitung, produksinya hanya 162 kg beras per kapita. Padahal konsumsi beras per kapita kita masih tinggi, 139 kg per kapita per tahun. “Hampir pas-pasan. Jadi ketika ada gangguan cuaca ekstrem, serangan hama penyakit, produksi turun sedikit, kita sudah rawan pangan,” tandasnya.

Berkaca dari situasi itu, lanjut Sugiyanta, ada tiga pilihan untuk mendongkrak produksi beras nasional. Yaitu, penambahan luas lahan, peningkatan indeks pertanaman (intensifikasi), dan aplikasi teknologi adaptif.  Penambahan luas panen bisa dilakukan antara lain dengan pencetakan sawah baru dan memanfaatkan lahan telantar. Sedangkan peningkatan indeks pertanaman (IP) dapat diaplikasikan di lahan-lahan yang biasanya hanya ditanami sekali menjadi dua kali dengan perbaikan jaringan irigasi. Tidak perlu tiga sampai empat kali karena risikonya besar. Penanaman terus menerus membuat siklus hama penyakit tidak terputus yang memicu ledakan hama penyakit.

Langkah lainnya adalah menerapkan teknologi budidaya adaptif karena kita dihadapkan pada perubahan iklim. Maksudnya bukan membiasakan diri dengan perubahan itu tetapi lebih kepada kreasi cara-cara untuk mengatasi hal itu. Misalnya, pemilihan varietas yang cocok dengan kondisi saat ini. Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) Sukamandi, Subang, menggadang-gadang varietas Inpari 13.

Awas Wereng

Tentu saja upaya dari sisi budidaya tidak sebatas pada varietas yang cocok dengan perubahan musim. Serbuan organisme pengganggu tanaman (OPT) tetap perlu diantisipasi secara komprehensif.  Mengingat triwulan pertama tahun ini diprediksi masih tergolong bulan basah, Prof. Dr. Ir. Y. Andi Trisyono, M.Sc., pakar hama dari Faperta UGM, Yogyakarta mewanti-wanti untuk antisipasi wereng batang cokelat (WBC). Para pemangku kepentingan bisa belajar dari ledakan tahun lalu. Ia pun menggambarkan betapa serbuan WBC sangat merugikan petani. “Saya cek ke lapangan. Itu di Klaten, ada yang sampai tiga musim nggak panen, puso, lalu diberokan,” ujarnya kepada AGRINA. 

Ganasnya serangan wereng juga dikonfirmasi Final Prajnanta, Head of Marketing Bayer CropScience Indonesia. Ia mengemukakan dua hal penyebabnya, pertama dengan kelembapan yang sangat tinggi sampai Agustus, gempuran wereng sangat luar biasa. Bukan berarti September-Desember itu tidak ada. “Januari ini naik lagi,” decak Final.  Begitu luar biasanya wereng itu sehingga, menurut Final, hanya insektisida Curbix plus Baycarp yang ampuh. Curbix itu insektisida generasi paling baru tapi kerjanya lambat (tiga hari baru terlihat haislnya) jadi perlu dipercepat dengan Baycarp yang super cepat.

Andi menengarai terus naiknya populasi wereng sejak 2009 sampai sekarang, “Itu karena kita terlambat dalam melakukan pengamatan dan terlambat melakukan aksi. Sehingga saya menyarankan birokrasi di level bawah antara POPT (Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman), PPL (Penyuluh Pertanian Lapang), dan mantri tani harus dipotong.”

Akibat keterlambatan itu diperparah oleh pasokan bantuan insektisida yang kadang tidak mencukupi sehingga dosisnya kadang tidak tepat. Endo, POPT di Karawang membenarkan. “Memang jumlahnya sedikit, malah kadang tidak tersedia,” katanya melalui telepon. 

Tentang kemungkinan wereng sudah membentuk biotipe baru, Ketua Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan tersebut menyatakan, belum tahu. Yang jelas, padi IR 64 yang mengandung gen ketahanan terhadap WBC sudah tumbang dengan memperlihatkan gejala terbakar (hopper burn). Pun timbulnya resistensi terhadap insektisida tidak bisa disamaratakan. Dia mencontohkan, bahan aktif imidacloprid tidak mempan di suatu daerah tetapi di daerah lain masih efektif.

Secara keseluruhan, Andi menyarankan beberapa hal untuk mengantisipasi WBC ke depan. Pertama, untuk daerah-daerah endemis WBC, pengendalian tidak diserahkan ke petani tetapi pemerintah pusat atau pemda langsung melakukan aksi pada spot tadi. Sementara di daerah non-endemis, harus ada seorang yang mumpuni dalam arti bisa melakukan pengamatan, mengambil keputusan, dan menggerakkan petani untuk pengendalian. Pemantauannya juga harus ditingkatkan akurasinya dan disusun sistem peringatan dini yang efektif

Kedua, ada pelatihan untuk POPT, PPL, maupun petani tentang cara penggunaan pestisida yang benar. Supaya jenis insektisidanya tepat, sebaiknya ada pengecekan resistensi WBC terhadap insektisida di laboratorium terlebih dulu. Dalam waktu sehari sudah didapat hasilnya, jadi perlakuan kimiawi itu efektif.  Selain itu, hindari aplikasi insektisida berspektrum luas karena akan mematikan musuh alami.

Ketiga, pengembangan padi hibrida sebaiknya tidak dilakukan di daerah endemis WBC karena belum mengandung gen ketahanan. Bila dengan pertimbangan produksinya yang tinggi, hibrida bisa tetap dikembangkan dengan menyisipkan ketahanan.

Peni SP

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain