Status itu pernah dicapai tiga kali, tapi kita ingin yang berkelanjutan setiap tahun. Bagaimana upaya mencapainya?
Swasembada pangan, khususnya beras, tidaklah sekadar status Indonesia di mata internasional. “Ini penting karena beras makanan pokok kita. Ini soal ketahanan pangan, ekonomi, harga diri bangsa, dan bisa soal politik. Dua presiden terdahulu jatuh karena masalah beras. Soekarno jatuh karena Tritura (tiga tuntutan rakyat), Soeharto karena krisis ekonomi yang berbuntut pada krisis pangan. Dan tidak ada jaminan kalau yang akan datang tidak akan terjadi lagi,” ucap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec, mengawali pengantar seminar “Swasembada Beras Berkelanjutan” di Hotel Borobudur, Jakarta (14/12).
Acara yang dihelat AGRINA dengan dukungan PT Bank Mandiri (persero), Bayer CropScience Indonesia, CV Buana Sakti, CV Saprotan Utama, dan PT Syngenta Indonesia ini menghadirkan sejumlah pembicara. Yaitu, Sutarto Alimoeso (Dirut Perum Bulog), Ir. Pending Dadih Permana (Direktur Serealia mewakili Dirjen Tanaman Pangan), Winarno Tohir (Ketum Kontak Tani Nelayan Andalan-KTNA), Yoyo Suparyo (petani di Pamanukan), Dudy Kristyanto (Bayer CropScience Indonesia), David Andi Purnama (CV Buana Sakti), dan Fei Ling (PT Syngenta Indonesia). Seminar yang dibagi dua sesi itu masing-masing dipandu Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS (Wakil Ketua Umum HKTI) dan Untung Jaya (Wakil Pemimpin Perusahaan AGRINA).
Sejarah Swasembada
Bungaran Saragih lebih dulu mengajak peserta seminar yang jumlahnya 100-an orang tersebut untuk berpikir secara makro. Ketua Dewan Redaksi AGRINA ini melontarkan prinsip swasembada. “Swasembada artinya suplai dalam negeri sama dengan permintaan dalam negeri dengan harga tidak naik, dan berani mengatakan stop impor. Kalau swasembada berkelanjutan, tidak hanya stop impor, tapi juga melakukan ekspor karena biaya produksi beras kita sama dengan produksi beras dunia,” katanya.
Definisi tersebut berbeda dari FAO yang juga dianut Mentan Suswono. Mentan dalam suatu kesempatan mengatakan, asalkan kita mampu memenuhi 90% kebutuhan beras dari sumber dalam negeri, status swasembada tidak hilang.
Terlepas dari perbedaan itu, Bungaran mengungkap kembali perjalanan swasembada yang dilalui negeri ini sejak 1983 ketika era pemerintahan Soeharto. Keberhasilan tersebut membawa Presiden Soeharto ke Roma, Italia, markas FAO untuk mendapat pengakuan internasional. Sayangnya, kita berpuas diri sehingga kemudian mulai impor kembali. Impor mencapai puncak pada 1999-2000 sebanyak 6 juta ton.
Setelah itu upaya pemerintah kembali intensif. Kalau dulu upaya swasembada pertama dipimpin pemerintah, makan pada 2004 digerakkan masyarakat, petani, dan dunia usaha. Tahun 2004 itu dengan pendekatan petani dan pengusaha bekerja sama, pemerintah ikut membantu proteksi harga dari perdagangan yang tidak adil dan berani melawan impor.
“Ganti pemerintahan, ganti semuanya, pembongkaran deptan luar biasa. Dan 2005 kita tidak berani mengatakan stop import sehingga impor makin besar sampai 2 juta ton. “Kegagalan target 2005-2007 ini menjadi bahan pelajaran kita. Tahun 2008-2009, kita cerita mau ekspor, namun sulit karena harga tinggi. Produksi meningkat, tapi harga meningkat. Saya tidak mengerti. Tahun 2008 swasembada tapi harga beras 2,5 kali lipat dari 2004. Bagaimana bisa produksi naik 6% tapi harga meningkat?” tanya Bungaran
Proses pencapaian swasembada 2008 hampir sama dengan 1983 yang dipimpin kembali oleh pemerintah. Namun pencapaian ini diraih dengan harga sangat mahal. Bujet Kementan membengkak dari Rp3 triliun pada 2000 menjadi Rp10 triliun. Apakah bisa kita teruskan seperti itu terus? Sekarang kita sudah impor 850 ribu ton.
Mengakali Suplai dan Permintaan
Pakar agribisnis itu mengajak pula melihat cara-cara untuk mencapai swasembada berkelanjutan dengan melakukan intervensi dari segi suplai atau produksi untuk melayani permintaan. “Kita usahakan perluasan areal, peningkatan produktivitas, kita coba memitigasi efek dari perubahan iklim sehingga kita bisa kuasai. Jadi jangan iklim bagus saja kita berhasil, begitu terjadi perubahan iklim, maka kita gagal mencaai swasembada. Itu berarti selama ini kita menganggap faktor iklim sebagai faktor eksternal,” pesannya. Semestinya pada saat perubahan iklim global sudah berlangsung, faktor iklim harus dijadikan faktor internal.
Swasembada tak terlepas dari masalah suplai dan permintaan. Suplai harus terus mengejar permintaan yang datang dengan pertambahan jumlah penduduk yang kini 1,49% atau 3 juta jiwa per tahun. Kita butuh lahan, air, pupuk, dan bibit yang lebih banyak, tapi juga lebih mahal. Kalau terus mengandalkan itu, kita tidak akan bisa dan makin sulit dapat semuanya. “There are limit to supply manipulation (ada batas untuk memanipulasi suplai),” tandas Bungaran. Karena itu, selama pendekatan kita masih supply manipulation, swasembada tidak tidak akan berlanjut. Lantas bagaimana?
Mendongkrak suplai tetap harus dilakukan tetapi secara selektif lalu diupayakan mengakali permintaan (demand manipulation). Inilah yang dibilang Bungaran sebagai tukar gigi. “Pertumbuhan penduduk harus ditekan jadi 0%. Kita juga harus mencari strategi menurunkan tingkat konsumsi per kapita secara gradual sampai 20 tahun yang akan datang, konsumsi kita tinggal menjadi 60 kg per kapita per tahun seperti orang Jepang,” ucapnya dengan semangat. Dengan konsumsi segitu dan jumlah penduduk 250 juta jiwa, pada 2030 kita bisa ekspor.
Lalu bagaimana cara mengurangi konsumsi? Tidak mudah memang dan butuh waktu panjang. Jepang bisa mengurangi dari 140 kg menjadi 60 kg dalam 40 tahun. Thailand juga sekarang sudah sampai level 70 kg. Dua negara itu pernah mengalami seperti kita, “Kita juga bisa,” tegas Bungaran.
Untuk merangkul semua pihak, imbuh bapak yang kini aktif di Yayasan BOS itu, sebenarnya sudah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan. Namun tampaknya institusi ini perlu direvitalisasi dan perlu figur baru yang bisa diterima pihak-pihak tersebut. Sutarto Alimoeso pun sependapat dengan Bungaran, “Dewan Ketahanan Pangan harus punya power lebih, kalau perlu ada satu institusi yang jelas. Kita perlu memikirkan badan tersebut seperti apa yang terkait memikirkan ketahanan pangan,” kata Dirjen Tanaman Pangan ini.
Dalam rangka menurunkan konsumsi beras, ide diversifikasi atau penganekaragaman pangan juga sudah lama terlontar tetapi implementasinya tidak mudah. Beberapa waktu lalu Mentan Suswono pernah mempromosikan “one day no rice” alias sehari tanpa nasi seminggu sekali. Masih dalam rangka itu pula Mentan mengutarakan upaya makan nasi sebagai yang terakhir. “Masalahnya, yang dimakan sebelum nasi ada atau tidak?” ucapnya bernada tanya.
Sutarto juga menyinggung soal diversifikasi. “Kalau kita bicara berkelanjutan, saya setuju bukan hanya beras, tapi pangan. Kalau kita bicara diversifikasi, kebijakan presiden pun sudah ada sehingga salah satunya dengan menyusun strategi sampai lima tahun ke depan dikaitkan berapa penurunan konsumsi biji-bijian termasuk beras.”
Kendati Bungaran mengatakan, ada batas untuk mendongkrak suplai toh usulan mmanipulasi produksi tetap berdatangan. Terkait dengan makin sempitnya kepemilikan lahan, Albert Kuhon, seorang wartawan senior, mengusulkan perlunya aturan yang “memaksa” petani tidak bisa memecah lahannya. Jadi minimal tetap seluas satu hektar. Hal ini sebenarnya sudah terangkum dalam Undang-undang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan.
Sementara Mochammah Abdoulla, praktisi pertanian, menganjurkan agar petani mempunyai industri pengolahan supaya bisa memenuhi standar Bulog. Sedangkan Yoyo Suparyo memberikan masukan tentang pengalihan alokasi dana subsidi benih. Alasannya, “Petani hanya menanam varietas itu-itu saja. Kalau ada subsidi benih pun, dengan varietas yang sangat tidak dapat diharapkan oleh petani. Produksi padinya naik turun. Daripada subsidi Rp2,3 triliun lebih baik untuk mengajari petani menjadi seorang penangkar,” kata tokoh petani ini.
Peni SP, Renda Diennazola, Windi Listianingsih, Syaiful Hakim