Membesarkan kerapu bebek tidak harus di keramba tengah laut. Dengan inovasi pengelolaan kualitas air, budidaya dalam bak di tengah kota pun bisa
Ide pembesaran ikan bernama ilmiah Cromileptis altivelis yang tidak biasa ini dilontarkan Tom Haryanto, Direktur CV Minatama yang bergerak di bidang zeolite & water treatment. Kalangan hobiis ikan mengenal kerapu bebek sebagai ikan hias air laut yang dipelihara di akuarium. Berdasarkan pengalaman sendiri dan rekan-rekan hobiisnya, ikan ini dapat mencapai ukuran 300 g setelah dipelihara selama 8 bulan. Itu pun dengan media yang sederhana. “Jadi mitos kerapu bebek harus di keramba tengah laut itu nggak betul. Sebenarnya bisa kita kembangkan di rumah,” ungkapnya kepada AGRINA di Jakarta.
Tentu saja banyak yang tidak mempercayai ucapan Tom. Bagaimana mungkin kerapu bebek yang berpredikat sebagai ikan manja dan sulit dipelihara itu mau hidup di bak? Untuk membuktikannya, pria yang suka memelihara ikan, kucing, dan anjing ini membuat bak percobaan di Jalan Terusan Slamet Riyadi no 7, Bandarlampung.
Bak beton tersebut diisi 925 ekor benih ukuran 7 cm yang dibelinya dari Made Laba, produsen benih kerapu di Lampung. Memasuki bulan keenam, jumlah ikannya tinggal 600 ekor. “Ikan ini bukan banyak mati karena penyakit, tapi saya juga baru tahu kalau kerapu bebek itu pasti ada yang kuntet. Bukan juga kurang makan. Saya kumpulin yang kecil-kecil lalu saya kasih makan, ya tetap lambat pertumbuhannya . Karena jadi kurang bagus dilihat, saya pindahkan ke aquarium,” cerita pria yang otodidak dalam pengelolaan water treatment.
Tom menambahkan, para pembudidaya dan peneliti kerapu di Balai Budidaya Laut (BBL) Lampung yang berkunjung ke bak percobaannya, berkomentar, pertumbuhan ikan di baknya lebih baik ketimbang di keramba jaring apung (KJA). Pertanyaannya kemudian, ekonomiskah sistem ini dikembangkan secara luas? Dengan tangkas ia menjawab, “Kenapa tidak?”
Sistem Pengelolaan Air
Bak tersebut berukuran 4 m x 20 m. Di Lampung, biaya pembuatan bak biasanya dihitung Rp500 ribu per m2. Bak diisi air laut sebanyak 60 m3. “Air laut di mana pun yang terdekat banyak mengandung fosfat yang tinggi, nitrat yang tinggi, dan macem-macem polutan karena kita ambil di tepi pantai. Nah itu harus kita murnikan dulu dengan filter,” ujar Tom. Kebutuhan air lautnya sebanyak 60 ton per dua bulan. Harganya Rp1,5 juta.
Alumnus Institut Bisnis Indonesia (IBI) Jakarta ini memasang tiga komponen untuk mengelola kualitas air dalam bak. Air terlebih dulu disaring melalui filter membran yang terdiri dari particle filtration, microfiltration, dan ultrafiltration. Hasil penyaringan ini, “Air betul-betul tidak ada virus, bakteri, atau apapun yang kita kuatirkan dari polutan air laut,” tandas Tom. Untuk satu bak diperlukan membran yang harganya Rp60 jutaan.
Setelah masuk bak, pengendali kualitas air adalah protein skimmer dan reaktor fosfat. Skimmer digunakan untuk membuang nitrat, amonia, dan nitrit. Sementara reaktor fosfat mengatasi polutan fosfat yang berasal dari pakan dan kotoran ikan. “Dengan dua alat itu saja ikan bisa hidup dengan bagus, CO, DO, NO, amonia, fosfatnya terkontrol. Untuk menjaga salinitas, di atas bak dipasang atap agar terhindar dari hujan. Yang saya coba, dalam dua bulan nggak perlu ada penggantian air. Tapi setelah dua bulan perlu ada penambahan air. Dua alat protein skimmer tersebut senilai Rp28 juta berkapasitas 20 m3 per jam.
Meski sudah ada protein skimmer dan reaktor fosfat yang juga mengurangi jumlah bakteri dan virus, Tom memasang ozon dan UV untuk mematikan penyebab penyakit tersebut.
Perawatan
Tom sengaja menebar benih dan memberikan perawatan mirip yang dilakukan pembudidaya di KJA. Jumlah benih, menurut dia, semestinya bisa 2.000—3.000 ekor. Meski yakin hasilnya menguntungkan, dia hanya menebar 925 ekor.
Seperti di akuarium, kerapu ini hanya diberi pellet buatan PT Suri Tani Pemuka dan PT Matahari Sakti. Sesekali dijatah potongan ikan patin untuk menambah nafsu makan. Selain itu, ritual memandikan kerapu dengan air tawar selama beberapa menit juga tetap dilakukan tetapi hanya dua minggu sekali. “Biar lendir-lendirnya keluar. Saya pakai bak kecil. Di darat lebih mudah kontrol daripada di tengah laut mesti angkat jaring,” ujarnya
Untuk memastikan kesehatan ikannya, Tom mempercayakan penyuntikan vaksin tiga bulan sekali kepada staf BBL Lampung. Mengenai air, penggantian dilakukan dua bulan sekali sebanyak 75%. Air yang akan dimasukkan terlebih dulu diperlakukan dalam filter membran.
Soal hitung-hitungannya, Tom memberikan gambaran satu siklus (14 bulan) dengan skala 3.000 ekor (kolam). Keuntungannya hampir Rp300 juta. Anda tertarik?
Peni SP
Analisis Usaha Budidaya Kerapu Bebek dalam Bak Skala 3.000 ekor Investasi - Genset Rp6 juta (umur ekonomis 3 tahun) Rp 2.333.500 - Skimmer dua unit Rp56 juta (umur 10 tahun) Rp 6.533.300 - Membran Rp60 juta (umur 5 tahun) Rp14.000.000 - Ozone dan uv Rp20 juta (umur 3 tahun) Rp 7.777.000 - Kolam 4 x 20 m2 @ Rp500 ribu – Rp40 juta (5 tahun) Rp 9.333.500 Jumlah Rp39.977.300 Biaya operasional - Benih 3.000 ekor @ Rp14.000 Rp42.000.000 - Pakan FCR 1,7, SR 70% = 1.700 kg x Rp15.000 Rp30.000.000 - Listrik 3 kw x 24 jam sekitar Rp2 juta per bulan Rp28.000.000 - Tenaga kerja Rp1 juta x 14 bulan Rp14.000.000 Jumlah Rp114.000.000 Pendapatan 1.000 kg x US$ 50 Rp450.000.000 Keuntungan sebelum pajak = Rp450.000.000 – (Rp39.977.300 + Rp114.000.000) = Rp296.022.700 Sumber: Tom Haryanto, 2010, asumsi panen selesai 14 bulan |