Senin, 16 Agustus 2010

LIPUTAN KHUSUS : Susah-susah Gampang di Bisnis Selera

Beragam jurus mesti diterapkan demi menjaga kesetiaan pelanggan. Kemampuan mempertahankan cita rasa dan pendekatan khusus pun bisa mengatrol omzet.

Ada banyak jalan menuju Roma, mungkin pepatah lama itu cocok bagi para pemilik rumah makan dan warung jajanan. Sebab, artinya ada banyak cara untuk mempertahankan pelanggan agar tetap mau berkunjung ke rumah makan milik mereka.

Saat ini, setiap rumah makan berupaya memiliki ciri khusus guna mempertahankan pelanggannya. Bisnis rumah makan memang masih menjanjikan prospek bagus dan menguntungkan. Namun, untuk bisa eksis, usaha ini boleh dibilang “susah-susah gampang” mengurusnya. Soalnya, untuk membuka rumah makan memang ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Yang paling penting dicermati, antara lain, modal usaha, menu makanan, harga, dan lokasi rumah makan.

Namun, masih bisa ditambahkan pula satu jurus pamungkas. Tak peduli bagaimana bentuk bangunannya, asalkan pemiliknya pintar dalam menyambut pelanggan yang datang, serta mampu mempertahankan cita rasa makanannya, itu sudah termasuk salah satu kiat mempertahankan pelanggannya untuk selalu datang dan datang lagi.

Jurus itulah agaknya yang diterapkan pemilik jajanan khas tahu pong di Semarang, Jateng. Jika dilihat sepintas, tempat jajanan ini tak seperti layaknya rumah makan lantaran hanya mengandalkan tenda. Namun, warung yang terletak di perempatan Jalan Depok, Semarang, ini nyatanya sudah berdiri sejak 1950.

Bukti nyata rumah makan ini sudah ramai semenjak 60 tahun lalu bisa dilihat dari dipajangnya satu pigura berisi artikel berjudul “Tahu Pong Perempatan Depok” dari koran terbitan 1978 di sebuah meja. Artinya, pada tahun itu tempat jajanan ini pernah diwawancarai media massa cetak karena kekhasan serta keramaian pengunjungnya.

Jika Tahu Pong Perempatan Depok ini bisa laris hanya mengandalkan tenda, lain lagi yang dilakukan pengelola Toko Oen, Malang, Jatim. Restoran ini menggelontorkan dana Rp15 miliar untuk investasi awal karena bentuk bangunannya khusus dan berdiri di lokasi  yang strategis serta guna membayar biaya pemasaran. Toko yang berdiri sejak 1930-an ini tetap mempertahankan bangunan khas kolonialnya agar dapat menjaga pelanggan, serta demi menarik pelanggan baru yang lalu-lalang di depan toko. Lantaran Toko Oen berumur sekitar 80 tahun, pengelolaan manajemen pun sudah beralih ke generasi kedua. ”Tahun 1930 kami satu-satunya resto terbesar di Jawa Timur,” papar Pieter Siswono, Manajer Toko Oen.

Tapi, bentuk bangunan kuno yang dipertahankan demi nuansa kesejarahan bukan harga mati. Bisa saja, pemilik merenovasi sebagian bangunan yang memang harus diganti tanpa mengubah desain awal. Ini yang dilakukan Ratna Wiguno (47), pemilik Rumah Makan Dapur Desa, Yogyakarta. Dia merogoh kocek Rp10 juta untuk merenovasi sebagian rumah makannya yang awalnya berupa bangunan lama. “Biaya tadi saya pakai untuk merenovasi rumah dan membuat gubuk lesehan,”  ujarnya.

Selain tempat dan modal usaha, promosi serta iklan rupanya juga mampu mengatrol laba usaha rumah makan. Langkah ini, misalnya, ditempuh Toko Oen. Tak tanggung-tanggung, resto ini berpromosi melalui media massa yang beredar di Eropa.

Tak mengherankan bila banyak wisatawan asing sengaja datang ke Malang hanya untuk menikmati lezatnya es krim khas Toko Oen sekaligus bernostalgia akan masa lalu mereka saat tinggal di Pulau Jawa. Mereka biasa berdatangan pada Juni–Desember. Luar biasanya, pada bulan-bulan itu pelanggan mancanegara tadi bahkan bisa mencapai 300–400 orang per hari. ”Untuk orang asingnya ya 95%, domestik hanya  5%.” ungkap Siswono.

Perhitungan Biaya, Kunci Keberhasilan

Roda bisnis tentu tak terlepas dari perhitungan biaya operasional bulanan. Begitu pula, usaha rumah makan. Maka, kecermatan dan ketepatan menghitung biaya produksi bisa dikatakan kunci keberhasilan. Namun, besaran biaya operasional bergantung pula pada jenis hidangan serta jumlah karyawan.

Hal ini bisa dilihat pada perputaran roda usaha Mie Gang Jangkrik di Jalan Soekarno-Hatta, Malang, yang berdiri sejak 1960. Karena ramainya restoran ini, Eka, sang pemilik bisa menghabiskan 20—25 kg mi per hari. Tiap bulan dia harus mengeluarkan sekitar Rp3 jutaan untuk bahan baku saja. Sedangkan untuk biaya listrik dan gaji karyawan, harus disiapkan Rp15—Rp20 juta.

Tapi, hitungan ini berbeda kalau mencermati usaha Mbah Marto, pemilik Warung Makan Mangut Lele atau lebih dikenal sebagai Warung Sego Gudeg Geneng di Sewon, Bantul, Yogyakarta. Tiap hari, dia menghabiskan biaya Rp1 juta untuk membeli bahan baku, antara lain 15 kg lele dan 10 ekor ayam kampung.

Duit Rp1 juta itu bisa menghasilkan 110—120 porsi untuk pelanggannya yang biasa berdatangan mulai pukul 11.00 WIB. Uniknya, biaya tenaga kerja dibayar berdasarkan kehadiran pelanggan. “Dapatnya ndak tentu, mas. Kalau laris, bisa memberi upah Rp80.000, kalau sepi Rp50.000 untuk tiap tenaga kerja per harinya,” ungkap Mbah Marto.

Omzet Tergantung Kejelian Pengelola

Pengelola rumah makan juga mesti jeli membaca tren di kalangan masyarakat  demi keuntungan berlipat. Kalau tak mampu memahami tren, bukan tak mungkin ditinggalkan pelanggan. Ada pula kiat untuk selalu menjaga cita rasa atau menerapkan layanan istimewa. Maklum, usaha ini adalah bisnis jangka panjang.

Kemampuan memahami tren terlihat pengelola  Tizi Cake Shop & Restaurant asal Kota Kembang, Bandung, yang berdiri sejak 1970-an. Menjawab kebutuhan warga Bandung akan resto yang menyajikan steik serta kue dan roti berkualitas ala Barat, lahirlah Tizi. Pilihan tepat untuk masa itu. Pelanggan pun terpikat dan setia. Dan berkat kemampuan mengelola cita rasa dan suasana, kini resto itu jadi ajang nostalgia.

Restoran ini terlihat tiap harinya dikunjungi 50-an pelanggan yang rata-rata memesan sajian hingga Rp300 ribuan. Jika jumlah pengunjung 50 orang per hari, maka omzet per hari tentu sekurangnya Rp15 juta. Ini perhitungan paling minimal melihat tamu yang datang ke sini silih berganti, belum lagi bila menghitung tamu yang hendak membeli kue dan membawanya pulang.

Lain lagi dengan Toko Oen yang menjalankan kiat menjaga cita rasa menunya tetap sama selama puluhan tahun. Siswono mengaku bisa meraih omzet Rp10 juta per hari. “Tapi, biaya operasional juga besar, sekitar 50% dari keuntungan,” tukasnya.

Siswono tak sungkan menjelaskan jurus tambahan yang diterapkannya, yaitu kecepatan dan ketepatan. “Artinya, bila tamu datang, segera disapa dan diberi menu, lalu menu cepat diorder dengan diberikan ke orang lain, sehingga tamu berikutnya bisa langsung disapa dan diberi daftar menu,” pungkasnya.  

Yuwono Ibnu Nugroho, Syaiful Hakim, Faiz Faza, Indah RP, dan Bony Indra

 
 

Tabel

Gambaran Usaha Mi Ayam Menggunakan Kios

Investasi Awal (sewa tempat, bahan baku)                          = Rp 3.000.000

Biaya Operasional                                                                  = Rp 3.800.000

-               Bahan Baku (Mi, Sayuran dan Daging)                   = Rp 2.000.000

-               Karyawan                (2 orang, @Rp 500.000)         = Rp 1.000.000

-               Sewa tempat + listrik                                             = Rp 500.000

-               Biaya Tak Terduga                                                 = Rp 300.000

Omzet per Hari (@Rp 7.000 x 40 mangkok) x 30 hari          = Rp 8.400.000

Keuntungan Bersih (Rp 8.400.000 – Rp 3.800.000)               = Rp 4.600.000

 

Catatan: 40 mangkok dalam kondisi ramai

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain