Harga cabai bisa sungguh “pedas”. Tak jarang membuat menciutkan nyali petani untuk menghadapinya. Dia dihadapkan pada dua pilihan, menggandeng bermitra industri atau berani mandiri.
Awal 2009 harga cabai berada di kisaran Rp8.000 per kg. Padahal itu musim penghujan yang biasanya menjadi saat paling ditunggu penanam cabai untuk meraup untung lebih. Pada awal tahun sebelumnya, harga hampir dua kali lipat, yaitu Rp15.000 per kg di Pasar Caringin, Bandung.
Kondisi sebaliknya terjadi saat ini. Bulan-bulan ini biasanya sudah jatuh musim kemarau, tapi ternyata malah masih turun hujan. Musim yang seharusnya kemarau ini menyebabkan pasokan cabai seret. Akibatnya harga melonjak di tingkat petani mencapai Rp34.000 per kg (16/7). Padahal biaya produksi berkisar Rp5.000—Rp6.000 per kg. Sedangkan di level konsumen eceran sampai di atas Rp50.000 leih per kg. Sungguh menggiurkan bagi petani!
Menurut pemantauan Arif Darmono, pengusaha tani sayuran di Sukaraja, Sukabumi, Jabar, di sentra-sentra produksi terjadi gagal panen dan terjadi ledakan penyakit yang cukup berarti karena dua macam cendawan bersamaan. “Penyakitnya Phytophthora dan antraknosa,” lanjutnya. “Dalam kondisi sekarang, teman petani lain dari Tasikmalaya yang datang ke sini bilang, mau dapat setengah kilo per pohon saja susah,” katanya menirukan sang teman. Petani intelek ini sendiri menanam 20 ha dan berani memasang target produktivitas minimal 0,85 kg per tanaman.
Sama-sama aman
Untuk menghindari turun naiknya harga cabai, sebagian kecil petani bermitra dengan industri yang memerlukan cabai. Misalnya, industri saus antara lain seperti Heinz ABC Indonesia, Wings Group, dan Indofood. Sama seperti petani, kalangan industri juga tidak menginginkan fluktuasi harga yang tajam untuk mengamankan pasokan bahan bakunya. Ini paling tidak pernah dinyatakan Martin Bachtiar beberapa waktu lalu, “Kita bikin (kemitraan) karena ingin mendapat pasokan bahan baku dengan volume, harga, dan kualitas yang sesuai kebutuhan perusahaan. Harga cabai ‘kan fluktuatif sekali. Dan kita perlu cabai untuk produksi saus cabai,” jelas pejabat departemen Procurement itu.
Dalam situasi saat ini, sulit bagi perusahaan untuk mendapatkan pasokan dengan harga yang wajar bagi industri. Namun mau tidak mau mereka harus mengupayakan pasokan walaupun harga lebih tinggi. Karena itu mereka amankan pasokan melalui kemitraan yang dibangun bersama kelompok tani.
Dalam perjanjian kemitraan yang berlaku satu musim tanam (9 bulan), petani dan perusahaan membuat kontrak. Kontrak yang disepakati ini meliputi harga pembelian, tonase, dan kualitas cabai juga transportasi ke gudang terdekat milik perusahaan.
“Dasarnya (perhitungan) adalah total ongkos produksi kami,” ungkap Mudakir, salah satu petani mitra produsen saus sambal itu. Bapak yang juga Ketua Paguyuban Setyo Tunggal di Dukuh Tompak, Tarubatang, Kec. Selo, Boyolali, Jateng, tersebut menambahkan, mula-mula perusahaan meminta hitung-hitungan ongkos produksi dari petani lalu terjadi kompromi di antara kedua pihak.
Ketika ditemui tahun lalu, harga kontrak yang berlaku Rp7.000 per kg dan biaya produksi termasuk sewa lahan dan tenaga kerja sebanyak Rp3.600 per kg. Petani masih menanggung ongkos kirim sampai gudang di Karawang, biaya pendampingan, dan administrasi. Sehingga petani menerima Rp5.750 per kg.
Target produksi yang diminta perusahaan sebenarnya 1 kg per tanaman, tapi petani cuma menyetor 0,5 kg. Sementara produksi rata-rata di daerah itu, menurut petani anggota paguyuban, mencapai 1,5 kg per tanaman. Dengan keleluasaan 1 kg ini, memungkinkan petani masih bisa menikmati harga tinggi ketika harga pasaran di atas harga kontrak. Selain itu, lagi-lagi untuk amannya, perhitungan tanaman yang berproduksi 18.000 batang per ha, bukan sesuai jumlah yang ditanam yang 20.000 batang. Di sisi lain, pasokan wajib ke perusahaan yang 0,5 kg juga tetap terpenuhi.
Lebih suka menantang
Fluktuasi harga yang tajam tidak selalu membuat petani kecut hati. Arif misalnya, dengan perencanaan tanam matang berdasarkan data yang dikumpulkannya selama beberapa tahun, ia berani menghadapi segala risiko. “Ya kita ‘kan sudah berhitung empat bulan sebelumnya (kalau mau tanam), kalau anjlok ya sudah, jual sekuat pasar menerimanya,” ucap alumnus Fakultas Pertanian UGM ini.
Dalam kondisi cuaca yang ekstrem, titik impas menjadi tinggi sampai Rp8.000. Bila produktivitas hanya setengah kilo per tanaman, maka petani memanen 10 ton per ha karena satu hektar berisi 20.000 batang. “Memang masih sangat tertutup harga yang Rp34.000, tapi masalahnya panen cabai ‘kan lama, tiga bulan. Hitungannya ya rata-rata selama tiga bulan itu berapa,” jelas Arif yang memelihara tanaman cabainya dalam rumah kasa (screenhouse). Ia menambahkan, musim tanam yang lalu, harga rata-rata Rp15.000 per kg saja tidak tercapai. Jadi, tidak semua petani menikmati harga tinggi yang terjadi saat ini.
Memang, yang bikin geger, imbuh dia, orang lantas menghitung 20 ton dikalikan Rp34.000 per kg. “Padahal ‘kan nggak begitu karena panennya bertahap. Tidak semua hasil panen dapat harga segitu,” katanya. Beda dengan kubis yang panen sekaligus, berapa harga hari itu dikalikan tonase panen.
Sebagai petani yang lahannya puluhan hektar, Arif banyak didekati industri pengguna cabai. Namun sampai sekarang dia merasa tidak pernah ada titik temu dengan hitungan industri. Pasalnya, mereka hanya melihat dari satu sisi saja, yaitu biaya produksi, tapi tidak mempertimbangkan fluktuasi harga. “Waktu itu harga kontrak ditawarkan Rp6.500. Kalau terjadi harga Rp30.000 ‘kan opportunity loss kita besar sekali,” cetusnya.
Karena itu dirinya menawarkan harga Rp11.000 per kg dan cabai diambil semua tanpa sortir. Tapi industri ogah, “Saya ‘kan tidak ngarang, ada file-nya (data musim tanam 2005). Bisa kok terjadi harga segitu,” tegasnya.
Di situlah tidak klopnya. Tambahan lagi soal sortir, itu fleksibel dan bisa dimainkan. “Kalau harga mahal, hampir semua masuk. Sebaliknya, kalau harga murah, dia oversuplai, grading-nya ketat, jadi yang masuk sedikit,” urainya tentang pengalaman pahitnya bermitra dalam produksi nashubi (sejenis sayuran).
Jadilah sampai sekarang dia memilih mandiri. Modal data yang kuat dan pemantauan lebih seksama terhadap hama penyakit memantapkan dirinya untuk memasarkan secara mandiri.
Peni SP, Faiz Faza (Yogyakarta)